Khitah Ekonomi Kerakyatan NU
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KORAN SINDO, 25 April
2016
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai
sebuah organisasi kemasyarakatan didirikan tentu saja bukan bertujuan hanya
untuk semata-mata menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang ramah ala ahlussunnah wal jama ahlussunnah wal
jamaah, namun lebih dari yang tidak kalah penting adalah dari itu, NU
sesungguhnya dilahirkan dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan.
Penguatan ekonomi kerakyatan
adalah isu penting yang menjadi tonggak berdirinya NU. Adanya Nahdlatut
Tujjar atau semacam serikat pedagang yang menjadi cikal bakal berdirinya NU
adalah bukti nyata bahwa isu ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Komitmen NU untuk memajukan
ekonomi kerakyatan bisa kita temukan dalam Statute NU fatsal 3: ”mendirikan
badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan
peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara” mendirikan badan-badan oentoek
memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan jang tiada
dilarang oleh sjara.
Mengenai salah satu tujuan
diberdirikannya NU yang berkonsentrasi untuk memberikan perhatian kepada
ekonomi kerakyatan tersebut tercantum dalam ekonomi kerakyatan ala NU tentu
saja menyangkut banyak bidang, seperti perdagangan, penyediaan barang dan
jasa, dan tentu saja pertanian dan yang terakhir tentu saja kelautan.
Khusus untuk sektor dua ekonomi
yang terakhir, yakni tentang pertanian dan juga kelautan, perhatian NU tidak
main-main. Sebab kita tahu bahwa sektor pertanian dan kelautan ini merupakan
sektor dominan masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Nahdliyin.
Perhatian
ke Sektor Pertanian
Sebelumnya pada tahun lalu saya
pernah menulis di salah satu media nasional mengenai kondisi pertanian kita
yang masih tertinggal. Pada tahun 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis
data bahwa pada tahun 2013 45% penduduk Indonesia bekerja di sektor
pertanian, di urutan kedua menyusul sektor industri dengan porsi 23,5% dan
sisanya tersebar di pelbagai sektor di luar dua sektor mainstream tersebut.
Dengan kenyataan seperti itu,
tidak mengherankan NU memberikan perhatian dengan porsi yang sangat besar
terhadap sektor pertanian, baik pada tingkat mikro maupun makro. Perhatian
terhadap sektor pertanian itu dibuktikan dengan rekomendasi muktamar 32 di
Makassar 2010 yang memerintahkan kepada PBNU untuk melakukan serangkaian advokasi
dan mendesak pemerintah untuk menciptakan keadilan ekonomi terutama pada
sektor pertanian.
Adalah merupakan sebuah ironi
bahwa dengan penduduk yang sebagian besar memilih pertanian sebagai ladang
mata pencarian, hari ini kita masih mengimpor pelbagai bahan pokok makanan.
Pada keadaan yang demikian, sesungguhnya yang menjadi korban utama atas
kebijakan impor bahan pangan adalah rakyat kecil yang berprofesi petani
tersebut.
Komitmen
Sektor Kelautan
Di pihak lain, pada tahun 2015,
Badan Pusat Statistik (BPS) telah juga merilis bahwa jumlah nelayan
tradisional di Indonesia berjumlah 864 ribu rumah tangga. Jumlah tersebut
sesungguhnya menurun drastis jika dibandingkan data tahun 2013 yang
menyebutkan bahwa jumlah nelayan tradisional di Indonesia mencapai 1,6 juta.
Persoalannya kemudian mengapa jumlah nelayan menurun drastis dan kian hari
kian sedikit saja?
Atau dalam pertanyaan yang lebih
menukik mengapa orang Indonesia cenderung tidak memilih profesi nelayan
sebagai mata pencarian hidup? Ironis memang. Dengan struktur komposisi
geografis Indonesia yang 2/3 permukaannya berupa lautan, rakyat Indonesia
justru seolah berlari dan menjauh dari pesisir pantai dan lalu memutuskan
diri untuk masuk ke pedalaman, ke daratan.
Saya berpendapat, bahwa besar
kemungkinan ketidaktertarikan warga untuk menjadi nelayan adalah karena
faktor kesejahteraan dan jaminan hidup. Dua faktor tersebut saya rasa adalah
dua dari di antara sekian banyak faktor yang menyebabkan sektor kelautan itu lesu.
Melihat realitas yang ada, bisnis makanan laut (seafood) sampai saat ini masih menjadi salah satu primadona
bisnis kuliner.
Namun melihat geliat bisnis
kuliner makanan laut tersebut, sangat miris jika tidak dibarengi dengan
peningkatan kesejahteraan para nelayannya. Meminjam analisis Sonny Harmadi
(2014) bahwa tingkat upah nelayan hanya mencapai sekitar Rp1,1 juta per
bulan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja bukan nelayan
yang mengantongi upah sampai Rp1,2 juta per bulan.
Pendapatan itu sesungguhnya jauh
di bawah kategori sejahtera. Melihat kenyataan seperti itu, NU tidak menutup
mata. Pada Muktamar ke-33 di Jombang tahun lalu, NU memutuskan untuk
membentuk sebuah badan otonom baru. Badan otonom yang khusus mewadahi para
nelayan tersebut bernama Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama.
Berpaling
dari Laut
Saya sependapat dengan pandangan
yang menyebutkan bahwa selama ini yang cenderung kita lakukan dalam
”pembangunan” adalah gerak-gerak yang mengarah pada usaha memunggungi laut.
Laut cenderung kita tinggalkan. Komoditasnya cenderung kita abaikan.
Kesadaran utama kita masih kesadaran daratan, sehingga yang sibuk kita
lakukan adalah membangun daratan bukan memperkuat dominasi lautan.
Pola pikir kita cenderung
menomorduakan laut beserta seluruh perantinya, termasuk nelayan. Lagu nenek
moyangku seorang pelaut tampaknya juga sudah tidak terdengar lagi mengalun di
sekolah-sekolah kita. Padahal, laut adalah wahana dimana kita bisa berpanen
tanpa harus menanam. Kita bisa menuai tanpa harus menyemai. Kita panen ikan
tanpa harus menanamnya terlebih dahulu.
Semua itu adalah anugerah yang
harus kita syukuri. Dan NU sekali lagi berkomitmen untuk melakukan
kerja-kerja sosial dalam rangka meningkatkan sektor kelautan, utamanya
kesejahteraan nelayan-nelayannya.
Walhasil , NU yang memang salah
satu tujuan didirikannya adalah agar menjadi jamiyyah kemasyarakatan yang
menguatkan kemandirian ekonomi kerakyatan dalam momentum usianya yang
menapaki 93 tahun ini akan lebih mengupayakan untuk mengambil langkah-langkah
yang dirasa tepat guna memajukan sektor pertanian dan juga kelautan sebagai
sektor-sektor yang harus diperhatikan.
Apa yang sudah dilakukan hari ini
tentu saja harus dipertahankan lalu kemudian untuk dikembangkan ke arah yang
lebih baik. Selamat Harlah ke-93 untuk Nahdlatul Ulama. Wallahu a’lam bis showab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar