Kamis, 28 April 2016

Kekedaluwarsaan pada Perkara Pidana

Kekedaluwarsaan pada Perkara Pidana

M Ali Zaidan  ;   Mantan Anggota Komisi Kejaksaan
                                                        KOMPAS, 28 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Bengkulu telah mengabulkan permohonan pemohon dalam kasus Novel Baswedan. Dengan demikian, perkara yang menyangkut salah seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu harus dilimpahkan ke sidang pengadilan. Dilimpahkan ke pengadilan mengandung makna agar keadilan hakiki dalam kasus itu diwujudkan.

Penegakan hukum sejatinya untuk mewujudkan nilai-nilai fundamental hukum agar jadi kenyataan. Ide untuk melindungi korban, mengayomi tersangka maupun terdakwa-begitu juga masyarakat-merupakan fundamental penegakan hukum yang harus diupayakan siapa pun yang menyandang predikat penegak hukum.

Untuk mewujudkan ide-ide itu, ketentuan hukum materiil maupun formil harus jadi acuan utama. Berkaitan dengan hukum materiil, penegak hukum tak cukup hanya membaca bunyi pasal an sich, tanpa melihat hubungannya dengan pasal lain maupun dengan keseluruhan peraturan perundang-undangan yang berhubungan. Hal ini disebabkan tata hukum nasional di suatu negara merupakan sistem yang holistik dan terintegrasi. Dalam pembacaan teks-teks hukum, penegak hukum tidak cukup terpaku pada ketentuan hitam putih sebagaimana tertulis, tetapi harus menyentuh asas-asas maupun nilai-nilai yang berada di balik norma hukum itu sendiri.

Ketika membaca ketentuan dalam Buku II KUHP, misalnya, harus juga diketahui bagaimana hubungannya dengan ketentuan Buku I. Begitu juga dengan asas-asas hukum yang tak tertulis yang dikembangkan doktrin hukum maupun praktik (yurisprudensi). Jika dikatakan bahwa ketentuan Buku I adalah prinsip- prinsip hukum pidana, penerapan ketentuan Buku II tidak bisa dilepaskan dari konteks Buku I maupun asas hukum yang berlaku secara universal.

Sejak aturan itu ditetapkan, nilai-nilai hukum tersembunyi di balik norma hukum. Tugas penegakan hukum menggalinya agar jadi konkret dan dirasakan manfaatnya oleh pencari keadilan. Fungsi lembaga peradilan adalah menjembatani tuntutan keadilan masyarakat dengan nilai-nilai hukum yang terdapat di balik naskah UU dengan menemukan asas-asas hukumnya.

Kedaluwarsa (verjaring) pada hakikatnya membicarakan pengaruh lampaunya waktu terhadap hubungan-hubungan hukum. Hal itu berarti, dengan berlalunya waktu tertentu, keutuhan bangunan hukum suatu perkara jadi berubah. Hal ini disebabkan perubahan atas barang-barang bukti, ingatan masyarakat terhadap perkara itu sudah berlalu, atau keguncangan sosial yang ditimbulkan kasus itu sudah terlampaui.

Diaturnya ketentuan berkaitan dengan kedaluwarsa adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada seseorang tersangka agar nasibnya tidak terombang-ambing disebabkan perkaranya yang tak kunjung selesai. Bila hal itu terjadi, berarti negara telah memberikan perlakuan tidak adil terhadap tersangka. Ataukah demi kepastian hukum, ketakadilan itu bisa diabaikan, meskipun dengan dalih demi hukum positif?

Berulang

Kedaluwarsa yang ditetapkan dalam KUHP merupakan kedaluwarsa yang menghapuskan hak, terutama bagi negara, untuk melakukan tuntutan hukum. Sebaliknya, kedaluwarsa itu telah menerbitkan hak kepada tersangka, karena itu negara harus bertindak adil terhadapnya. Ini juga berarti, di samping pengadilan berusaha mewujudkan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam hukum acara,  juga harus memastikan aspek keadilan-sebagaimana dirumuskan dalam hukum materiil-harus diutamakan. Dengan cara demikian diyakini bahwa kepastian hukum yang berkeadilan jadi bermakna. Prinsip itu memberi makna bahwa tidak dibenarkan jika penegakan hukum hanya bertumpu pada upaya untuk mewujudkan kepastian hukum  dengan mengabaikan aspek keadilan. Dalam aspek keadilan sesungguhnya terdapat aspek kepastian hukum yang dapat dipandang sebagai dua nilai saling melengkapi.

Akibat pembacaan teks hukum legalistik, kejadian sama akan berulang. Kita punya pengalaman dalam dua kasus pimpinan KPK yang dideponering. Banyak kalangan yang berpandangan legalistik bahwa dengan diberikannya deponering terhadap yang bersangkutan, status hukum tersangka tetap melekat. Muncullah gagasan, demi kepastian hukum, jaksa wajib melimpahkan perkara ke pengadilan dan menuntut bebas. Pandangan ini justru menunjukkan pemikiran yang telah dibelenggu formalisme.

Logika sederhananya, apakah mungkin perkara yang telah lengkap alat bukti, lalu jaksa menuntut bebas? Sikap demikian tentu tak dapat dipahami publik. Tuntutan bebas atau bahkan putusan bebas hanya terjadi salah satu di antaranya apabila unsur yang didakwakan tidak terbukti di sidang pengadilan. Dengan perkataan lain, terdakwa sama sekali tidak melakukan tindak pidana. Logis kalau kemudian pengadilan membebaskannya.

Namun, proses peradilan sekarang telah karut-marut karena praktik peradilan yang tak mengikuti asas-asas yang digariskan hukum acara maupun hukum materiilnya. Putusan bebas yang oleh KUHAP tak dapat dilakukan upaya hukum, tetapi praktik peradilan telah menerobosnya. Tak terkecuali dengan praperadilan yang rambu-rambunya telah digariskan dengan ketat justru disimpangi.  Berbagai penyimpangan itu didorong oleh upaya mewujudkan kepastian hukum yang seakan-akan nilai utama dalam proses peradilan. Padahal, apa artinya kepastian hukum apabila menimbulkan ketidaktertiban atau kegaduhan baru.

Alih-alih fungsi hukum digunakan untuk mewujudkan ketenteraman, hukum justru jadi ancaman baru bagi siapa pun untuk dan demi kepastian hukum ini. Penegak hukum harus bijaksana dengan menjunjung tinggi hukum maupun nilai-nilai ideologis di belakangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar