Nak, Maukah Kau Jadi Polisi?
Reza Indragiri Amriel ; Peserta
Community Policing Development Program
di Jepang; Anggota Asosiasi
Psikologi Islami
|
KORAN SINDO, 26 April
2016
Di sela-sela kesibukannya
melakukan roadshow perlindungan anak di puluhan wilayah, Kak Seto— sapaan
hangat Seto Mulyadi, aktivis perlindungan anak— membingkiskan oleh-oleh
berupa cerita seru.
Dalam obrolannya bersama anak-anak
TK Amanah Ummah, Desa Pogung (Cawas, Klaten), Senin (18/4), sekian banyak
bocah menyebut juru masak sebagai cita-cita mereka. Begitu pula dengan
profesi lain. Namun, hanya satu siswa yang mengatakan ingin menjadi polisi
setelah dewasa kelak. Kak Seto menduga sangat sedikitnya siswa yang ingin
bekerja sebagai polisi disebabkan oleh trauma anak-anak pasca- Densus 88
melakukan ”kunjungan” ke TK mereka pada pertengahan Maret lalu.
Menarik sekali apabila kisah Kak
Seto itu dibandingkan dengan bagaimana respons anak-anak lain, termasuk di
negeri seberanglautan, ketikadihadapkan pada pertanyaan seputarcita-cita
mereka pada masa depan. Forbes (2009) misalnya menanyai ratusan anak-anak
usia sekolah dasar yang bermukim di kawasan metropolitan New York.
Pada kelompok usia lima tahun,
tujuh dari 33 anak-anak berujar bahwa mereka ingin menjadi pahlawan seperti
yang ada di dunia kartun yaitu Spiderman dan Spongebobs. Kebersahajaan pola
pikir membuat anak-anak abai terhadap pentingnya kesejahteraan. Ketika tidak
sedikit dari mereka yang bercita-cita menjadi petugas pemadam kebakaran dan
polisi, dua pekerjaan yang sangat populer di mata anak-anak itu faktanya
tidak memberikan bayaran yang terbaik.
Adanya cita-cita merupakan salah
satu indikasi perkembangan psikologis yang baik pada anak-anak. Cita-cita menunjukkan perluasan wawasan
anak sekaligus kemampuannya berefleksi dengan menautkannya ke dirinya
sendiri. Bagi orang tua, memperkenalkan anak pada sebanyak-banyaknya jenis
pekerjaan maupun ketokohan merupakan unsur penting dalam pengasuhan.
Sejak usia dini orang tua bisa
saja menempelkan cita-cita tertentu pada anak. Bisa lewat buku-buku bacaan,
dongeng lisan, mengajak anak berkunjung ke berbagai sentra pekerjaan dan
berkenalan dengan para pemangkunya, atau lainnya. Bahwa kemudian anak
berimajinasi tentang dirinya yang menekuni pekerjaan lain itu tak jadi soal.
Intisari pengenalan cita-cita ke anak adalah memberikan pendidikan kepada
sang buah hati akan pentingnya tujuan hidup serta ikhtiar untuk mencapai
tujuan tersebut.
Anak, dengan kata lain, sejak belia
telah dikondisikan untuk menjadi manusia yang visioner. Bahkan tidak sebatas
untuk dirinya sendiri; seiring pertambahan usia anak, anak dibimbing untuk
menemukan relevansi antara citacita yang ingin digapainya dengan kemanfaatan
yang dapat didedikasikannya bagi dunia.
Semakin istimewa ketika saban kali
menutup perbincangan tentang cita-cita, anak selalu diajak untuk merendahkan
hatinya- bagian dari pendidikan agama dan karakter—dengan mengucapkan, ”Insya
Allah. Semoga Tuhan Yang Maha Menguasai menguatkan dan mengantarkanmu ke
keinginan yang luhur itu, Nak.”
Pekerjaan yang diimpikan sejak
usia kanak-kanak ternyata merupakan sumber energi dahsyat bagi anak untuk
memasuki gerbang masa depan yang sesuai minat dan bakatnya. Bermain peran
sebagai pembalap, dokter-dokteran, pilot-pilotan, astronot-astronotan, dan
lainnya memompa efek sugesti ke dalam diri anak.
Dengan begitu, sadar maupun tidak
sadar, anak terdorong untuk menempuh jalan hidup yang sebangun dengan sumber
inspirasinya tersebut. Begitulah kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil
survei LinkedIn pada 2012. LinkedIn menyigi (menyelidiki) hampir 9000
profesional di Kanada, dan menemukan bahwa sepertiga di antaranya ternyata
menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan impian mereka semasa kanak-kanak.
Para profesional lain (kendati
masuk ke bidang kerja yang berbeda) menyatakan bahwa— sekali lagi—kebiasaan
berkhayal dan bermain peran pada masa kecil tentang cita-cita mendukung
mereka hidup produktif sekaligus progresif.
Anak
dan Polisi
Spesifik terkait polisi sebagai
cita-cita anak-anak, Bureau of Labor Statistics (2012) mencatat lima belas
jenis pekerjaan yang menjadi impian anak-anak di Amerika Serikat yaitu, mulai
dari yang tertinggi, astronot, musisi, aktor, penari, guru, petugas pemadam
kebakaran, polisi, penulis, detektif, olahragawan, dokter hewan, ilmuwan,
pilot, pengacara, dan dokter.
Apabila jajak pendapat serupa
dilakukan di Indonesia, boleh jadi hasilnya tidak jauh berbeda. Meski
demikian, minimnya minat anak-anak TK Amanah Ummah untuk menjadi polisi,
sebagaimana yang Kak Seto ceritakan, tetap patut menjadi sebuah catatan
tersendiri. Terlebih bagi kepolisian setempat. Pasalnya, pertama, respons
anak-anak tersebut sedikit-banyak sebantun dengan penilaian yang masih belum
begitu menggembirakan dari masyarakat terhadap reputasi lembaga kepolisian.
Kedua, jika rendahnya antusiasme
anak-anak untuk menjadi polisi benar-benar memiliki tali-temali dengan
operasi Densus 88, sikap negatif akibat keterguncangan yang mereka alami itu
patut diatasi sebaik mungkin sejak dini. Tujuannya agar hal itu tidak menjadi
dasar terbentuknya sikap negatif susulan terhadap polisi (secara khusus)
serta nilai-nilai kedisiplinan dan ketaatan pada hukum (secara umum).
Untuk itu, institusi Polri dapat
mengadaptasi inisiatif semacam Cops & Kids yang diselenggarakan
kepolisian New York sejak 2006. Program dalam kemasan ratusan lokakarya
tersebut diluncurkan sebagai tanggapan terhadap ketegangan yang muncul
menyusul penembakan terhadap anak muda kulit hitam di sana. Cops & Kids
berhasil menjadi program yang efektif memberikan kesempatan kepada anak-anak
muda dan kepolisian setempat untuk belajar dan memahami satu sama lain.
Hilirnya adalah terbangunnya
komunikasi dan interaksi yang lebih positif antara dua pihak. Tentu saja,
terlebih pada anakanak yang berusia lebih muda, persepsi mereka terhadap
lingkungan sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang tua membangun pemahaman
akan hal tersebut. Itu berarti, pada saat yang sama, kesatu-hatian antara
polisi dan masyarakat (khususnya orang tua) juga merupakan agenda yang perlu
dijalankan paralel.
Kuncinya bukan pada seberapa
sering polisi mendapat panggung media, melainkan pada seberapa sering dan
positifnya kontak keseharian polisi dengan stakeholder utama mereka. Andai
itu dapat terealisasi, pantas kita berharap akan ada lebih banyak lagi anak-anak
Indonesia yang berhasrat menjadi pelayan, pelindung, sekaligus pengayom
masyarakat. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar