Penyelesaian Kasus Pulau Buru
Asvi Warman Adam ; Sejarawan
LIPI
|
KOMPAS, 23 April
2016
Simposium
nasional "Membedah Tragedi 1965" di Jakarta, 18-19 April 2016,
merupakan pertemuan ilmiah pertama sejak era Reformasi yang diselenggarakan
dan dibiayai pemerintah. Acara itu diharapkan menjadi pintu masuk
penyelesaian masalah 1965.
Tragedi
1965, menurut hemat saya, menyangkut lima aspek, yaitu tewasnya enam jenderal
disusul pembunuhan massal sekitar 500.000 jiwa di seluruh Indonesia. Aspek
lain adalah pencabutan kewarganegaraan ribuan orang Indonesia di luar negeri
per 1 Oktober 1965, stigmatisasi dan
diskriminasi korban dan keluarganya, serta pembuangan dan kerja paksa di
Pulau Buru.
Banyak
orang sudah lupa atau generasi muda belum tahu tentang pengasingan paksa
lebih dari 10.000 orang ke sebuah pulau
di Indonesia timur selama 10 tahun (1969-1979). Pulau Buru yang
luasnya 2,5 kali Pulau Bali merupakan tempat penahanan mereka yang diduga
terlibat G30S/1965, tetapi tidak cukup bukti (tahanan politik golongan B).
Tahun 1968 masih terdapat aktivitas puluhan orang kelompok kiri di Jawa Tengah
dan Jawa Timur yang belum tertangkap, yang akhirnya ditumpas ABRI.
Karena
pada 1971 diselenggarakan pemilihan
umum pertama di era Orde Baru, kelompok yang dianggap "dapat
mengganggu" disingkirkan
jauh-jauh.
Sejak
1969, ribuan orang dibuang ke sana untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Atas desakan lembaga hak asasi manusia (HAM) internasional, Pemerintah
Indonesia terpaksa membebaskan mereka, 1979.
Sedikit
sekali pengetahuan masyarakat Indonesia tentang kasus ini karena tidak ada
buku mengenai Pulau Buru yang boleh beredar. Padahal, ribuan orang mengalami
pemindahan paksa, pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaan. Di Pulau Buru,
orang-orang sipil ini bekerja bagai budak. Kejadian dan pengalaman para
tahanan itu terekam baik dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (pertama kali
terbit dalam bahasa Belanda, 1988 dan bahasa Indonesia, 1995). Penulisnya
adalah Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan yang ditahan di sana.
Kajian
ilmiah mengenai kasus Pulau Buru dilakukan IG Krisnadi berupa tesis magister
pada jurusan sejarah Universitas Indonesia dan dibukukan dengan judul Tahanan
Politik Pulau Buru 1969-1979 (LP3ES, 2001).
Disertasi
Yoseph Yapi Taum, Universitas Gadjah
Mada, diterbitkan Sanata Dharma University Press, Yogyakarta (Sastra dan
Politik, Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru, 2015). Ada satu
bab tentang Buru.
Kesaksian
Sejak
era Reformasi, terbit pula beberapa kesaksian penyintas Pulau Buru, seperti H
Achmadi Moestahal dalam buku Dari Gontor ke Pulau Buru (April 2002); Kresno
Saroso (Dari Salemba ke Pulau Buru, Agustus 2002); Suyatno Prayitno dkk,
Kesaksian Tapol Orde Baru (Maret 2003); dan H Suparman, Dari Pulau Buru
sampai ke Mekkah (2006).
Hersri
Setiawan menulis beberapa buku tentang Pulau Buru, seperti Memoar Pulau Buru
(cetak ulang 2016). Film dokumenter,
Pulau Buru Tanah Air Beta, mengisahkan napak tilas Hersri Setiawan dan Tejo
Bayu, putra pelukis Soedjojono, ke tempat tahanan dan penyiksaan mereka
selang setengah abad kemudian.
Presiden
Soeharto selaku Pangkopkamtib dengan surat keputusan KEP-009/KOPKAM/2/ 2969
tanggal 26 Februari 1969 telah menunjuk Pulau Buru sebagai tempat
resettlement para tapol golongan B dan menunjuk Jaksa Agung Soegih Arto
selaku penanggung jawab. Telah dikirim 11.948 orang dan meninggal 326 orang
karena terbunuh atau sakit, dan hanya terdapat 6 dokter.
Para
tahanan ditempatkan di barak-barak yang tersebar pada 22 unit. Mereka apel
pagi pukul 04.00 dan bekerja sampai pukul 18.00. Mereka membuka jalan,
menggarap sawah, ladang, serta membangun irigasi dan dermaga.
Selama
10 tahun, para tapol telah membuka jalan setapak dan arteri sepanjang 175
kilometer serta membuka sawah dan ladang seluas 3532, 5881 hektar.
Pram
bercerita, ia pernah beristirahat mencangkul dan langsung dipanggil komandan
yang memukulnya dengan kedua tinju, "Demi Pancasila, sambil meneriakkan
sila pertama." Mereka berhasil
menjadikan Pulau Buru sebagai penghasil beras.
Tim
pengkajian HAM berat Soeharto (sub-tim kasus Buru) yang dibentuk Komnas HAM
pada 2003 menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran berat HAM. Pelanggaran
tersebut termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang sistematis dan meluas.
Jika
pembunuhan massal 1965 selain dari operasi militer juga terdapat konflik
horizontal, kasus Pulau Buru adalah murni kebijakan rezim Orde Baru dan layak
disidangkan dalam pengadilan HAM ad-hoc. Walau mantan Presiden Soeharto dan
Jaksa Agung Soegih Arto telah meninggal, masih ada pejabat di bawahnya yang
masih hidup.
Semoga
di Pulau Buru segera didirikan monumen yang mengenang dan mengingat jasa para
tapol membangun Pulau Buru sepanjang 1969-1979. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar