Jumat, 12 Maret 2021

 

Terbitnya Supersemar dan Peralihan Kekuasaan di Tubuh AURI

 Muhammad Fakhriansyah  ; Wartawan Tirto

                                                          TIRTO, 11 Maret 2021

 

 

                                                           

Tanggal 11 Maret 1966, tepat hari ini 55 tahun lalu, Supersemar terbit. Surat ini berisi perintah Presiden Sukarno kepada Soeharto selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna mengawal jalannya pemerintahan. Kala itu, demonstrasi besar-besaran terjadi sebagai reaksi atas kekacauan politik dan ekonomi pasca G30S.

 

Para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) kepada pemerintah yang isinya: bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.

 

Presiden Sukarno menghadapi situasi sulit. Ia akhirnya mengajak demonstran berdialog di Istana Negara pada 15 Januari 1966, dan melakukan reshuffle kabinet pada 21 Februari 1966. Namun, alih-alih memuaskan masyarakat, kebijakan itu justru menambah kekecewaan dan amarah demonstran. Dialog justru membuat keadaan semakin panas. Sedangkan reshuffle kabinet tidak sepenuhnya memenuhi Tritura, sebab presiden tetap mempertahankan menteri-menteri yang dinilai terafiliasi dengan PKI. Secara bersamaan, kondisi ekonomi pun kian memburuk hingga menambah rumit keadaan.

 

Akibatnya, pada 23 Februari 1966, demonstrasi besar-besaran kembali terjadi di depan Istana Negara hingga menimbulkan bentrokan. Seorang demonstran dari Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, tewas tertembak.

 

“Kali ini demonstran tidak diterima dengan pidato tetapi disambut peluru dan bayonet. Hari itu sembilan orang ditembak dan dibayonet. Banyak di antara mereka telah ditembak dari belakang oleh Tjakrabirawa (Pasukan pengawal presiden). […] Mereka (mahasiswa) marah sekali karena demonstrasi tak bersenjata telah ditembaki secara kejam,” tulis Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2005).

 

Setelah peristiwa itu, para demonstran yang didominasi mahasiswa merencanakan kembali aksi besar-besaran di depan istana bertepatan dengan agenda rapat kabinet.

 

Pada tanggal yang ditetapkan, sejak pagi mereka telah memenuhi jalanan ibu kota. Dan hari itu juga, saat Presiden Sukarno memimpin rapat, tiba-tiba ia mendapat informasi dari ajudannya--Brigjen Sabur--bahwa terdapat kelompok tak dikenal di tengah-tengah demonstran, bahkan kabarnya sudah masuk ke lingkungan istana.

 

Laporan tersebut berbeda dengan informasi yang diterima presiden dari Amir Machmud, penanggung jawab keamanan ibu kota, bahwa keadaan dijamin aman. Presiden Sukarno pun segera meninggalkan ruang sidang dan pergi ke Istana Bogor menggunakan helikopter.

 

Tak lama sejak Presiden Sukarno sampai di Istana Bogor, tiga orang perwira menghadap kepadanya: M. Jusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rahmat. Mereka datang menyampaikan pesan dari Soeharto bahwa ia bersedia untuk melaksanakan tugas mengendalikan situasi.

 

Mendengar pesan itu, presiden menyetujui kesediaan Soeharto. Bersama wakil perdana menteri (waperdam) dan tiga perwira tersebut, presiden kemudian merumuskan konsep surat perintah. Setelah berdiskusi dan kemudian diketik, Sukarno akhirnya menandatanganinya.

 

Sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008: 568) menyebutkan bahwa dengan memperoleh Supersemar, “Soeharto dan para pedukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tapi tak mampu berbuat apa-apa.”

 

Berawal dari sini, pembersihan dilakukan terhadap anggota dan simpatisan PKI, juga orang-orang yang dituduh terlibat dan sejumlah lembaga negara. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), menjadi salah satu sasaran pembersihan.

 

Kisruh di Tubuh AURI

 

Setelah G30S, AURI berada di posisi sulit. Institusi yang disebut Rickfles sebagai, “angkatan yang setia kepada Presiden Soekarno ketika hari-hari terakhirnya,” menjadi sorotan karena diduga mendukung tragedi berdarah itu. Pamor AURI yang sebelumnya berada di titik tertinggi langsung menurun drastis. Lubang Buaya, tempat ditimbunnya para jenderal di sumur maut, tak jauh dari Bandara Halim Perdanakusumah, markas AURI. Marsekal Madya Omar Dhani selaku Menteri/Panglima Angkatan Udara (Men/Pangau), juga dituduh terlibat dalam gerakan tersebut.

 

Presiden Sukarno, seperti dikutip dalam Kronik’65 (2017), meluruskan tudingan itu dengan mengatakan bahwa AURI tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan G30S. Ia juga berpesan agar tidak mengadu domba antara AURI dengan AD.

 

Beberapa penelitian juga menyebut AURI tidak terlibat dalam peristiwa itu, salah satunya seperti yang diungkapkan sejarawan John Rossa. Dalam Dalih Pembunuhan Massal (2006: 64), Rossa menyebutkan, walaupun pimpinan G30S berpangkalan di Halim, tetapi tidak ada bukti mereka bekerja dengan orang lain dari AURI selain Mayor Soejono. Penggunaan fasilitas AURI hanya inisiatif Mayor Soejono.

 

Meski demikian, bantahan-bantahan itu tak mampu menolong AURI dari pembersihan. Bahkan sebelumnya, yakni pada November 1965, Omar Dhani digantikan oleh Sri Mulyono Herlambang. Dan Sri Mulyono Herlambang pun hanya menjabat selama empat bulan karena ikut disingkirkan. Penggantinya adalah Rusmin Nuryadin.

 

Menurut Sejarawan Humaidi dalam tesisnya yang berjudul “Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno tahun 1962-1967” (2008), penggantian Men/Pangau Omar Dhani dan Sri Mulyono Herlambang tidak lepas dari kedekatan kedua tokoh itu dengan Sukarno.

 

Salah satu momen dalam internal AURI setelah supersemar yang menunjukkan pembersihan atau netralisasi adalah Peristiwa Tanah Abang Bukit pada 28 Maret 1966. Seperti dipaparkan Humaidi, kala itu Sri Mulyono Herlambang yang masih menjadi Men/Pangau mengadakan rapat di Mabes AURI yang terletak di Tanah Abang Bukit. Rapat itu oleh Rusmin Nuryadin (Ketua Dewan AURI) dicurigai sebagai tindakan penggalangan Sri Mulyono untuk mempertahankan jabatan Men/Pangau yang posisinya terancam.

 

Komodor Suyitno Sukirno, perwira di kubu Rusmin, kemudian meminta bantuan Kostrad hingga datanglah enam panser Angkatan Darat yang mengepung Mabes AURI. Situasi semakin memanas ketika Komodor Suyitno masuk ke dalam ruangan rapat dan mengajak Laksdya Sri Mulyono Herlambang berduel sambil mengeluarkan pistol. Untungnya situasi buruk itu sempat diredakan oleh Komodor Andoko.

 

“Tindakan Suyitno yang mengandalkan kekerasan, justru menunjukkan sikap yang tidak demokratis dalam menyelesaikan masalah. Padahal, sebagai sesama perwira AURI terdapat forum musyawarah untuk menyelesaikan permasalahan bersama. Di samping itu, tindakan Komodor Suyitno tidak sesuai sapta marga dalam menghargai seorang atasan dan perwira yang berpangkat lebih tinggi,” tulis Humaidi (hlm. 110)

 

Pada 31 Maret 1966, Rusmin Nuryadin menjadi Men/Pangau. Hal ini menjadi babak baru dalam dinamika internal AURI. Ia dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Angkatan Darat sehingga banyak yang mengaitkan kenaikan jabatan Rusmin sebagai perpanjangan tangan Angkatan Darat di tubuh AURI. Apalagi sebelumnya, pengangkatan Rusmin didasarkan bukan atas kehendak Sukarno, melainkan berdasarkan diskusi para Dewan AURI yang mayoritas adalah perwira pendukung Angkatan Darat.

 

Jika sebelumnya terlihat indikasi mendukung Sukarno, maka setelah supersemar dan ditunjuknya Rusmin menjadi Men/Pangau, AURI justru mendukung upaya peralihan kekuasaan. Sejak itulah terjadi perubahan di tubuh AURI. Padahal saat itu AURI adalah salah satu kekuatan militer udara terkuat di belahan dunia selatan, dan sangat mungkin untuk membela serta mempertahankan panglima tertingginya (Presiden Sukarno) ketika kekuasaannya sedang digerogoti.

 

Namun, tulis Humaidi, "apabila AURI bertindak membela Presiden Sukarno dengan kekuatan bersenjata, maka akan menimbulkan perang saudara sesama angkatan bersenjata, sehingga AURI memilih mempraktikkan doktrin 'Swa Bhuana Phaksa' dengan memilih keutuhan AURI, ABRI, dan NKRI.” ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar