Deparpolisasi dan State-Capture
Arifki ; Pengamat
Politik
|
HALUAN, 28 Maret
2016
Setelah Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (baca: Ahok) memilih maju melalui
jalur independen pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Isu deparpolisasi kembali
menyeruak kehadapan publik tentang eksistensi partai politik yang tidak
dipedulikan kandidat untuk mengusungnya menjadi kepala daerah sebagai
kapal politik.
Masalah apa yang menyebabkan kandidat
tidak lagi menganggab partai sebagai instrumen utama yang menopang kompetisi
politik untuk merebut kepala daerah?. Apakah keberadaan partai politik
menjadi alasan kandidat, organisasi yang dipersiapakan untuk merebut kekuasaan
ini tidak mampu lagi menjaring calon kepala daerah secara fair?. Oligarki
partai yang dikuasai elit tertentu menjadikan kandidat “emoh” bergantung
dengan partai politik, sehingga memilih jalur independen sebagai kendaraan
politik yang digerakan relawan.
Pertanyaan diatas perlu dicarikan jawaban
serta analisnya sebagai obat demokrasi Indonesia yang tak lagi mempercayai
partai politik sebagai tempat kaderisasi pemimpin bangsa dari level terendah
sampai tertinggi. Menurut saya, kandidat memang sudah kecewa dengan
keberadaan partai politik yang tidak mengakomodasi kepentingan-kepentingan
kader-kader pontensial partainya. Dengan lebih mengedepankan kedekatan
keluarga yang diusung sebagai juru kunci partai, menjadikan kandidat yang
berkualitas secara individu memilih lari dari partai dan memilih melalui
jalur independen.
Selain itu, kandidat juga membaca kondisi
psikologis elektoral yang tidak lagi mempercayai partai politik sebagai
bagian dari komunikasi politik masyarakat dengan pemerintah. Masalah
korupsi dan oligarki elit keluarga bisa jadi menjadi alasan partai-partai
mulai ditinggalkan basis pemilih. Makanya, istilah deparpolisasi muncul
sebagai bentuk protes terhadap partai yang tidak memberikan harapan terhadap
tegaknya demokrasi.
Secara pengertiannya, deparpolisasi
adalah fenomena psikologis yang tercermin dari menurunnya kepercayaan publik
terhadap partai politik.
Dalam leksikon ilmu politik, deparpolisasi bisa
diukur melalui dua dimensi. Pertama, bisa dilihat
dari seberapa banyak pemilih yang mengidentifikasikan dirinya dengan partai
atau dimensi afeksi, dan kedua, dilihat dari
evaluasi masa pemilih terhadap fungsi intermediasi partai atau dimensi
rasional. (Biorcio dan Mannheimer, 1995).
Berkurangnya elektoral yang
mengidentifikasi dirinya dengan partai politik menjadikan partai politik
kesulitan memiliki basis pemilih pasti. Berkaca pada Orde Lama, kehadiran
Masyumi, PDI dan Golkar tiga partai yang di deparpolisasi oleh
Soeharto, basis elektoral masing-masing partai itu jelas, pro pemerintah,
nasionalis dan agamais. Berbeda dengan era reformasi, menjamurnya ideologi
partai yang sama dengan institusi partai yang berbeda. Impaknya, elektoral
juga kesulitan mengidentifikasi dirinya menjadi bagian dari partai yang
mana dengan ideologi yang sama.
Besarnya gelombang pemilih pasca
reformasi 1998 bukanlah bentuk pemilih berkualitas menentukan arah politiknya
terhadap salah satu partai. Tetapi, kungkungan Orde Baru yang relatif lama
menjadikan elektoral memuntahkan kekangan tersebut dengan partisipasi
politik yang tinggi. Namun, partisipasi politik yang tinggi tidak menunjukan
arah ideologis elektoral yang cerdas pemilih mengambang (Swing Voter) menjadi
popular sebagai basis pemilih yang diperebutkan dibandingkan ideologis.
Alasan-alasan ini lah yang menjadikan
berkembangnya kandidat calon indepeden yang maju pada kontestasi kepala
daerah kabupaten/kota/ provinsi. Selanjutnya, keberadaan calon independen
yang massif itu merupakan kebaikan bagi kemapanan demokrasi Indonesia.
Istilah deparpolisasi dengan pengurangan jumlah partai dengan mencontoh
kebeberapa negara dengan sistem dwi partai. Persoalan calon independen yang
dikendalikan relawan yang tidak terstruktur lebih baik kita menggunakan sistem
dua partai.
Kebaikan-kebaikan yang kita analisis secara
jernih tentang calon independen yang didukung relawan sebagai kemurniaan
demokrasi yang tanpa intervensi. Pendapat tersebut tidak saya sepakati
sebagai tesis yang mencerdaskan kedepannya. Pasalnya, tesis yang
menjelaskan wacana partai yang olgarki dan korupsi, maka kita harus “emoh”
partai adalah bentuk penghancuran demokrasi dari organisasi yang terstruktur.
Persoalan partai politik oligarki dan
korupsi, serta calon independen menjadi solusi memberikan keraguan kita
tentang berjalannya demokrasi yang sehat. Artinya, kepala daerah yang di
dukung relawan bukan partai politik menjadi masalah saat calon kepala daerah
tersebut menang. Jika saja, calon yang ikut pilkada melalui jalur independen
melakukan kesalahan kepada siapa kita meminta tanggungjawab atas kesalahan dilakukanya.
Apakah kita akan memaki-maki relawan yang hanya ada pada saat menjelang dan
saat pemilihan, setelah itu mereka membubarkan diri dan menjadi masyarakat
biasa?. Ini menjadi catatan kalau calon idependen yang anti partai gagal
paham sebagai pembenaran kegagalan partai sebagai alasan “emoh” peduli
dengan partai politik.
Selain kepada siapa pertanggungjawaban kepemimpinan
kepala daerah itu ditumpangkan secara kelembagaan yang mengusungnya.
Masalah State-Capture, alasan calon independen pantas kita ragukan.
Artinya, dengan menolak bantuan partai politik calon independen tentu
membangun kerjasama dengan pebisnis (baca: pengusaha) untuk modal pemenanganya
menjadi kepala daerah.
Hubungan intim pengusaha-penguasa ini
tentu lebih menakutkan dibandingkan partai politik yang bermasalah dengan
oligarki dan korupsi. Yang jelas, kesempatan kita menghukum mereka pada
saat pemilu bukti ada institusi yang bertanggungjawab atas kesalahan
partainya selama berkuasa. State-Capture menjadi hubungan administratif
bisnis, kepentingan penguasa-pengusaha yang sulit dideteksi. Jadi,
bersengakrutnya persoalan calon independen dan parpolisasi kita harus duduk
bersama memikirkan masalah ini secara jernih.
Baru baru ini, Ahok pun sudah mendapatkan
dukungan dari Partai Nasdem dan Hanura yang mengusung Ahok dengan
bergabungnya partai ini dengan “Teman Ahok”. Upaya yang dilakuan Ahok untuk
maju melalui jalur independen, jangan sampai hanya sebagai wujud eksistensi
dari atas statmen Kepala Bidang Advokasi
DPP Partai Gerindra Habiburokhman membuat janji di akun Twitternya. Habiburokhman
mengatakan, dia akan terjun dari puncak Monas jika Teman Ahok mampu
kumpulkan data 1 juta formulir KTP. Jadi, alasan ini memperkuat
Ahok untuk maju melalui jalur independen.
Bergabungnya Nasdem dengan Teman Ahok,
segi politik saat ini tentu tidak bisa membaca kepentingan partai ini di
masa depan. Tetapi, saya membaca Nasdem sedang membangun ekspektasi partainya
di masa depan, 2019, untuk menumpang popularitas Ahok sebagai basis mendapatkan
dukungan publik serta mencitrakan partainya. PDI-P yang awalnya ingin
mendukung Ahok dengan Djarot Syaipul Hidayat, batal karena tegasnya Ahok mencalonkan
diri menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Lagi-lagi, media
yang dimiliki pemimpin Nasdem, menjadi alasan kuat Ahok dengan tegas juga
menerima dukungan partai ini bergabung dengan “Teman Ahok”.
Selain itu, Hanura yang memilih bergabung
dengan teman Ahok sebagai penyumbang 15 kuris di DKI Jakarta, sedangkan
Nasdem 5 kursi. Secara matematikan politik juga ingin menumpang pada popularitas
Ahok untuk mencitrakan partainya. Yang jelas, Hanura memahami konflik Ahok
dengan Gerindara, dengan memanfaatkan juga hubungan tidak baik Wiranto
dan Prabowo Subianto. Hanura tentu ingin membangun garis yang kuat
sebagai bentuk dukungan politiknya terhadap Ahok dan mempertemukan lagi
perang dingin dua tokoh ini dalam gelanggang politik untuk memperebutkan
kekuasan melalui partai politik.
Jadi, majunya Ahok melalui jalur independen atau melalui
partai
politik. Kepentingan dibelakang
sulit dihindari sebagai bahaya politik di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar