Pyongyang yang Cantik
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 15 April
2016
Juni
1983 saya menghadiri Konferensi Jurnalis Internasional di Pyongyang, Korea
Utara. Lantaran waktu itu tak ada rute penerbangan melalui China agar lebih
pendek, saya mesti terbang melingkar Jakarta- Moskow-Pyongyang.
Sesampai
di Pyongyang, saya baru sadar, pada konferensi ini yang hadir para jurnalis
aliran kiri, pendukung blok Uni Soviet yang tengah menghadapi penetrasi
kekuatan Islam Afghanistan melawan Moskow, yang terkenal sebagai perang
Soviet versus Afghanistan 1979-1989 di mana Amerika Serikat (AS) berada di
belakang Afghanistan.
Uni
Soviet di bawah kepemimpinan Leonid Brezhnef ingin mempertahankan pemerintahan
Marxis-Lenin di Afghanistan di bawah komando Presiden Karmal, namun gagal
karena memperoleh perlawanan sengit dari pasukan Mujahidin yang dibantu AS
dan Pakistan. Moskow dibuat kaget ketika menemui kenyataan bahwa banyak
tentara Uni Soviet, bahkan juga anggota KGB, ternyata membelot membela
Afghanistan karena hubungan etnis dan agama (Islam).
Seperti
kita ketahui bersama, rakyat negara bagian Asia Tengah masih banyak yang
diam-diam memegang tradisi dan keyakinan Islam. Oleh karenanya, ketika mereka
dikirim untuk menumpas perlawanan Afghanistan, banyak yang membelot sehingga
tahun 1989 Soviet menyatakan mundur, tetapi perang saudara di Afghanistan
masih berlanjut sampai hari ini.
Waktu
itu Korea Utara berpenduduk sekitar 22 juta jiwa dipimpin Presiden Kim
Il-sung yang berkuasa selama 46 tahun, sejak Korut berdiri 1948 sampai
kematiannya tahun1994. Pyongyang ibu kota Korut sangat cantik. Semuanya
terawat rapi dan serba teratur. Namun di balik kecantikan kota dengan
warganya yang serbateratur dan disiplin, berlaku kontrol tangan besi Kim
Il-sung yang bertindak diktator militeristik.
Saya
perhatikan wajah-wajah panitia yang berusaha melayani para tamu sebaik dan
seramah mungkin, tidak mencerminkan keramahan asli dan spontan. Mungkin benar
kata pengamat, perilaku warga Korut serbadiatur negara. Bahkan untuk
tersenyum atau menangis di depan publik tidak bisa sembarangan. Saya
memperoleh cerita dari guide tour, jika menyimpan uang yang tertera foto Kim
Ilsung tidak boleh disaku celana bawah, foto wajahnya juga tidak boleh
dilipat.
Lalu,
jika melewati patungnya mesti berhenti sejenak untuk memberikan hormat. Kalau
tidak, bisa-bisa akan mendapatkan hukuman karena antarmereka saling bertindak
sebagai mata-mata negara terhadap sesamanya. Penguasa Korut berusaha meyakinkan
rakyatnya bahwa negara mereka paling indah, paling sejahtera dan paling
unggul. Dengan berbagai cara, rakyat dihalangi untuk mengetahui dunia luar
sehingga praktis Korut merupakan negara dan masyarakat tertutup.
Korut
dan Kuba mungkin dua negara yang masih setia melaksanakan doktrin Marxisme-
Leninisme, sementara Uni Soviet sudah bubar karena hantaman gelombang
kapitalisme dan demokratisasi sebagaimana China yang sudah mulai mengadopsi
model kapitalisme Barat. Sekarang ini Korut dipimpin Kim Jong-un, cucu dari
Kim Ilsung. Sebuah pemerintahan dinastiisme yang otoriter-tiranik. Korea
merupakan negara yang terbelah dengan berakhirnya Perang Dunia II.
Lagi-lagi,
aktornya adalah AS dan sekutunya, di pihak lain Uni Soviet bersama gengnya.
Uni Soviet didukung China menduduki Korea Utara, AS mengendalikan Korsel.
Nasib serupa yang jadi korban persaingan antara blok Barat dan Timur adalah
Vietnam yang juga terbelah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, juga
Jerman yang terbelah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur, namun kini
keduanya telah menyatu kecuali Korea.
Ketika
berlangsung konferensi, saya diberi waktu untuk menyampaikan pandangan
politik mengenai pendudukan Moskow atas Afghanistan. Tanpa banyak
pertimbangan saya sampaikan bahwa saya tidak setuju. Kita mesti menghargai
kemerdekaan bangsa dan negara lain. Pidato singkat saya tentu saja sangat
tidak disukai forum sehingga ketika selesai konferensi saya diundang menjadi
tamu di TASS Moskow, kantor berita Uni Soviet waktu itu.
Saya
diceramahi mengapa Moskow mengintervensi Afghanistan, karena AS telah
menjadikan Afghanistan sebagai pintu gerbang untuk mengganggu stabilitas Uni
Soviet melalui wilayah selatan yang berbatasan dengan Pakistan. Saya
ditunjuki peta dunia mengenai agresivitas dan ekspansi AS ke negara-negara
sahabat Uni Soviet. Kenangan yang tersisa, Pyongyang kotanya cantik. Tapi rakyatnya
tertekan. Jauh berbeda dari Korea Selatan yang lebih terbuka dan pengaruh
budaya AS sangat kental.
Negara
adidaya ini selalu berkecenderungan menguasai dan mengendalikan negara lain
dengan berbagai cara, baik melalui kekuatan senjata, ekonomi maupun politik.
Indonesia pun tak luput dari objek kontestasi negara-negara adidaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar