Minggu, 03 April 2016

Perpustakaan

Perpustakaan

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                  KORAN TEMPO, 02 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Romo Imam mengunjungi rumah saya di kampung, di mana ada satu ruangan di aula untuk perpustakaan umum. Ia memeriksa rak-rak buku seperti halnya pejabat kabupaten yang sering datang, cuma melihat-lihat tanpa menyentuh bukunya. Romo sampai pada rak yang ada kacanya, di sana ada deretan ensiklopedi. "Banyak yang membaca buku ini?" tanyanya. Saya menjawab jujur: "Sudah 10 tahun saya boyong ke Bali, tak satu pun ada yang membuka."

Romo tersenyum kaget. Saya pun menjelaskan ihwalnya. Dulu, awal 1980-an, tatkala saya baru berkeluarga di Yogyakarta, buku ensiklopedi itu saya beli dengan mencicil. Ada ensiklopedi umum, ensiklopedi kesehatan dan teknologi. Saya taruh di rak yang menyekat ruang tamu, kalau ada rapat rukun tetangga saya berharap ada yang memuji saya. Setidaknya ada yang berkata kalau saya sudah jadi orang terpandang.

Tentu sesekali saya baca. Begitu pula ketika diboyong ke Jakarta. Tapi kini sudah 10 tahun lebih tak ada satu pun yang membuka, termasuk saya. "Semuanya sudah ada di Google, bahkan lebih lengkap dan baru," kata saya. Romo lalu menuju ke rak buku-buku budaya dan agama. "Wow, ada komik Mahabharata R.A. Kosasih, lengkap pula. Apa anak-anak kampung ini suka?" tanyanya. Saya jawab: "Tentu suka Romo. Tapi buku itu tak lagi disentuh. Sudah saya sediakan flash disk dan anak-anak membaca komik itu di layar televisi LED yang besar. Semua komik ini sudah ada dalam format pdf." Romo mengalihkan pandangan pada sudut ruangan yang ada beberapa televisi dan komputer.

"Komputer itu dipakai untuk download dokumen, e-book, termasuk doa-doa yang tersebar di Internet, kalau belum ada koleksinya di sini. Lalu pengunjung meng-copy-nya ke handphone masing-masing," kata saya. "Apa anak-anak kampung ini punya handphone?" tanya Romo. "Waduh Romo, cucu saya yang baru empat tahun saja sudah main iPad. Itu dia, asyik menonton Upin Ipin atau mungkin kartun Mr Bean, meski sesekali meniru doa dalam berbagai irama," saya menunjuk cucu di sudut aula. "Membeli iPad atau sejenisnya, paling menjual dua karung kopi, dan Wi-Fi di sini gratis."

Kami minum kopi luak, asli produksi kampung. "Kalau begitu, untuk apa anggota Dewan Perwakilan Rakyat ngotot membangun perpustakaan terbesar di Asia Tenggara? Anggaran setengah triliun rupiah lebih," tiba-tiba Romo berseru. "Mungkin untuk menambah tempat tidur," jawab saya. 

Karena Romo melongo, saya jelaskan, ada orang yang tak bisa tidur siang di tempat yang formal meski mengantuk. Mereka baru bisa tidur jika di ruang rapat atau ruang sidang yang membosankan, atau di mobil yang terkena macet, atau di pesawat terbang. Karena itu, banyak anggota DPR yang ketiduran saat rapat paripurna yang tak ada perdebatan lagi. Saya juga seperti itu. "Siapa tahu di ruang perpustakaan yang besar dengan disediakan kursi yang lumayan, anggota DPR bisa rehat dan lelap," sambung saya.

"Ah sampeyan guyu, saya serius," Romo meneguk kopinya, dan saya menjawab: "Kalau serius, ya, tak ada gunanya DPR membangun perpustakaan yang lebih besar dari yang sekarang. Yang ada saja tak dimanfaatkan. Lagi pula, tren ke depan perpustakaan itu harus digital, bukan deretan buku, melainkan deretan komputer dan televisi yang kini sudah dilengkapi USB. Sementara pegawai perpustakaan terus mengkonversi buku-buku tua untuk dijadikan digital dan pengunjung bisa baca di sana atau meng-copy ke perangkatnya masing-masing."
Romo menerawang sejenak, lalu berkata: "Jangan-jangan anggota DPR itu gagap teknologi, kalah sama anak-anak kampung." ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar