Menjadikan Pilkada Menarik dan Bermutu
Toto Sugiarto ; Ketua
Departemen Riset dan Consulting PARA Syndicate
|
KOMPAS, 30 April
2016
Sejumlah anggota DPR bersikeras
mengegolkan keinginan untuk memperberat syarat dukungan bagi calon perseorangan.
Meskipun dalam draf revisi UU Pilkada yang diusulkan pemerintah tidak
mengubah syarat calon perseorangan, sejumlah anggota DPR ngotot
mengusulkannya dalam pembahasan yang ditargetkan selesai akhir April ini. DPR
ingin menaikkan syarat dukungan dari 6,5-10 persen menjadi 10-15 persen dari
jumlah daftar pemilih tetap.
Di tengah sempitnya waktu, syarat
pencalonan, baik untuk calon yang diusung parpol maupun yang maju lewat jalur
perseorangan, jadi prioritas. Berbeda secara diametral dengan keinginan
terhadap syarat dukungan bagi calon perseorangan, untuk calon dari parpol
kalangan DPR ingin meringankan syarat itu dari 20 persen kursi di DPRD
setempat atau 25 persen suara pada pemilu untuk DPRD jadi 15 persen kursi
atau 20 persen suara.
Merugikan
bangsa
Apakah langkah parpol-parpol ini
akan berdampak baik bagi mereka? Sekilas terlihat langkah mereka akan
menguntungkan parpol. Calon perseorangan akan membentur hambatan yang tinggi
untuk sampai ke arena kontestasi. Hal ini akan menghindarkan calon yang
diusung parpol dari keharusan berhadapan dengan calon perseorangan, terutama
calon yang kuat. Calon perseorangan yang kuat tampak amat menggentarkan,
seperti pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan maju lewat jalur
perseorangan pada pilkada di DKI Jakarta.
Kalau upaya menghambat Ahok
menjadi alasan di balik kehendak memperberat persyaratan bagi calon
perseorangan, ini suatu langkah kerdil. Langkah yang didasari kepentingan
sempit-sesaat. Kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan negara dan
bangsa, diabaikan.
Selain itu, mencermati pengalaman
di pilkada serentak 2015, pasangan calon perseorangan mayoritas bukan dari
kalangan yang murni non-parpol. Politisi PPP dan Partai Golkar, misalnya, di
Pilkada 2015 menghadapi masalah: partai mereka berkonflik sehingga tak mampu
mengusung calon. Banyak di antara mereka maju ke arena pilkada lewat jalur
perseorangan. Artinya, pintu calon perseorangan sejatinya merupakan exit
strategy bagi orang parpol yang tidak bisa maju lewat jalur perseorangan.
Dengan demikian, mempersulit pintu
calon perseorangan sama saja mempersulit orang parpol sendiri. Parpol yang
berupaya mempersulit pintu calon perseorangan sama saja berupaya menutup
pintu kemungkinan bagi kader-kadernya yang ingin maju pilkada, tetapi terhambat
karena masalah internal parpol.
Bagi rakyat, memperberat syarat
dukungan bagi calon perseorangan adalah merugikan karena akan mempersempit
pintu bagi masuknya alternatif calon. Rakyat tidak memiliki alternatif calon
yang memadai atau representatif bagi mereka.
Bagi negara dan bangsa, keinginan
ini merugikan karena menghilangkan kemungkinan diperolehnya alternatif
pemimpin yang bisa membawa negara pada kemajuan. Politisi Senayan harus
mempertimbangkan hal ini, tidak semata-mata berhitung perebutan kekuasaan.
Keadilan
yang tak adil
Alasan dari kehendak menaikkan
syarat dukungan ini adalah untuk terwujudnya keadilan. Mereka membandingkan
syarat dukungan bagi calon perseorangan dengan syarat partai politik/gabungan
partai untuk mengusung calon, yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara
pada pemilu terakhir di daerah itu. Mereka berkilah, perbedaan angka
persyaratan adalah tidak adil.
Politisi Senayan salah dalam
menilai hal itu. Keadilan itu tidak dilihat dari kesamaan angka
persentasenya, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek lain. Bagi calon
yang diusung partai politik, angka 20 persen kursi atau 25 persen suara itu
adalah angka yang sudah dimiliki parpol/gabungan parpol. Tak perlu ada upaya
mendapatkannya dari bawah, dari rakyat.
Sementara bagi calon perseorangan,
angka 6,5-10 persen dukungan tersebut adalah angka yang harus diperjuangkan
dari rakyat langsung, yang dibuktikan dengan diperolehnya fotokopi KTP
pemilih. Angka itu adalah angka yang belum di tangan.
Jika berbicara masalah keadilan
dalam hal syarat dukungan ini, mesti dilihat dari tingkat kesulitannya,
upaya-upaya untuk meraih itu. Parpol yang telah meraih angka syarat minimal
tak perlu bekerja apa pun untuk memenuhinya. Pasangan calon tinggal
melenggang. Parpol yang belum memenuhi syarat minimal tinggal melirik
"kiri-kanan". Adakah parpol lain yang berminat bekerja sama dalam
mengusung calon yang sama. Sementara
bagi calon perseorangan, angka batas minimal dukungan itu benar-benar harus
diperoleh dari rakyat satu per satu. Diperlukan perjuangan dan kerja keras
untuk sampai pada batas minimal.
Dengan demikian, adalah bijaksana
jika gagasan menaikkan syarat dukungan calon perseorangan dipikirkan ulang.
Alih-alih memperberat syarat dukungan dari satu jalur pencalonan, DPR lebih
baik memikirkan bagaimana meringankan syarat pencalonan, baik bagi calon
perseorangan maupun bagi calon dari parpol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar