Senin, 01 Maret 2021

 

Tarik Ulur Revisi UU ITE

 Budiman Tanuredjo  ;  Wartawan Senior Kompas

                                                     KOMPAS, 27 Februari 2021

 

 

                                                           

“Kalau kesepakatan yang dulu dianggap kurang tepat, ya, dibenahi. Jadi, jangan alergi dengan perubahan baru. Karena hukum selalu berubah, tidak ada yang abadi.” (Menko Polhukam Mahfud MD)

 

Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD logis dan rasional. Undang-undang adalah kesepakatan politik antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang adalah buatan manusia sehingga terbuka diubah, direvisi, atau malah dicabut.

 

Begitu juga halnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang belakangan disorot publik. Diskursus soal revisi UU ITE menguat setelah Presiden Joko Widodo membuka peluang revisi UU ITE jika implementasinya menimbulkan ketidakadilan. Penerapan UU ITE sering dikonstruksikan sebagai tidak adil, diskriminatif, dan tebang pilih. Itu adalah persepsi. Ada yang diperiksa dan ditahan, tetapi ada juga yang dibiarkan berada di luar. Penerapan hukum yang tidak standar ini memicu perasaan ketidakadilan.

 

Ketika perasaan ketidakadilan hukum menerpa, bisa menjadi tumpukan perasaan ketidakadilan publik. Ketidakadilan sosial dan ketidakadilan ekonomi. Padahal, konstitusi menyatakan, semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum. Gejala ini perlu diantisipasi.

 

Presiden Jokowi kembali pada sikap dasarnya bahwa demokrasi adalah mendengar suara rakyat. Itu diucapkan Jokowi saat debat calon presiden tahun 2014. ”Demokrasi itu mendengar suara rakyat dan melaksanakan kehendak rakyat,” katanya. Karena sikap dasar itulah, sikap Presiden Jokowi melempar wacana revisi UU ITE adalah mendengar suara rakyat. Mendengar suara korban UU ITE. Para pembantu Presiden Jokowi perlu mengonkretkan wacana politik yang dilemparkan Presiden agar menjadi sebuah tindakan politik.

 

Dinamika di pemerintahan sendiri terasa berbeda. Ketua Subtim I Kajian UU ITE Henri Subiakto mengatakan, pemerintah tidak akan merevisi ketentuan yang selama ini dianggap multitafsir atau pasal karet. ”Kami tentu saja tidak mungkin merevisi yang sudah diputuskan MK, itu tidak bisa diubah-ubah, karena itu sudah mengikat dan final. Mungkin akan ditambahi penjelas, dilengkapi supaya lebih jelas,” kata Henri, dikutip dari Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (23/2/2021).

 

Bahwa UU ITE telah berulang kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi benar adanya. Ada juga undang-undang sejenis yang selalu menjadi langganan MK. UU KPK juga beberapa kali diuji materi ke MK dan MK menjatuhkan putusan. Namun, apa yang diputuskan MK yang sifatnya final dan mengikat bukan berarti tak boleh diubah. MK hanyalah menguji konstitusionalitas sebuah pasal dengan UUD. Bukan melarang pemerintah dan DPR mengubah undang-undang yang sudah diputuskan MK. Buktinya, UU KPK kemudian direvisi ketika kekuatan politik pemerintah dan DPR menghendakinya meski publik menolak revisi UU KPK.

 

Soal ambang batas pencalonan presiden di UU Pemilu juga beberapa kali diuji ke MK. MK mengatakan pengaturan syarat ambang batas pencalonan presiden ialah open legal policy antara pemerintah dan DPR. Bahkan, jika kemudian pemerintah dan DPR sepakat mengubah pasal soal ambang batas, itu keputusan politik. Argumen yang mengatakan pemerintah tak akan merevisi UU ITE karena sudah beberapa kali diputuskan MK tidaklah tepat.

 

Mengubah undang-undang adalah biasa. Politik hukum pemerintah dipegang oleh Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan. Namun, dalam mengubah UU harus mendapatkan kesepakatan bersama dengan DPR. Kekuatan politik di DPR-lah yang ikut menentukan UU ITE jadi direvisi atau tidak.

 

Langkah Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo membuat pedoman pemidanaan, termasuk memberikan peringatan virtual, baik-baik saja. Namun, cara itu bergantung pada subyektivitas penyidik. Begitu juga dengan syarat permintaan maaf, akan ikut menentukan proses hukum selanjutnya. Surat edaran bukanlah hukum yang mengikat. Surat edaran adalah pedoman internal dan bukan produk hukum yang dikenal dalam tata urutan perundang-undangan.

 

Bisa saja gagasan keadilan restoratif yang diwacanakan Jenderal (Pol) Listyo diakomodasi dalam revisi UU ITE. Konsep keadilan restoratif adalah konsep di mana penyelesaian tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, dan pihak terkait, untuk secara bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan mengedepankan pemulihan kembali keadaan semula dan bukan semata-mata pembalasan.

 

Untuk mencegah kian banyak korban UU ITE yang trennya kian meningkat, revisi tetap diperlukan dengan memasukkan prinsip keadilan restoratif. Intinya, kata-kata dan gagasan haruslah dilawan dengan kata dan data. Penjara bukanlah tempat bagi orang berbeda pendapat, seperti kata Presiden BJ Habibie.

 

Kebebasan berpendapat dibela sejak zaman Socrates dalam upayanya membumikan demokrasi. Kebebasan berpendapat bukanlah asal bunyi atau asal memaki atau menghujat. Harus ada argumentasi. Literasi digital menjadi penting karena tingkat keadaban daring (online civility) di Indonesia nilainya 76 dan berada di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Data itu menunjukkan, sekali merdeka, merdeka sekali di Indonesia. Karena itulah, betul kata Mahfud, perlu ada kesepakatan politik baru. Musyawarah untuk konsensus. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar