Minggu, 14 Maret 2021

 

Menulis Sejarah

 Budiman Tanuredjo  ; Wartawan Senior Kompas

                                                        KOMPAS, 13 Maret 2021

 

 

                                                           

Cerita integritas proklamator Mohammad Hatta masih harum hingga kini. Namanya diabadikan sebagai Bung Hatta Anti-Corruption Award. Kesederhanaan Hatta disebut sosiolog Selo Sumardjan sangat kelewatan. Hanya sepatu Bally buatan Inggris, Hatta yang pernah menjabat wakil presiden tak mampu membelinya. Kini, karena zaman telah berubah, budaya pamer justru kerap dilakukan elite.

 

Begitu juga cerita KH Abdurrahman Wahid. Periode kepresidenannya pendek. Namun, legacy Gus Dur soal kemajemukan dan penghargaan bagi masyarakat Tionghoa sangat diapresiasi. Perayaan Imlek dan kesetaraan masyarakat Tionghoa berkat jasa Gus Dur. Gus Dur sempat disebut-sebut sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Ada juga cerita soal Kapolri Hoegeng Imam Santoso. Sosok teguh dan berintegritas. Dikenal sebagai polisi bersih.

 

Hakim Agung Artidjo Alkostar yang baru saja berpulang dikenang sebagai algojo koruptor. Dia menggunakan palu hakimnya sebagai ikhtiar membersihkan negeri ini dari korupsi. Ia berpulang dalam kesunyian dan meninggalkan kepedihan bagi gerakan antikorupsi. Tetapi mungkin juga kegembiraan bagi koruptor atau calon koruptor. Ada pula kisah polisi Seladi di Malang. Ia mengurusi surat izin mengemudi di Polres Malang, Jawa Timur, sambil menjalankan pekerjaan sampingan sebagai pemulung sampah. Sampai dia pensiun pun, Seladi tetap memulung sampah. Namun, publik menghargai Seladi dan selalu mengaitkannya sebagai ikon kejujuran.

 

Sejarah bangsa kontemporer juga mencatat anak-anak muda Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mendobrak sistem kepartaian Orde Baru. Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan mendirikan PRD. Kemudian, dituduh subversi mendalangi kerusuhan 27 Juli 1996 dan dihukum penjara. Perjuangan mendirikan partai amat berat. Bahkan, sampai reformasi berjalan 22 tahun, PRD belum mampu tampil di pentas nasional. Setelah dibebaskan, Budiman menempuh studi lanjut di Inggris, menjadi anggota DPR dari PDI-P, dan kini menjadi komisaris BUMN. Perjalanan berikutnya masih akan dicatat oleh sejarah.

 

Kalau di Malang ada kisah soal polisi Seladi, di Jakarta ada kisah jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jaksa dengan kehidupan mewah, tinggal di apartemen mewah, menggunakan mobil mewah, ternyata penghasilannya diperoleh dari dagang perkara. Penampilannya pun berubah. Dari yang semula glamor menjadi berpenampilan seperti sangat religius saat diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pinangki menyimpan misteri siapa sebenarnya ”King Maker” yang masih ditutupinya dalam perkara terkait terpidana cessie Bank Bali, Joko S Tjandra.

 

Sejumlah menteri dalam kabinet pemerintahan Presiden Jokowi juga sedang menuliskan sejarah tentang diri, kiprahnya dalam pemerintahan. Ada kisah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Menteri BUMN Erick Tohir dan Wakil Menteri BUMN (kini Menteri Kesehatan) Budi Gunadi Sadikin yang berjibaku mengadakan vaksin untuk negeri. Kini, Budi Gunadi—sosok yang selalu ditempa dalam berbagai krisis—terus bekerja keras untuk meningkatkan vaksinasi bagi 181 juta orang Indonesia guna tercapainya kekebalan komunitas.

 

Ada pula kisah Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko yang menerima ”tawaran” sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa Deli Serdang, Sumatera Utara. Diawali dengan ngopi-ngopi atau ngobrol dengan tokoh Partai Demokrat, Moeldoko akhirnya menerima ”tawaran” menjadi ketua umum untuk menggantikan Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono. Sejarah itu masih akan terus bergerak. Apakah pemerintahan Presiden Jokowi akan mengesahkan penyelenggaraan KLB dan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, masih harus dilihat, beberapa waktu ke depan.

 

Kisah penyelenggaraan negara adalah kisah dramatis dan tidak bisa diduga. Tak ada yang menduga sosok sipil seperti Jokowi—orang kecil dari Solo—bisa menjadi orang nomor satu di republik ini. Ia menjadi presiden sipil pertama di Indonesia yang terpilih secara demokratis untuk dua periode. Anak dan menantu Presiden Jokowi kini terpilih sebagai wali kota Solo dan Medan lewat jalan demokrasi. Keduanya bisa saja meneruskan jejak politik Presiden Jokowi.

 

Juga tak ada yang menduga sosok Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, yang disebut-sebut sebagai ”Matahari dari Timur”, harus meringkuk di tahanan KPK karena disangkakan menerima suap. Padahal, Nurdin adalah penerima anugerah Bung Hatta Anti-Corruption Award. Sistem politik dan birokrasi yang korup, dan pengaruh lingkungan keluarga, menjadi ujian para pemimpin. Ada yang sukses, ada yang gagal melaluinya.

 

Pepatah lama mengatakan, honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, maka mulai berubahlah tingkah lakunya. Kekuasaan memang begitu memesona, menggetarkan. Akibatnya, banyak orang mabuk kekuasaan dan kemudian jatuh karena menyalahgunakannya.

 

Tindakan politik selalu terkait dengan kekuasaan. Merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, dan meng-exercise kekuasaan. Ketika exercise kekuasaan sukses dilakukan tanpa perlawanan, seperti ada energi untuk terus meng-exercise kekuasaan, untuk mempertahankannya.

 

Cerita sejarah sedang dibuat. Terserah elite mau dikenang sebagai apa. Sebagai tokoh bersih, koruptor, pemersatu bangsa, atau sebagai apa. Itu tergantung pilihan dan putusan politik. Namun, yang pasti, generasi berikut akan membaca sejarah itu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar