Senin, 25 April 2016

Spirit Komite Hijaz

Spirit Komite Hijaz

A Helmy Faishal Zaini  ;   Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
                                                     REPUBLIKA, 22 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Komite Hijaz merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dikomandani oleh KH A Wahab Hasbullah. Komite Hijaz dibentuk pada 1924-1925. Pembentukan itu sesungguhnya merupakan respons atas ancaman kebijakan antipluralitas mazhab yang akan digulirkan oleh Ibnu Saud, seorang raja Nejad yang monolitik pandangan bermazhabnya.

Di luar pandangan monolitiknya dalam bermazhab, sesungguhnya yang menjadi keresahan utama kala itu adalah ancaman "pemutusan batin" antara umat Islam dan panutannya: Nabi Muhammad SAW. Situs bersejarah, termasuk makam Nabi Muhammad, diancam akan dibongkar.

Hal ini menjadi keresahan serta kegelisahan semua umat Islam kala itu. Namun, sejarah mencatat, hanya umat Islam dari Indonesia--melalui Komite Hijaz--yang berani menyampaikan keberatannya terhadap kebijakan Ibnu Saud tersebut.

Saya berpendapat bahwa KH Abdul Wahab Hasbullah kala itu sudah memiliki pandangan yang jauh ke depan sekaligus jernih bahwa kelak Arab Saudi, utamanya situs bersejarah di Makkah, akan dikapitalisasi oleh penguasanya. Dan, memang saat ini terbukti, yang terjadi adalah komersialisasi ibadah. Wisata ibadah yang lebih mengedepankan ingar-bingar kapitalisme.

Kita bisa menyaksikan hari ini puluhan bangunan megah didirikan bukan dalam rangka membantu memperlancar proses ibadah haji, malah justru sebaliknya. Ia melahirkan sederet masalah, termasuk kelak akan melahirkan banyak bencana, menimbulkan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya.

Ali al-Jurjawi dalam Hikmatus Tasyri' wa Falsafatuh mengatakan bahwa esensi ibadah haji adalah menapaktilasi perilaku Nabi Muhammad SAW. Haji berarti menziarahi seluruh momori, kenangan, dan napak tilas perjuangan Muhammad sendiri. Dan, penting untuk dicatat bahwa seluruh perilaku nabi adalah perilaku yang mencerminkan sikap kesederhanaan dan juga ketawadhuan.

Sikap tawadhu sesungguhnya juga tecermin secara simbolis dalam pakaian ihram yang dikenakan oleh jamaah haji. Pakaian ihram adalah pakaian yang hanya terdiri atas selembar kain tanpa jahitan sama sekali. Tujuannya tentu saja ingin memberi pelajaran kepada manusia bahwa sesungguhnya ia bukan apa-apa. Ia hanya bagaikan debu yang berterbangan, tak ada nilainya di hadapan kebesaran Tuhan.

Persoalannya kemudian, Pemerintah Arab Saudi tampaknya sudah telanjur mengabaikan segala aspek filosofis ibadah haji ini. Kegagalan memahami filosofi ibadah haji adalah pangkal persoalan pertama, yakni kesalahan menata ruang.

Celakanya, kegagalan memaknai filosofi ibadah haji yang berujung pada watak kapitalisasi ibadah ini pada gilirannya akan melahirkan apa yang saya maksud dengan kesalahan menata ruang.

Saya berani menyimpulkan bahwa pembangunan gedung-gegung bertingkat, termasuk 'Big Ben', yang "copy paste" dari London itu lebih didominasi oleh motif menggenjot devisa negara dalam sektor pariwisata dibandingkan memenuhi hajat kebutuhan untuk melayani kelancaran ibadah haji.

Pada tahap inilah benar apa yang pernah diungkapkan oleh Khaled Abu el-Fadl dalam bukunya Conference of the Book. Ia dengan sangat meyakinkan pernah mengatakan bahwa "Wahabisme dan slafisme menjadikan Islam di abad modern ini tampak menjemukan dan suram."
Pasca-Gran Mufti Arab Saudi Syekh Abdul Aziz bin Abdullah yang mengatakan bahwa perilaku menyucikan tempat-tempat tertentu adalah perbuatan syirik, wahabisme seolah menemukan stempel dan legalitas untuk melakukan pelbagai macam perusakan dan penghancuran situs sejarah.

Di antara penghancuran itu sebut saja, misalnya, penghancuran makam Sayyid Imam Uradhi ibn Ja'far as-Shiddiq pada 2002 yang diledakkan dengan menggunakan dinamit. Rumah Sayyidah Khadijah dijadikan toilet umum dan juga masjid kompleks Hamzah Abdul Muthalib yang dibuldoser pada 1998. Bahkan, menurut Irfan al-Alawi, executive director the Islamic Heritage Research Foundation Arab Saudi, sampai 2011 tercatat kurang lebih 400-an lebih situs bersejarah umat Islam yang dihancurkan.

Kita ingat, pada 1924-1925, Arab Saudi juga mengalami hal yang persis sedang dialaminya saat ini. Kala itu, Arab Saudi dipimpin oleh Ibnu Saud, raja Nejad yang beraliran wahabi. Makkah-Madinah sebagai sebuah kawasan sesungguhnya dulu disebut dengan Hijaz.
Kala itu, sebagaimana tercatat dalam sejarah, Raja Saud menerapkan sebuah kebijakan yang sangat melukai umat Islam, yakni antipluralitas mazhab dan juga pemusnahan artefak sejarah dan situs-situs peninggalan peradaban Islam. Termasuk, salah satunya adalah rencana pembongkaran makam Nabi Muhammad SAW.

Ulama-ulama Indonesia yang dimotori KH Abdul Wahab Hasbullah akhirnya membentuk apa yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz. Komite ini ditugaskan untuk berdiplomasi dengan Raja Saud ihwal dua isu besar di atas, yakni isu pluralitas bermazhab dan juga penghancuran artefak sejarah.

Pada gilirannya, Komite Hijaz inilah yang menjadi embrio lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), selain tentu saja embrio-embrio lain bernama Nahdlatut Tujjar yang terlebih dahulu sudah eksis peranannya.

Dengan kenyataan seperti itu, pada hemat saya, penting untuk mengetengahkan kembali kemungkinan membentuk Komite Hijaz II. Dan, PBNU sebagai "pemilik sejarah" Komite Hijaz adalah pewaris sah sejarah yang berarti memiliki kewajiban untuk bukan saja melestarikannya, melainkan juga mengulang dan meneruskannya.

Pada hemat saya, langkah membentuk Komite Hijaz II ini memiliki setidaknya dua alasan utama. Pertama, merespons kapitalisasi ibadah haji yang tecermin dalam pembangunan sekitaran area Ka'bah yang cenderung mereduksi nilai-nilai filosofis ketawadhuan ibadah haji.

Dan kedua, mendiplomasikan untuk mencegah segala usaha dalam rangka penghancuran artefak sejarah yang ada di Makkah dan Madinah. Dua hal di atas adalah dua hal utama di samping hal-hal lain, semisal, perbaikan tata kelola haji dan juga penataan sistem manajemen ibadah haji.

Sederetan alasan di atas sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan landasan dan acuan guna membentuk Komite Hijaz II yang dimotori oleh PBNU sebagaimana yang telah dilakukannnya pada 90 tahun yang lalu. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar