Senin, 01 Maret 2021

 

Tawa Medusa

 Saras Dewi  ;  Pengajar filsafat di Universitas Indonesia

                                                     KOMPAS, 27 Februari 2021

 

 

                                                           

Legenda menuturkan Medusa sebagai makhluk yang mengerikan. Kepalanya ditumbuhi ular-ular yang menjuntai, mendesis ganas. Matanya begitu mematikan sehingga siapa pun yang dipandangnya akan berubah menjadi batu. Medusa menjadi simbol teror yang membuat gentar musuh-musuhnya. Mitos tentang Medusa disampaikan dari masa ke masa oleh penyair seperti Homer, Hesiod, dan Ovid.

 

Medusa ditampilkan sebagai monster yang akhirnya dikalahkan oleh sang protagonis Perseus. Tidak cukup membunuh Medusa dengan cara memenggal kepala perempuan itu, Perseus juga membawa kepala itu sebagai senjata. Sebab, mata yang mematikan itu tetap ampuh mengubah siapa pun menjadi batu. Kepala Medusa yang dimutilasi itu digunakan Perseus untuk mengalahkan raksasa laut, mengukuhkan posisi dirinya sebagai pahlawan yang masyhur terukir di langit.

 

Sejatinya kisah Medusa menceritakan tragedi seorang perempuan. Pada mulanya Medusa adalah seorang pendeta yang berbakti tulus di kuil Athena. Akan tetapi, kesetiaannya kepada Dewi Athena dibalas dengan kepahitan.

 

Suatu ketika Poseidon, mahadewa samudra, menampakkan dirinya dan menggoda Medusa. Medusa menolak, sebagai seorang pendeta, jiwa dan tubuhnya ia abdikan kepada kebijaksanaan. Poseidon pun murka, tidak menerima bahwa seorang manusia berani melawan kuasa dewa. Poseidon memerkosa Medusa di kuil suci.

 

Dengan penuh rasa sakit hati dan trauma, Medusa mengadu kepada Athena, disebabkan pemerkosaan itu Medusa menjadi hamil. Ia menuntut keadilan kepada sang dewi. Alih-alih menghukum Poseidon karena kejahatannya, Athena malah mencecar Medusa karena dianggap telah menodai kuil.

 

Ia juga menyalahkan Medusa untuk kehamilan itu, bahkan menyangsikan kejahatan Poseidon. Vonis terakhir Athena adalah mengutuk Medusa menjadi monster.

 

Pembacaan kritis terhadap mitos ini akan menguak bahwa Medusa adalah  korban pemerkosaan yang justru dipersalahkan karena berani mengungkapkan kebenaran. Cerita ini masih sangat relevan dengan kejadian nyata di masa sekarang.

 

Perempuan korban kekerasan seksual sulit melaporkan kasusnya ke jalur hukum karena sering kali diragukan kata-katanya. Orang-orang pun kerap bias terhadap korban dan berbalik menghakimi korban. Korban yang melaporkan kekerasan acap kali justru mengalami kriminalisasi sehingga banyak perempuan memilih senyap dan memendam duka.

 

Bagaimana cara mencari pertolongan, atau mengusahakan keadilan, saat perempuan dihabisi kata-katanya? Bahasa hukum tumpul melihat kejahatan yang dialami oleh perempuan, yang sarat akan ketimpangan kuasa, tidak mampu mengidentifikasi pemaksaan dan manipulasi yang terjadi pada perempuan. Dalam beberapa kasus, fakta yang menyedihkan adalah para korban pemerkosaan dianjurkan untuk menikahi pelaku kekerasan sebagai bentuk pertanggungjawaban.

 

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia, mengatakan perlunya reformasi hukum. Karena itulah pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual begitu penting (Kompas, 12 Oktober 2020). RUU ini bertujuan melindungi perempuan sebagai subyek hukum. Namun, reformasi hukum ini masih tertatih-tatih.

 

Bahasa adalah arena kekuasaan. Perempuan terus bergelut untuk menciptakan kata-kata baru yang mendorong kesetaraan. Bahasa diskriminatif masih membelenggu perempuan. Kamus Bahasa Indonesia pun, dalam subentri kata perempuan, tertera frasa-frasa penuh prasangka seperti perempuan jalang, jangak (cabul), nakal, jahat, dan sebagainya. Sepatutnya istilah-istilah ini perlu dirombak dengan yang konstruktif dan afirmatif terhadap semangat kesetaraan.

 

Hélène Cixous melalui esainya yang berjudul ”Tawa Sang Medusa” mengatakan bahwa pembebasan tubuh perempuan ditempuh melalui bahasa. Ia menekankan pentingnya perempuan untuk menulis, menarasikan hidupnya. Tulisan karya perempuan menjadi cara untuk menunjukkan perempuan sebagai individual, sebagai dirinya sendiri.

 

Sastra adalah lorong bawah tanah yang memungkinkan perempuan untuk bergerilya membentuk kata-kata baru, cakrawala baru, harapan untuk dunia baru.

 

Seperti yang dilakukan oleh Ursula K Le Guin, seorang penulis fiksi ilmiah dan juga seorang feminis. Cerita-cerita fantasi yang ia karang mewakili keresahannya melihat kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi di dunia ini. Karyanya yang berjudul ”Kata untuk Dunia adalah Hutan”, dipublikasi pada 1972, disambut oleh penikmat sastra sebagai cerita genre fantasi yang kritis menyerang kolonialisme dan eksploitasi lingkungan hidup.

 

Ia mendeskripsikan proses penjajahan yang keji di Planet Athshe, penjarahan, pemerkosaan, hingga pemusnahan budaya asli setempat yang dilakukan manusia. Perempuan dan bumi senasib mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh sistem budaya yang patriarkis.

 

Semasa saya kanak-kanak, alangkah takutnya saya pada leak. Leak bersemayam di sungai, di pantai, di heningnya hutan bergumul dengan sihir. Orang-orang dilarang mengusik tempat-tempat keramat. Jangan sampai mengundang kemarahan Ni Rangda, sang ratu para leak.

 

Beranjak dewasa saya mempelajari berbagai sisi dari mitos Calon Arang. Calong Arang merupakan cerita dari abad ke-11 yang mengisahkan kehidupan seorang janda yang hidup di Girah. Ia dituding menyebarkan wabah menggunakan sihir hitam.

 

Cok Savitri, seorang perempuan seniman Bali, menyampaikan perspektif yang berbeda tentang Calon Arang. Melalui pementasan yang berjudul Pembelaan Dirah, ia melancarkan protes terhadap stigma seorang janda maupun citra penyihir jahat.

 

Menurut dia, Calon Arang adalah perempuan yang tangguh menantang kekuasaan, ”Semua benteng memiliki celah, begitu pun keangkuhan, tak kecuali kekuasaan retak. Oleh lirik mataku.” Kecerdasan dan kesaktiannya membuat pihak kerajaan khawatir. Bagi Cok Savitri, Calon Arang adalah pelindung bumi yang tercederai. Ibu yang menaungi kaum yang terbuang.

 

Saya tidak lagi merasakan takut pada Rangda, bahkan saya merasa tenang. Kita perlu geram melihat ketidakadilan yang terjadi. Kemarahan Calon Arang, serupa dengan kemarahan Medusa, adalah kemarahan yang tidak akan beristirahat sampai kelaliman musnah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar