"The Prayer"
Trias Kuncahyono ; Penulis
Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
|
KOMPAS, 24 April
2016
Andrea
Angel Bocelli (1958) dan Céline Marie Claudette Dion (1968). Yang pertama,
Andre Bocelli, tenor kondang dari Italia. Yang kedua, Céline Dion, penyanyi
diva lagu-lagu pop dari Kanada. Keduanya bertemu dalam lagu "The Prayer" (1999), salah
satu lagu yang ada dalam album Sogno (Mimpi)-nya Andrea Bocelli.
Singel
"The Prayer" dirilis pada
1 Maret 1999. Pada mulanya lagu ini direkam dalam dua versi solo terpisah:
versi bahasa Inggris oleh Céline Dion dan versi bahasa Italia oleh Andrea
Bocelli yang kemudian muncul dalam soundtrack film Quest for Camelot, Mei 1998.
Lagu
ini memenangi Golden Globe Award
sebagai Best Original Song dari
film Quest for Camelot (1999).
Dalam film itu, Céline Dion menyanyikan lagu itu secara solo dengan lirik
yang sedikit berbeda.
Masih
panjang catatan tentang kehebatan lagu "The
Prayer". Karena itu, bukan tanpa alasan kalau lagu "The Prayer" menjadi
populer, menjadi sangat kondang. Salah satu alasan yang membuat lagu itu
populer adalah lirik lagu "The
Prayer", dalam bahasa Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo
menyentuh rasa dan perasaan orang yang paling dalam, yakni kerinduan atau
harapan akan terciptanya dunia dengan keadilan dan dunia tanpa kekerasan.
Dengan kata lain, dunia yang damai, aman, dan sentosa.
Coba
simak sebagian baitnya:
"Sognamo un mondo
senza piu violenza/Un mondo di giustizia e di speranza/Ognuno dia la mano al
suo vicino, simbolo di pace e di fraternita (Kita memimpikan suatu dunia yang bebas
dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya
mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan)".
Itulah
impian semua orang. Semua orang pencinta damai dan perdamaian. Akan tetapi,
mimpi ternyata tidak selalu sama dengan kenyataan. Karena itu, mimpi sering
disebut hanya "bunga tidur". Mimpi akan dunia yang aman dan damai,
dunia tanpa kekerasan, dunia tanpa kekejaman, ternyata harus berhadapan
dengan kenyataan dunia yang semakin jauh dari perdamaian dan kedamaian, dunia
yang semakin tidak berhati.
Perang
di Suriah-yang sering disebut sebagai perang saudara lalu perang proksi-dari
hari ke hari semakin menjadi-jadi. Korban tewas, sejak perang berkobar lima
tahun silam, menurut PBB, sudah lebih dari 250.000 orang (menurut Syrian Centre for Policy Research,
jumlah korban tewas mencapai 470.000). Penduduk Suriah sebelum perang
berjumlah sekitar 22,5 juta jiwa.
Perang
juga memaksa orang mengungsi untuk mencari tempat yang aman. Jumlah orang
Suriah yang mengungsi, baik mengungsi di dalam negeri Suriah maupun ke negara
tetangga dan Eropa, mencapai sembilan jutaan orang.
Suriah
hanya satu contoh bahwa mimpi akan perdamaian dan kedamaian itu ibarat kata
jauh panggang dari api. Di kawasan dunia lain pun sama. Di Nigeria, sejak
tahun 2012 hingga kini, 500 hingga 2.000 anak perempuan dan laki-laki diculik
oleh kelompok teroris Boko Haram. Mereka, yang perempuan, kalau tidak mau
diperistri, dijual dan dijadikan budak seks. Mereka juga dijadikan pengebom
bunuh diri. Anak laki-laki dicuci otaknya dan dijadikan tentara untuk
memerangi dan membunuh keluarga mereka sendiri.
Negara
lain di Timur Tengah, seperti Libya dan Yaman, masih dibelenggu oleh
permusuhan: saling bunuh di antara sesama anak bangsa. Konflik
Palestina-Israel, sebuah konflik yang sudah melintasi abad, tidak juga
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Yang terjadi justru sebaliknya.
Terorisme
muncul di mana-mana, tidak hanya monopoli Timur Tengah, tetapi juga di AS,
Eropa, negara-negara Asia, dan Indonesia. Konflik bermantel agama juga masih
muncul. Lalu orang bertanya, apa artinya agama kalau toh orang masih juga
berbuat jahat terhadap orang lain, bahkan membunuh atas nama agama.
Melihat
kenyataan itu, mengingatkan pada apa yang dikatakan oleh filsuf asal Inggris,
Thomas Hobbes (1588-1679). Ia mengatakan bahwa manusia serigala bagi
sesamanya, homo homini lupus est.
Frasa populer tersebut mula pertama diungkapkan oleh Plautus Asinaria,
seorang komedian zaman Romawi. Secara lengkap ia mengatakan, lupus est homo homini, non homo, quom
qualis sit non novit, yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah manusia
serigala bagi sesamanya; ia bukan manusia jika tidak paham hakikatnya.
Manusia
serigala, tentu, tidak peduli pada lagu yang dinyanyikan oleh Andrea Bocelli
dan Céline Dion: "Ognuno dia la
mano al suo vicino, simbolo di pace e di fraternita (setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda
perdamaian dan persaudaraan)". Dalam kalimat lain, Karen Armstrong (Twelve Steps to a Compassionate Life)
merumuskan, "Berbuatlah selalu kepada orang lain sebagaimana engkau
kehendaki orang lain berbuat terhadap dirimu sendiri." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar