Poros Baru Studi Islam
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 22 April
2016
Saya
memulai karier sebagai dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1981,
dengan modal ijazah doktorandus. Ijazah ini sudah setingkat MA menurut
tradisi Belanda, tapi di perguruan tinggi AS masih dianggap strata satu,
karena belum memiliki ijazah resmi master. Padahal, untuk meraih doktorandus
diperlukan waktu studi enam tahun, sudah ekuivalen dengan masa tempuh untuk
meraih master. Saya menempuhnya sampai tujuh tahun. Bahkan beberapa aktivis
‘66 ada yang memerlukan waktu 14 tahun baru tamat doktorandus.
Sekarang
hampir semua perguruan tinggi di Indonesia menerapkan strata S-1, S-2, dan
S-3 dengan pembatasan waktu yang ketat, sehingga mahasiswa dituntut lebih
menekankan studi, semakin berkurang peluang kiprah di luar kampus. Sejak
diangkat sebagai dosen, sesungguhnya saya malu. Merasa tidak pantas. Sama
saja dengan alumni SMA mengajar SMA. Secara intelektual dan emosional belum
memenuhi syarat.
Semasa
studi di pesantren saya selalu membayangkan betapa indahnya kalau saja bisa
meneruskan belajar Islam ke Timur Tengah seperti di Mesir, Arab Saudi, atau
Irak. Terbayang waktu itu masyarakat Arab orangnya saleh-saleh, calon
penghuni surga karena mereka hidup dengan mengikuti tradisi ajaran Islam yang
diwariskan Rasulullah. Tertanam dalam hati bahwa bahasa Arab adalah bahasa
surga karena bahasa Arab adalah bahasa kitab suci Alquran. Belajar bahasa
Arab seakan identik dengan belajar agama.
Kenangan
dan impian sewaktu di pesantren ternyata meleset. Selagi masih kuliah justru
saya ingin meneruskan studi lanjut ke Amerika Serikat (AS) atau Kanada. Dua
orang yang memengaruhi pikiran saya, almarhum Prof Harun Nasution dan
Nurcholish Madjd. Prof Harun alumni Mesir, meneruskan program master dan
doktor di McGill University, Montreal, Kanada. Cak Nur alumni UIN Jakarta,
menamatkan doktor di Chicago University, AS.
Berkat
bergaul dekat dengan keduanya, di mata saya mereka berbudi luhur, santun,
berintegritas tinggi, pengetahuan agama maupun umum sangat luas dan dalam.
Kemuliaan akhlak dan keluasan ilmunya sangat mengesankan tidak saja terhadap
saya, tetapi juga mahasiswa UIN Jakarta, terutama mereka yang juga aktivis
HMI. Makanya banyak kemudian alumni UIN Jakarta yang tadinya berasal dari
pesantren tertarik meneruskan program doktornya ke AS, Kanada, Inggris dan Australia.
Sebut
saja Dr Din Syamsuddin dari UCLA, Dr Azyumardi Azra dari Columbia University,
Dr Bahtiar Effendy dan Dr Saiful Mujani dari Ohio State University. Alumni
doktor dari McGill paling banyak jumlahnya. Ada Fuad Jabali, Yeni
Ratnaningsih, Nurlena, Yusuf Rahman, Didin Syafruddin, Muhammad Zuhdi, Hendro
Prasetyo, dan Ali Munhanif.
Lalu
ada Dr Mulyadi dari Chicago University, Dr Jamhari Makruf dan Dr Ismatu Ropi
dari Australian National University (ANU), Dr Din Wahid dan Dr Chaider
Bamualim dari Leiden University, Dr Saiful Umam dari University of Hawaii, Dr
Amelia Fauzia dari Melbourne University, Dr Jajang Jahroni dari Boston
University, dan masih banyak lagi alumni UIN Jakarta yang tidak saya sebut
namanya, yang berasal dari pesantren berhasil menamatkan doktor dari
universitas papan atas dunia, termasuk dari Sorbone, Berkeley, dan Harvard.
Di negeri Barat sendiri beberapa universitas papan atas memiliki program
studi Islam dengan mendatangkan profesor-profesor ternama dari dunia Islam.
Fakta
di atas setidaknya menunjukkan satu hal, yaitu telah terjadi poros baru para
santri Indonesia belajar Islam tidak selalu berkiblat ke dunia Arab. Terlebih
sekarang lagi dilanda krisis politik, ekonomi, dan peradaban, jadilah daya
tarik studi ke dunia Arab menurun. Saya sendiri meneruskan studi master dan
doktor tidak ke Arab, tidak juga ke Barat, melainkan ke Turki. Neither West nor East. Sebuah negara
yang terjepit antara Arab dan Barat, atau, negara yang mempertemukan antara
tradisi Arab dan Barat.
Dari
semua yang saya sebutkan di atas, saya paling senior. Peluang pertama yang
terbuka bagi saya belajar ke luar negeri adalah ke Turki, yang waktu itu
tidak masuk daftar tujuan studi bagi mahasiswa Indonesia.
Peluang
ke Barat dengan basis beasiswa masih dalam proses negosiasi. Saya tidak punya
gambaran bagaimana perguruan tinggi di Turki. Yang penting menamatkan doktor
di luar negeri. Munawir Sjadzali, menteri agama kala itu, meminta saya
menjadi pionir belajar ke Turki. Itu bangsa dan negara yang sangat kaya
dengan sejarah masa lalunya. Bangsa yang tidak pernah dijajah Barat, bahkan
pernah menguasai sebagian Eropa dan hampir seluruh dunia Islam semasa
Kekhalifahan Usmani (Ottoman Empire ).
Saya
belajar di Ankara, Turki, antara 1984-1990. Terbukanya poros baru dosen-dosen
UIN dan IAIN belajar ke perguruan tinggi di luar Timur Tengah tak lepas dari
peran Munawir Sjadzali yang sengaja mendorong mereka agar mempelajari ilmu
sosial kontemporer untuk memperkaya studi Islam klasik yang telah dipelajari
di pesantren dan IAIN. Sekarang ini minat dosen muda alumni pesantren lebih
tertarik studi Islam ke perguruan tinggi Barat ketimbang ke Timur Tengah. Ada
apa ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar