Buruh dan Ketimpangan
Rekson Silaban ; Analis
Indonesia Labor Institute
|
KOMPAS, 30 April
2016
Serikat buruh sejak awal
kelahirannya di Inggris, tahun 1812, digagas sebagai wadah perjuangan untuk
melawan eksploitasi kapitalis terhadap buruh. Awalnya hanya di tingkat
pabrik, tetapi berlanjut ke tingkat nasional dan global, mengikuti logika
pergerakan arus modal. Tanpa kelahiran serikat buruh (SB), tidak ada
institusi yang menemani buruh mendapat keadilan ekonomi. Sekalipun program
karitatif institusi agama dan sistem perpajakan di masa itu coba ikut
memperbaiki nasib buruh, tetapi tak bisa efektif mengatasi kesenjangan
ekonomi antara pemilik modal dan buruh. SB melakukan gerakan penyadaran,
pengorganisasian massa dan opini, untuk mempertanyakan ketidakadilan sistem
distribusi ekonomi.
Gagasan perjuangan melalui SB
menyebar cepat ke sejumlah negara, menimbulkan berbagai pergolakan. Dalam
beberapa kasus, SB kerap dituduh provokator kerusuhan dengan mengusung paham
komunis. Inilah yang terjadi pada tragedi 1 Mei 1886 di Hay Mart, Chicago,
AS. Perjuangan buruh yang menuntut jam kerja 8 jam per hari berakhir dengan
provokasi kerusuhan sehingga pengadilan menjatuhkan hukuman gantung kepada
para pejuang buruh. Sekalipun beberapa tahun kemudian pengadilan menganulir
hukuman tersebut dan merehabilitasi nama baik para martir buruh yang
meninggal.
Mereduksi
ketimpangan ekonomi
Namun, perjuangan buruh di Hay
Mart menggetarkan pejuang buruh di belahan dunia lain: Eropa. Kelompok
ideolog sosialis dalam Konferensi II Sosialis Internasional di Paris tahun
1889 memutuskan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Ironisnya, AS yang
saat itu berupaya mengempang pengaruh sosialis menolak 1 Mei sebagai hari
perayaan buruh dengan menggantinya menjadi hari Senin pada minggu pertama
September.
Sejarah terus bergulir karena
beberapa tahun kemudian, tepatnya 1919, Organisasi Buruh Internasional (ILO)
menetapkan pengaturan kerja 8 jam per hari ditetapkan sebagai konvensi
internasional pertama ILO. Inilah prestasi awal SB yang mengawali eksploitasi
di tempat kerja. Konvensi ini sekarang diadopsi di seluruh dunia.
Munculnya wadah SB dan pengaturan
jam kerja ternyata tak otomatis menurunkan kemiskinan buruh. Ada masalah
tentang upah. Upah yang diterima buruh hanya cukup menghidupi buruh itu
sendiri, tetapi tidak cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Perjuangan
buruh berlanjut ke isu upah minimum. Negara pertama yang memulainya adalah
Selandia Baru (1894), selanjutnya menyebar ke Australia (1904), dan
menyeberang ke Eropa melalui Inggris (1909). Melalui upah minimum, negara
ingin memastikan perlindungan terhadap buruh dari eksploitasi kapitalis.
Penetapan upah minimum dilakukan melalui usulan tripartit untuk kemudian
diputuskan pemerintah.
Mengapa perlu keterlibatan unsur
non-pemerintah dalam upah minimum? Jawabnya: untuk mencegah keberpihakan
pemerintah terhadap salah satu pihak, baik buruh maupun pengusaha. Sebab,
dalam pengalaman sejarah, pemerintah di mana pun memiliki kecenderungan
keberpihakan subyektif. Sistem upah minimum di Indonesia yang saat ini
mengenyampingkan peran SB dan pengusaha adalah penyimpangan dari kelaziman
umum negara penganut sistem upah minimum. Sistem upah minimum menjadi salah
satu temuan penting mencegah melebarnya ketimpangan pendapatan antara buruh
dan majikan.
Kelahiran beberapa institusi di
atas ternyata tak bisa mengatasi keserakahan kapitalisme karena buruh terus
menderita akibat ketidakadilan sistem ekonomi. Adalah Otto Van Bismarck,
Kanselir Jerman tahun 1889 yang meluncurkan gagasan jaminan sosial untuk
buruh. Dia sebenarnya bukan tokoh sosialis pendukung buruh, melainkan
memperkirakan potensi bahaya kemerosotan ekonomi Jerman dan potensi
pemberontakan buruh bila tak melahirkan sistem yang mereduksi ketimpangan
ekonomi melalui jaminan sosial.
Gagasan jaminan sosial ini
selanjutnya menjadi program inti perjuangan SB di seluruh dunia, yang
kemudian diadopsi dalam konvensi ILO dan dipraktikkan di seluruh dunia.
Konsep jaminan sosial saat ini sudah berkembang, tidak lagi sebatas pemenuhan
hak asasi manusia, tetapi menjadi stabilisator otomatis untuk mencegah krisis
ekonomi lebih buruk.
Tahapan terbaru dalam perkembangan
hubungan industrial yang saat ini dipromosikan ke seluruh dunia adalah konsep
social dialogue atau suatu upaya
untuk melakukan perundingan guna mendapatkan titik temu demi keberlanjutan
pekerjaan dan usaha. Ini adalah konsep baru yang menegasi konsep lama
"perjuangan kelas". Suatu upaya memitigasi masalah hubungan
industrial melalui jalan damai ketimbang jalur konfrontasi. Produk utama
dialog sosial adalah lahirnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang berisi
kesepakatan SB dan majikan atas hak dan kewajiban di tempat kerja.
Dari data yang tersedia di
Kementerian Tenaga Kerja, hanya ada 12.700 PKB di Indonesia. Sementara data
BPS menunjukkan, ada 48,997 usaha menengah, dan jumlah kelompok usaha besar
sebanyak 4,968. Data ini mengonfirmasi capaian sosial dialog di Indonesia
masih rendah karena hanya baru 25 persen perusahaan (dengan kategori jumlah
pekerja di atas 50 orang) yang bersedia berunding membuat PKB. Mayoritas
perusahaan lainnya lebih menyukai penggunaan peraturan perusahaan atau sama
sekali tidak memakai aturan. Tidak heran konflik hubungan industrial masih
kerap mewarnai hubungan industrial di Indonesia.
Pengalaman negara industri lain,
khususnya di negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi untuk Kerja Sama
dan Pembangunan Ekonomi), menunjukkan fakta atas dua hal. Pertama, semakin
besar jumlah PKB di suatu negara akan semakin sedikit jumlah konflik hubungan
industrial. Sebab, dengan adanya perundingan PKB akan menganalisasi konflik
menjadi hanya urusan di tingkat pabrik, tak mudah dimobilisasi untuk
kepentingan politik. Kalau saja jumlah PKB di Indonesia ditingkatkan di atas
50 persen, pasti konflik hubungan industrial menurun drastis. Inilah
sebenarnya jalan termudah bila Indonesia menginginkan hubungan industrial
yang damai dan berkelanjutan.
Kedua, semakin tinggi tingkat
partisipasi buruh menjadi anggota SB (trade
union density), semakin tinggi kepatuhan hukum dan kesejahteraan buruh.
Studi yang dilakukan Bank Dunia Jakarta (2012) menyebutkan, buruh Indonesia
yang tergabung dalam serikat buruh akan mendapat upah 20 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi anggota serikat buruh.
Syarat
minimum yang diperlukan
Secara umum, konsep social
dialogue di Indonesia sebenarnya diterima banyak pihak. Sebab, berunding,
bermusyawarah untuk mencapai mufakat, bukanlah konsep baru dalam kultur
Indonesia. Konsep ini hanya bisa jalan dengan tiga syarat minimum: adanya
keterbukaan, niat baik, dan tingkat saling percaya yang tinggi.
Syarat inilah yang di banyak
tempat belum bisa dipenuhi. Banyak pelaku tidak memiliki kultur untuk
berdialog, lebih menyukai pola lama, menyelesaikan masalah dengan menggunakan
kekerasan, pemaksaan kehendak, pengadilan, suap, dan sebagainya. Di tahap
inilah sangat diperlukan perubahan kultur unsur aktor-aktor tripartit agar
konsep ini bermanfaat. Sebab, harus dipahami, tidak lagi diragukan bahwa
hubungan kerja saat ini telah menjadi sangat bervariasi dan rumit, membuat
sangat sulit bagi SB untuk mengorganisasi buruh secara kolektif.
Kecenderungan informalisasi kerja
(informal, alih daya, kontrak, sistem bagi hasil, pekerja musiman) akan
mendominasi jenis pekerjaan di masa depan, khususnya sektor formal, baik di
sektor publik maupun swasta. Sebenarnya, di masa kolonial sampai pasca
kolonial, situasi ini pernah terjadi. Kuantitas pekerja formal juga sangat
minim. Berbeda dengan sektor pekerja formal yang ada saat itu cenderung
bertumbuh, khususnya sektor industri badan usaha milik negara. Pertumbuhan
itu menjadi bekal yang memelopori pertumbuhan SB. Saat ini, situasinya
berubah karena semua sektor sedang berupaya menurunkan penggunaan pekerja
formal dengan proyek efisiensi dan mesin.
Pesan terpenting bagi aktivis
perburuhan pada perayaan kali ini adalah bagaimana memastikan misi SB sesuai
peran historisnya, yaitu menyejahterakan buruh dengan menawarkan berbagai
alternatif. Jangan berhenti sebatas watch
dog: hanya manifestasi tanpa solusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar