Ikan Membusuk dari Bagian Kepala
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 23 April
2016
Buya
Syafii Maarif, seperti biasa, bersuara keras. "Kalau membuat perusahaan
di luar negeri untuk menghindari pajak, itu yang tidak bermoral," ujar
mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu sepekan silam. Buya Syafii
tampak geregetan setelah skandal Panama Papers dibongkar Konsorsium Jurnalis
Investigasi Internasional (ICIJ). Banyak tokoh dunia tercantum di dokumen
yang dibuat firma Mossack Fonseca itu, termasuk ribuan orang Indonesia. Ada
pemimpin negara, pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, pesohor, dan
profesi lain. Mereka menyimpan kekayaan di negara-negara suaka pajak (tax haven) untuk menghindari pajak di
dalam negeri atau cuci uang.
Beberapa
pemimpin negara akhirnya mundur setelah dokumen terbongkar. Perdana Menteri
Eslandia Sigmundur David Gunnlaugsson menjadi pemimpin negara pertama yang
mundur, 5 April lalu. Lalu Menteri Industri, Energi, dan Pariwisata Spanyol
Jose Manuel Soria mundur pada 16 April. Ia memilih mundur untuk menghindari
dampak kerusakan lebih besar bagi kabinet. Bahkan pejabat senior organisasi
sepak bola dunia FIFA, Juan Pedro Damiani, juga mundur dari komite etik
setelah namanya tercantum dalam skandal Panama Papers, 6 April.
Di
Indonesia, kabarnya ada ratusan hingga ribuan nama yang tercantum di Panama
Papers. Beberapa nama telah menjadi perbincangan publik. Ada menteri,
politisi, dan pengusaha. Namun, yang paling santer adalah nama Ketua BPK
Harry Azhar Azis, yang mantan politisi Partai Golkar di Komisi XI DPR
(2009-2014). Harry bahkan merasa perlu memberi klarifikasi kepada Presiden
Joko Widodo dan Direktorat Jenderal Pajak. Karena penghasilan dari perusahaan
itu diakui tidak ada (Rp 0), ia tak merasa harus melaporkan ke Ditjen Pajak
juga dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Namun, LHKPN
terakhir yang dilaporkan pun, menurut KPK, pada 2010. Jadi, saat menjadi
Ketua BPK tahun 2014, ia belum membuat LHKPN.
Indonesia
berbeda dengan Eslandia atau Spanyol. Apalagi dibanding orang Jepang yang
berani mundur sampai tradisi lama bunuh diri seppuku sebagai bentuk tanggung
jawab dan rasa malu. Di negara kita ini, jangankan kasus penghindar pajak,
sudah jelas-jelas terbukti korupsi saja masih berkelit-kelit. Bukannya cepat
bertanggung jawab, malah selalu berdalih selama putusan belum berkekuatan
hukum tetap (inkracht).
Inilah
realitas di negeri kita yang tidak terselesaikan: masalah terbesar terletak
di elite atau pembesar negeri. Ibarat pepatah kuno, "ikan lebih cepat
membusuk di bagian kepalanya" (a
fish rots from the head down). Bayangkan sudah berapa banyak pemimpin dan
politisi terjerat korupsi, tetapi tak juga memberi efek jera, apalagi sadar
diri. Sampai sekarang, belum ada obat atau terapi mujarab yang dapat
menyembuhkan problem di bagian "kepala ikan" itu.
Sejak
Reformasi sekitar 18 tahun silam, problemnya tetap sama. Sebetulnya boleh
dikata hampir tidak ada kemajuan signifikan sejak rezim otoriter Orde Baru
tumbang tahun 1998, dibanding sejumlah peristiwa buruk yang membebani bangsa
ini. Kalau rata-rata siklus perubahan politik sekitar 20 tahun saja, maka
sebentar lagi siklus Reformasi akan berakhir. Namun, kita seperti jalan di
tempat. Berputar-putar di situ-situ saja. Ibarat mengisi air di ember bolong,
perjalanan demokrasi pasca era Reformasi ini sangat melelahkan dan
menjengkelkan. Kita membuang-buang waktu saja.
Ternyata,
betapa sulit membangun karakter pemimpin yang bermoral. Padahal moralitas
menjadi fondasi utama bagi seorang pemimpin. Rakyat butuh pemimpin yang
memberi keteladanan yang baik. Jika tidak, siapa yang mau memercayai? Soal
rendahnya moralitas, Franz Magnis-Suseno (1992) memberi contoh Konrad Hermann
Josef Adenauer (1876-1967), kanselir pertama Republik Federasi Jerman (1949-1963).
Sewaktu memimpin sidang, seorang politisi muda marah kepadanya,
"Bagaimana mungkin Anda mengatakan berbeda dari yang Anda katakan
sebulan silam?" "Peduli apa dengan omongan saya yang
kemarin-kemarin," jawab Adenauer. Bagaimana politisi seperti itu bisa
dipercaya?
Para
politisi yang kemudian memegang kekuasaan, saat kampanye selalu menjanjikan
gula-gula yang manis. Namun, selalu lebih banyak terasa pahit. Seribu janji
dilontarkan, tetapi yang muncul juga seribu dusta. Padahal mereka sudah
disumpah pula sebelum menduduki kursi kekuasaan. Ketika agenda reformasi
memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), para pemimpin (lokal maupun
nasional) di negeri ini tetap saja banyak yang korup.
Tidak
sedikit petinggi negeri ini kehilangan kepekaan ataupun sense of crisis. Dua hari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi
mencegah Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi, buntut operasi tangkap
tangan terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Bahkan, KPK menggeledah ruang kerja Nurhadi. Dari berita-berita, tersiar
pejabat MA yang PNS ini punya kekayaan luar biasa dan pernah menggelar
pernikahan anaknya di hotel mewah.
Di
Bumi Pertiwi ini, jangan-jangan etika dan moral sudah dilempar ke tong
sampah. Padahal, sosiolog Weber (1864-1920) menekankan pentingnya etika bagi
pelaku politik. Peter Berger (1974) menjelaskan dua macam etika politik
Weber, yakni etika sikap (gesinnungsethik)
dan etika tanggung jawab (verantwortungsethik).
Moralitas politik terbaik adalah belajar dari pengetahuan yang sarat tentang
masa lampau. Buah dari pelajaran itu antara lain kerendahan hati.
Sayangnya,
dalam banyak kasus etika seperti sisi suram di panggung politik. Sebab, kata
Berger, politik adalah praktik tentang apa yang mungkin, bukan mencari
kemurnian moral. Kalau ini yang terjadi, pembusukan ikan makin cepat dari
bagian kepala. "Hanya ada satu hal yang pantas dilakukan pada kepala
ikan yang busuk dan bau, kata pedagang, yakni memotong dan membuangnya,"
kata Cicero (106-43 SM) saat pidato membela warga di tribunus (Robert Harris, 2008). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar