Mir
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 21 April
2016
Mari kita tinggalkan
sejenak negeri ini yang tengah gaduh mengenai berita tentang reklamasi di
kawasan pantai utara Jawa. Kita lupakan juga berita soal Panama Papers yang
menyebut nama sejumlah petinggi lembaga negara dan kalangan pebisnis. Juga
kita lupakan sejenak masalah RS Sumber Waras masalah bisnis yang sedang
ditarik-tarik masuk ke ranah politik oleh DPR kita, mungkin karena DPR kita
sedang merasa kurang pekerjaan.
Mari, saya ajak Anda
ke Pakistan untuk menemui seorang anak muda yang menghadirkan banyak
perubahan di sana. Nama lengkapnya Mir Ibrahim Rahman, lahir tahun 1981. Supaya mudah, kita
sebut saja dia: Mir.
Mir berasal dari
keluarga kaya. Hidupnya enak. Ayahnya, Mir Shakil ur Rahman, adalah taipan
media. Ia pemilik Jang Group, kelompok bisnis surat kabar terbesar di
Pakistan. Kalau di sini mungkin bisa kita setarakan dengan Jakob Oetama dari
Grup Kompas, Surya Paloh dari Grup Media Indonesia, Dahlan Iskan dengan Jawa
Pos Group, atau Hary Tanoesoedibjo yang pemilik jaringan MNC Group. Kakeknya,
Mir Khalil ur Rahman juga pemilik surat kabar ternama yang terbit di sana.
Sebagai anak orang
kaya, Mir berkesempatan menikmati pendidikan di luar negeri. Ia berkuliah di
Babson College. Setamat kuliah, Mir bekerja sebagai investment bankers di Goldman Sachs dengan spesialisasi di
industri media dan telekomunikasi. Mir kembali ke Pakistan pada 2002.
Sebelum tahun itu,
bisnis media elektronik di Pakistan masih menjadi monopoli negara. Ada dua
BUMN yang mengelola, yakni Pakistan
Television Corporation dan Pakistan
Broadcasting Corporation. Ketika Pervez Musharraf menjadi perdana
menteri, bisnis media ini dideregulasi.
Swasta boleh
mendirikan stasiun TV dan radio.
Peluang inilah yang dilirik
Mir. Ia pun mendirikan stasiun TV swasta, GeoTV. Mir menjadi CEO-nya. Mulanya
GeoTV berkantor di kamar hotel dan didukung 5 kru.
Kini GeoTV sudah
menjadi besar dan memiliki ribuan karyawan.
Pada 2009, Mir juga
sempat melanjutkan kuliahnya di Harvard Kennedy School untuk mengambil
program master. Ada dua program yang diikutinya sekaligus, yakni master business administration dan master public administration.
Dari cerita awal ini,
yang mau saya sampaikan adalah hidup Mir sangat nyaman. Anak orang kaya,
berpendidikan tinggi, dan akhirnya memiliki bisnis sendiri. Kalau mau aman,
sebenarnya Mir bisa saja duduk manis, membuat program-program yang menghibur,
dan tak perlu memicu segala kontroversi di masyarakat.
Tapi, kenyataannya tidak.
Mir memilih jalan kedua. Ia memilih membuat program-program yang panas, yang
memelopori bukan saja perubahan lanskap bisnis media di sana, tetapi juga
perubahan sosial di masyarakat.
Memicu Perubahan
Apa perubahan yang
ditawarkan Mir melalui GeoTV -nya?
Ia membuat program
talkshow dengan judul Zara Sochiye
(atau Just Think dalam bahasa
Inggris). Ini program talkshow yang
betul-betul panas. Salah satu topik yang pernah dibahas adalah soal Hudood
Ordinansi, aturan hukum yang memicu kontroversi luas di Pakistan.
Hudood Ordinansi
adalah aturan hukum buatan rezim masa lalu. Salah satu kontroversinya adalah
menyetarakan pemerkosaan dengan perzinaan. Aturan yang jelas-jelas merugikan
kaum perempuan.
Kuatnya rezim militer,
yang berkelindan dengan tokoh-tokoh agama, membuat masyarakat tak melawan.
Jangankan menolak, membicarakan saja mereka takut luar biasa. GeoTV mendobrak
ketakutan masyarakat dengan memboyong isu sensitif tersebut ke ranah publik. Memperdebatkannya secara terbuka dalam ajang talkshow. Dalam programnya
tersebut, GeoTV juga menampilkan sejumlah kesaksian masyarakat, termasuk
debat panas antara kalangan konservatif dengan kaum liberal.
Dalam kontroversi ini,
GeoTV menarik garis yang tegas bahwa Hudood Ordinansi adalah hukum buatan
manusia. Bukan hukum Ilahi. Sengitnya debat dan meluasnya penolakan
masyarakat terhadap Hudood Ordinansi akhirnya memaksa pemerintah
mengamendemen aturan hukum tersebut.
Apa pelajaran yang
bisa dipetik dari kasus itu? Bagi
masyarakat Pakistan, program tersebut membuka pemahaman baru. Pertama ,
isu-isu sensitif seperti sudut pandang agama ternyata bisa diperdebatkan.
Padahal di masa lalu ini sesuatu dianggap ”haram” untuk dibicarakan.
Kedua, perdebatan
tersebut ternyata dapat membantu pemahaman masyarakat dalam meluruskan ajaran
agama itu sendiri. Itu perubahan sosial yang pertama. Saya ajak Anda untuk
melihat perubahan sosial lainnya yang digagas GeoTV.
Mir menggagas
pembuatan film berjudul Khuda Kay Liye
(In The Name of God dalam bahasa
Inggris). Ini film pertama yang diproduksi Mir. Isi filmnya secara berani
menentang fatwa yang dikeluarkan pemimpin Masjid Merah di Islamabad, ibu kota
Pakistan.
Ketika itu masyarakat
Pakistan tahu persis bahwa masjid ini yang dindingnya kebetulan juga berwarna
merah—dan oleh karenanya disebut Masjid Merah—dilindungi oleh para pejabat
pemerintahan dan militer Pakistan. Mulai dari presiden, perdana menteri
hingga petinggi militer.
Kalau di sini, siapa
yang berani menentang mereka?
Setelah diluncurkan,
segera film ini disaksikan secara meluas oleh rakyat Pakistan dan membentuk
pandangan baru di masyarakat. Boleh dibilang inilah film blockbuster pertama
dan terbesar dalam industri perfilman Pakistan.
Film ini pulalah yang
memicu menguatnya tekanan dan kebutuhan akan dialog soal-soal Islam dan
Pakistan di masyarakat—sesuatu yang dianggap tabu pada masa lalu dan
seakan-akan hanya menjadi hak eksklusif kalangan elite.
Dibredel
Mir dengan GeoTV-nya
memang dikenal berani menggarap proyek-proyek panas. Salah satu di antaranya
dengan mengungkapkan secara terbuka pertentangan antara sipil dan militer di
Pakistan.
Keberanian Mir harus
dibayar mahal. Pemerintah menutup stasiun TV-nya selama sekitar 90 hari dan
menyebabkannya mengalami kerugian bersih lebih dari USD25 juta. Mir maju ke pengadilan.
Hakim agung akhirnya memenangkan gugatan Mir dan GeoTV-nya.
Membaca kisah Mir,
saya jadi merenung. Seandainya saja stasiun-stasiun TV kita seberani GeoTV,
mungkin banyak sekali perubahan sosial yang bakal terjadi di negara ini.
Sayangnya masih banyak
stasiun TV kita yang lebih suka menampilkan acara kedumbrangan tak keruan, pengisi acara yang berebut perhatian,
atau menjual mimpi.
Juga harus diakui
berita-berita kita hanya memotret reaksi demi reaksi dari ucapan dan
perbuatan-perbuatan. Pers kita masih menari-nari dari genderang yang ditabuh
para newsmaker, entah itu politisi,
preman, artis pemantik sensasi atau para pemburu rente.
Yang diburu pun tak
mengerti betul makna popularitas yang dimilikinya, apakah itu famous atau notorious.
Seandainya saja kita
punya seorang Mir! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar