Amnesti Setelah Panama
Muhammad Syarif Hidayatullah ; Peneliti
Wiratama Institute
|
KOMPAS, 22 April
2016
Bocornya kumpulan
dokumen yang berisi sejumlah nama-individu maupun perusahaan-menjadi pemantik
babak baru perdebatan tentang amnesti pajak di Indonesia. Begitu kebocoran
Dokumen Panama merebak, menteri keuangan menyatakan, skandal Panama merupakan
tanda bahwa kebijakan amnesti pajak dibutuhkan. Namun sejumlah pihak
menyatakan bahwa skandal itu justru menjadi bukti agar pemerintah tegas kepada
pengemplang pajak bukan memberi peluang amnesti.
Amnesti pajak
didefinisikan sebagai pengampunan atas beban pajak (termasuk bunga dan
penalti) di periode lalu pada sejumlah wajib pajak (WP). Pemerintah yang
mendukung amnesti pajak berargumen bahwa kebijakan tersebut meningkatkan
pendapatan negara dan memperbesar basis pembayar pajak.
Contohnya, tahun 2001
Pemerintah Italia mengklaim mendapat tambahan 60 miliar dollar AS, dan pada
2015 pemerintahan negara bagian Indiana, Amerika Serikat, mengklaim mendapatkan
255 miliar dollar AS, jauh di atas target yang hanya 65 miliar dollar AS.
Perlu biaya
Walaupun banyak klaim
fantastis, perlu diingat terdapat sejumlah biaya untuk melaksanakan kebijakan
ini. Keuntungan dari kebijakan amnesti pajak sering dilebih-lebihkan, dan
jarang di antaranya memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan
biayanya (Brogne dan Baer, 2008). Hasil penelitian menunjukkan, tambahan
pendapatan tidak begitu besar. Rata-rata pendapatan amnesti pajak di sejumlah
negara bagian AS hanya 3-5 persen.
Selain itu, terdapat
biaya yang sering luput dari perhitungan biaya dan manfaat amnesti pajak.
Pertama, biaya administrasi pelaksanaan kebijakan, kedua biaya hilangnya
tambahan pajak (karena amnesti) dan ketiga, biaya dari menurunnya kepatuhan
pajak karena rusaknya kredibilitas pemerintah akibat kebijakan ini (Brogne dan Baer, 2008, Luitel dan Tosun,
2014). Khusus terkait biaya ketiga, menurunnya kepatuhan pajak menarik
dibahas lebih lanjut karena ada perubahan perilaku pembayar pajak.
Perilaku WP
Sejumlah penelitian
dilakukan untuk memahami perilaku WP ketika ada kebijakan amnesti pajak.
Model ekonomi yang berkembang mencoba mencari apa pendorong WP mengikuti
amnesti pajak dan respons WP ketika amnesti pajak diberlakukan.
WP selalu dalam posisi
mengambil keputusan, apakah dia akan membayar pajak atau tidak. Jika ya,
berapa jumlah pendapatan yang akan dia laporkan. Berdasarkan model ekonomi
Bayer, Oberhofer, Winner (2015), terdapat tiga hal yang memengaruhi seorang
WP untuk melaporkan jumlah hartanya, khususnya saat ada kebijakan amnesti
pajak.
Pertama, beratnya
hukuman apabila melanggar aturan (tidak membayar pajak) serta besarnya
peluang dia akan tertangkap. Hal ini menjadi indikasi bahwa besarnya denda
dari tidak membayar pajak, serta kemampuan pemerintah menegakkan hukum dan
mengawasi menjadi pertimbangan individu dalam membayar pajak. Jika hukuman
ringan dan peluang tertangkap kecil, individu akan cenderung melaporkan
pendapatan yang lebih rendah atau mengemplang pajak.
Kedua, jika individu
yakin bahwa di masa depan (periode kedua) akan ada kebijakan amnesti pajak,
individu cenderung melaporkan pendapatan lebih sedikit pada masa sekarang
(periode pertama). Semakin tinggi peluang kebijakan amnesti pajak di periode
kedua, semakin kecil pendapatan yang dilaporkan pada periode pertama.
Ketiga, detection
shock. Model yang dikembangkan Bayer, Oberhofer, Winner (2015) menjadi
menarik karena memasukkan variabel ini. Detection
shock adalah satu kejadian yang mendadak dapat menyebabkan peluang
pengemplang pajak tertangkap menjadi lebih besar.
Mereka mengambil
contoh kebocoran data di Jerman. Ketika detection shock semakin besar,
individu akan cenderung lebih patuh dalam membayar pajak, mendeklarasikan
pendapatan lebih besar di periode pertama, dan kemungkinannya butuh amnesti
pajak menjadi lebih kecil.
Lebih lanjut, WP tentu
akan merespons kebijakan amnesti pajak. Salah satunya adalah pembayar pajak
yang patuh (honest tax payer) yang
kecewa karena mereka tidak diuntungkan kebijakan ini, sehingga akhirnya
menurunkan tingkat kepatuhan pajak (Leonard dan Zeckhauser, 1987, Luitel dan
Tosun, 2014).
Nar (2015) juga
berargumen bahwa selain kecewa, pembayar pajak yang jujur juga takut bahwa
pendapatan negara yang hilang akibat amnesti pajak kelak menjadi beban pajak
mereka. Hal ini bisa mendorong pembayar pajak yang jujur ikut mengemplang.
Setelah Panama
Berdasarkan model
Bayer, Oberhofer, Winner (2015) di atas, kita dapat melihat bahwa sekarang
justru bukan saat yang tepat untuk melakukan amnesti pajak. Alasannya,
pertama, masyarakat sudah mengantisipasi amnesti pajak. Defisit anggaran yang
terus melanda dan pola komunikasi publik pemerintah, menjadi sinyal kuat akan
adanya kebijakan amnesti pajak.
Pemerintah acap
menempatkan diri pada posisi lemah dan sangat kekurangan uang, sehingga
membutuhkan tambahan pendapatan termasuk via kebijakan amnesti pajak. Sinyal
itu ditangkap WP, sehingga ekspektasi mereka akan adanya kebijakan amnesti
pajak semakin meningkat.
Sebagaimana model
ekonomi di atas, jika ekspektasi terhadap kebijakan ini besar, pembayar pajak
akan cenderung melaporkan sedikit hartanya sekarang. Hal ini dapat mendorong
peningkatan pelanggaran pajak.
Kedua, skandal Dokumen
Panama pada dasarnya adalah sebuah detection shock. Pembayar pajak cenderung
lebih takut mengemplang. Karena itu, berdasarkan model Bayer, Oberhofer,
Winner (2015), pembayar pajak akan melaporkan harta yang lebih besar di
periode pertama. Pemerintah cukup memanfaatkan momentum Dokumen Panama untuk
memperkuat efek kejutnya.
Timbang efektivitas
Kebijakan amnesti
pajak perlu dipikirkan kembali efektivitasnya. Sejumlah penelitian
menyimpulkan bahwa kebijakan amnesti pajak hanya memberikan keuntungan jangka
pendek. Dalam estimasi Luite dan Sobel (2007) dengan menggunakan data amnesti
pajak di AS, pada periode pelaksanaan amesti, pendapatan akan meningkat 4-5
persen. Akan tetapi, periode selanjutnya akan menurunkan kepatuhan pajak 2
persen per periode. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan
amnesti pajak akan merugikan.
Skandal Dokumen Panama
sukses membuka peluang baru bagi pemerintah untuk menangkap para pelanggar
pajak. Oleh karena itu, untuk saat ini, kebijakan amnesti pajak yang sudah
kepalang digembar-gemborkan masih belum dibutuhkan.
Pemerintah justru
perlu fokus kepada pembenahan administrasi perpajakan, memperbaiki sistem
pengawasan, dan jika diperlukan memperberat hukuman. Sehingga, biaya yang
ditanggung seorang WP untuk melanggar akan semakin meningkat. Dengan begitu,
diharapkan kepatuhan pajak akan semakin baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar