Mengurai Masalah di Penjara
Amzulian Rifai ; Ketua
Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 25 April
2016
Ketika mengambil mata kuliah Hukum
Hak Asasi Manusia di Melbourne University Law School, salah satu tempat yang
dikunjungi sebagai bagian dari kuliah lapangan adalah penjara di State of
Victoria. Sudah lama memang, tahun 1993, tetapi pengalaman mengunjungi
penjara di Australia itu tetap membekas hingga sekarang. Di antara pengalaman
itu, pengamanan penjaranya luar biasa. Profesor saya bercerita ”tidak mudah”
baginya mendapatkan izin berkunjung ke penjara di State of Victoria ketika
itu. Apalagi membawa serta puluhan mahasiswa tingkat akhir. Kesan kedua,
penjaranya tertata rapi. Sekilas hamper tidak ada kesan penjara karena
fasilitas kamar yang bagus, fasilitas umum bersih dan terawat rapi. Semua itu
dapat terjadi karena jumlah warga binaan masih ideal.
Bahkan beberapa kamar masih kosong.
Memang menurut penjelasan manajemen penjara ketika itu, ada juga penjahat
kambuhan yang kembali lagi ke penjara yang sama. Saya juga masih mampu
mengingat penjara yang saya kunjungi memiliki fasilitas televisi di setiap
kamar. Malah ada blok khusus yang memiliki fasilitas gimnasium yang bagus.
Mungkin salah juga jika saya
menyimpulkan pastilah betah para outlaws untuk menetap di penjara yang saya
kunjungi itu. Sekilas, ”beruntung juga” orang Australia yang memiliki penjara
jauh lebih luas dan jauh lebih nyaman bila dibandingkan dengan penjara di
Indonesia dengan berbagai cerita luar biasa parahnya. Agaknya, siapa pun yang
menjadi menteri yang menaungi urusan penjara tidak akan sanggup mengurai
benang kusut di penjara kita.
Hanya dalam sebulan terakhir saja
sekitar empat kali terjadi kerusuhan parah yang menyesakkan dada. Jika kita
ingat, ada kerusuhan di Penjara Kerobokan, Bali, 22 April 2016. Kerusuhan
Rutan Malabero, Bengkulu 25 Maret. Awal April lalu kerusuhan juga terjadi di
Lapas Kuala Simpang, Aceh. Paling baru, 23 April 2016 di Lapas Banceuy,
Bandung, Jawa Barat.
Para narapidana mengamuk/membakar
bangunan lapas. Para narapidana menduga rekannya, Undang Kosim, tewas akibat
dianiaya petugas lapas. Beban berat kembali harus dipikul Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sebagai menteri yang menaungi aktivitas
penjara.
Beliau tentu paling merasa
bertanggung jawab untuk mengurai benang kusut di penjara. ”Berapa dana yang
harus dikeluarkan untuk membangun ini kembali, pusing saya jadinya,” ungkap
beliau ketika berdialog dengan narapidana yang ditahan di Lapas Banceuy.
Saya ingin menegaskan kembali,
siapa saja yang menjadi menteri yang menaungi urusan manajemen penjara tidak
akan pernah sanggup menyudahi berbagai masalah tanpa fokus terhadap beberapa
hal. Pertama, manajemen penjara yang korup. Ini inti dari berbagai varian
persoalan di penjara kita.
Ada peredaran narkoba yang mungkin
membuat ”orang luar negeri” gelenggeleng kepala bahwa hal ini nyata terjadi
di penjara Indonesia. Jika narkoba saja dapat beredar di penjara-penjara
Indonesia, apalagi pelanggaranpelanggaran lainnya. Ada lagi yang bercerita
bagaimana kehidupan dalam penjara tidak berbeda jauh dengan kehidupan di luar
sana.
Mereka tetap dapat memenuhi
berbagai kebutuhan sebagaimana juga orang normal, syaratnya tentu saja
memiliki banyak uang. Salah satu penjara yang saya kunjungi dihuni oleh
orang-orang hebat dan memiliki uang banyak. Banyak fasilitas ”duniawi” juga
mereka miliki. Masalah bertambah runyam ketika manajemen penjara yang korup
diperparah pula dengan persoalan akut berlarut, yaitu penjara yang melebihi
kapasitas.
Di antara penjara kita ada yang
berpenghuni lima kali lebih banyak dari yang seharusnya. Pada kondisi penjara
yang over-capacity, berlaku pula hukum ekonomi sederhana, yaitu supply and
demand. Jika ada banyak orang meminta fasilitas yang terbatas, apa pun dapat
terjadi untuk pemenuhan kebutuhan itu. Begitulah kondisinya berputar lagi ”ke
atas” hingga membentuk manajemen yang korup.
Penjara yang melebihi kapasitas
justru dihadapkan pada jumlah sipir yang sangat terbatas. Konon satu orang
sipir harus menjaga 100 warga binaan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana
cara mengawasi 100 warga binaan dengan berbagai karakter yang umumnya sebagai
pelaku kriminal. Kita belum berdiskusi soal fasilitas bagi para pegawai
penjara yang rendah dihadapkan pada tugas yang luar biasa berat.
Patriotisme, nasionalisme, dan
titel-titel heroik lainnya yang dilekatkan kepada seorang pegawai penjara
pastilah sulit menang dihadapkan dengan realitas hidup dan hukumsupply and
demand tadi. Kita meyakini pemerintah, termasuk Menteri Yasonna Laoly,
berjuang keras mengurai masalah penjara. Ada banyak diskusi dan lokakarya
membahas soal ini sekaligus mengutip berbagai teori mengenai kepenjaraan.
Tapi ”jangan juga salah” banyak teori di dunia ini tidak berlaku ketika
diterapkan di Indonesia.
Mengurai masalah penjara harus
fokus pada pembenahan tiga hal saja: mereduksi manajemen yang korup,
mengatasi over-capacity, dan meningkatkan kuantitas/kapasitas staf lapas.
Tanpa kemampuan mengurai tiga masalah itu, jangan heran jika ke depan
kerusuhan tetap menjadi momok bagi penjara di Indonesia dengan 1.001
persoalan akutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar