Tarik
Ulur Revisi UU ITE Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
27 Februari
2021
“Kalau
kesepakatan yang dulu dianggap kurang tepat, ya, dibenahi. Jadi, jangan
alergi dengan perubahan baru. Karena hukum selalu berubah, tidak ada yang
abadi.” (Menko Polhukam
Mahfud MD) Pernyataan Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD logis dan rasional. Undang-undang
adalah kesepakatan politik antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-undang adalah buatan manusia sehingga terbuka diubah, direvisi, atau
malah dicabut. Begitu juga halnya dengan UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) yang belakangan disorot publik. Diskursus soal
revisi UU ITE menguat setelah Presiden Joko Widodo membuka peluang revisi UU
ITE jika implementasinya menimbulkan ketidakadilan. Penerapan UU ITE sering
dikonstruksikan sebagai tidak adil, diskriminatif, dan tebang pilih. Itu
adalah persepsi. Ada yang diperiksa dan ditahan, tetapi ada juga yang
dibiarkan berada di luar. Penerapan hukum yang tidak standar ini memicu
perasaan ketidakadilan. Ketika perasaan ketidakadilan hukum
menerpa, bisa menjadi tumpukan perasaan ketidakadilan publik. Ketidakadilan
sosial dan ketidakadilan ekonomi. Padahal, konstitusi menyatakan, semua warga
negara sama kedudukannya di depan hukum. Gejala ini perlu diantisipasi. Presiden Jokowi kembali pada sikap dasarnya
bahwa demokrasi adalah mendengar suara rakyat. Itu diucapkan Jokowi saat
debat calon presiden tahun 2014. ”Demokrasi itu mendengar suara rakyat dan
melaksanakan kehendak rakyat,” katanya. Karena sikap dasar itulah, sikap
Presiden Jokowi melempar wacana revisi UU ITE adalah mendengar suara rakyat.
Mendengar suara korban UU ITE. Para pembantu Presiden Jokowi perlu
mengonkretkan wacana politik yang dilemparkan Presiden agar menjadi sebuah
tindakan politik. Dinamika di pemerintahan sendiri terasa
berbeda. Ketua Subtim I Kajian UU ITE Henri Subiakto mengatakan, pemerintah
tidak akan merevisi ketentuan yang selama ini dianggap multitafsir atau pasal
karet. ”Kami tentu saja tidak mungkin merevisi yang sudah diputuskan MK, itu
tidak bisa diubah-ubah, karena itu sudah mengikat dan final. Mungkin akan
ditambahi penjelas, dilengkapi supaya lebih jelas,” kata Henri, dikutip dari
Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (23/2/2021). Bahwa UU ITE telah berulang kali diuji
materi ke Mahkamah Konstitusi benar adanya. Ada juga undang-undang sejenis
yang selalu menjadi langganan MK. UU KPK juga beberapa kali diuji materi ke
MK dan MK menjatuhkan putusan. Namun, apa yang diputuskan MK yang sifatnya
final dan mengikat bukan berarti tak boleh diubah. MK hanyalah menguji
konstitusionalitas sebuah pasal dengan UUD. Bukan melarang pemerintah dan DPR
mengubah undang-undang yang sudah diputuskan MK. Buktinya, UU KPK kemudian
direvisi ketika kekuatan politik pemerintah dan DPR menghendakinya meski
publik menolak revisi UU KPK. Soal ambang batas pencalonan presiden di UU
Pemilu juga beberapa kali diuji ke MK. MK mengatakan pengaturan syarat ambang
batas pencalonan presiden ialah open legal policy antara pemerintah dan DPR.
Bahkan, jika kemudian pemerintah dan DPR sepakat mengubah pasal soal ambang
batas, itu keputusan politik. Argumen yang mengatakan pemerintah tak akan
merevisi UU ITE karena sudah beberapa kali diputuskan MK tidaklah tepat. Mengubah undang-undang adalah biasa.
Politik hukum pemerintah dipegang oleh Presiden Jokowi sebagai kepala
pemerintahan. Namun, dalam mengubah UU harus mendapatkan kesepakatan bersama
dengan DPR. Kekuatan politik di DPR-lah yang ikut menentukan UU ITE jadi
direvisi atau tidak. Langkah Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo
Sigit Prabowo membuat pedoman pemidanaan, termasuk memberikan peringatan
virtual, baik-baik saja. Namun, cara itu bergantung pada subyektivitas
penyidik. Begitu juga dengan syarat permintaan maaf, akan ikut menentukan
proses hukum selanjutnya. Surat edaran bukanlah hukum yang mengikat. Surat
edaran adalah pedoman internal dan bukan produk hukum yang dikenal dalam tata
urutan perundang-undangan. Bisa saja gagasan keadilan restoratif yang
diwacanakan Jenderal (Pol) Listyo diakomodasi dalam revisi UU ITE. Konsep
keadilan restoratif adalah konsep di mana penyelesaian tindak pidana yang
melibatkan pelaku, korban, dan pihak terkait, untuk secara bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan mengedepankan pemulihan kembali keadaan
semula dan bukan semata-mata pembalasan. Untuk mencegah kian banyak korban UU ITE
yang trennya kian meningkat, revisi tetap diperlukan dengan memasukkan
prinsip keadilan restoratif. Intinya, kata-kata dan gagasan haruslah dilawan
dengan kata dan data. Penjara bukanlah tempat bagi orang berbeda pendapat,
seperti kata Presiden BJ Habibie. Kebebasan berpendapat dibela sejak zaman
Socrates dalam upayanya membumikan demokrasi. Kebebasan berpendapat bukanlah
asal bunyi atau asal memaki atau menghujat. Harus ada argumentasi. Literasi
digital menjadi penting karena tingkat keadaban daring (online civility) di
Indonesia nilainya 76 dan berada di peringkat ke-29 dari 32 negara yang
disurvei. Data itu menunjukkan, sekali merdeka, merdeka sekali di Indonesia.
Karena itulah, betul kata Mahfud, perlu ada kesepakatan politik baru.
Musyawarah untuk konsensus. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar