Menentukan Batas Toleransi Terendah
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis
Kolom PSIKOLOGI Kompas Sabtu
|
KOMPAS, 23 April
2016
Menentukan
batas toleransi terendah barangkali merupakan tantangan yang tersulit dalam
menemukan ungkapan kata yang akan didengar oleh seseorang tertentu. Posisi
batas toleransi terendah bukan merupakan ultimatum. Hal itu bukan ancaman
atau reaksi posisi yang ditentukan dengan cara impulsif, melainkan pada waktu
bersifat intensitas tinggi (seperti misalnya, "Hai kalau kamu
melakukannya sekali lagi saya akan meninggalkan kamu"). Hal itu juga
bukan merupakan ekspresi atau tindakan nekat atau upaya terakhir untuk
mencoba pasangan kita mengubah sikapnya.
Kecuali
itu, hal tersebut juga bukan pesan campuran, yang kita ungkap sebagai satu
arti (seperti halnya, "Saya tidak dapat melanjutkan keadaan seperti
ini" ) dan perilaku kita menyatakan hal yang sebaliknya, (ternyata kita
melanjutkan perlakuan tertentu kita). Selain menentukan batas toleransi
terendah terdiri dari focus dari self (diri kita) dari kesadaran kita yang
terdalam-di mana seseorang tidak bisa berpura-pura lagi atau merupakan
tindakan kita yang palsu atau kita pinjam pernyataan itu dari orang lain-yang
membuat kita terpaksa menetapkan batas tingkat toleransi terbawah kita.
Dalam
hal ini kita menentukan batas toleransi terendah tidak dengan mengutamakan
perubahan atau mengupayakan kendali terhadap orang lain serta merupakan batas
dari toleransi kita (walaupun harapan tentang perubahan perilaku orang
tersebut memang terkandung di posisi itu), tetapi lebih melindungi
kewibawaan, integritas, dan rasa nyaman diri kita sendiri.
Setiap
orang berbeda, tetapi tidak ada aturan batas toleransi terendah bagi setiap
orang. Namun, apabila sampai kita pada batas toleransi terendah untuk isu
yang penting (kita mengeluh, tetapi tidak sedikit pun terjadi perubahan dan
kita tidak menyertai melalui relasi yang kita jalin, rasa diri kita seolah
bagai rangkaian spiral ke arah bawah).
Posisi
terendah dari batas toleransi menekankan kedalaman nilai dan respons yang
baik tentang iklim relasi dengan orang lain dalam diri kita sendiri dan diri
orang lain yang bermakna/berarti bagi kita. Jika kita menentukan batas
terendah dari toleransi kita terhadap perilaku seseorang, terutama dalam relasi
yang terjalin dengan orang tersebut, (misalnya, pada pasangan perkawinan kita
sebagai berikut: "Papah kalau sekiranya aku melihat dengan kepalaku
sendiri kamu masih minum alkohol, aku akan segera meninggalkan dirimu").
Dalam hal ini, kita ternyata mengungkap pernyataan tersebut bagi diri kita
sendiri dan bukan ancaman bagi suami kita, (ungkapan tersebut sebenarnya
mengandung arti sebagai berikut: "Papah, saya katakan ini karena pada
dasarnya saya sayang kamu dan saya benar-benar ngeri melihat kamu minum alkohol,
saya ngeri sekali, apalagi melihat saat kamu menenggak alkohol, pikiran saya
berkata bahwa Papah tidak akan lama lagi hidup di sisi saya"). Langkah
pertama untuk menetapkan batas toleransi terendah ialah pengetahuan sendiri
dan melalui serta berdasar pengetahuan tersebut sebenarnya saya
mengekspresikan perasaan diri sendiri.
Batas toleransi
Batas
toleransi terendah bukanlah pernyataan yang kaku, tetapi dapat dievaluasi
ulang dalam rangkaian atau cahaya pengalaman baru dan informasi. Contohnya,
seorang klien perempuan bernama K (26) dengan lelaki S (30). Saat konsultasi
pertama dengan penuh keyakinan K menyatakan bahwa prioritas utamanya adalah
menikah walaupun untuk itu bisa saja ia kehilangan pacarnya. "S, saya
mencintai dirimu dan saya ingin hidup bersamamu selamanya. Tetapi, pernikahan
sangat penting bagiku karena saya membutuhkan komitmen. Saya tahu kamu perlu
waktu untuk memikirkannya."
Sebenarnya,
K tidak ingin mengancam pacarnya, tetapi ingin menyatakan bahwa itu adalah
upaya klarifikasi yang menenangkan dirinya, yaitu tentang apa yang sebenarnya
berada dalam batas toleransi yang dapat ia terima dengan baik. K merasa cukup
jelas akan keberadaan rentang toleransinya yang hanya selama 6 bulan
mendatang. Namun, jika S tidak juga memenuhi harapannya, K akan dengan sedih
hati meninggalkan S.
Ternyata
setelah 6 bulan S bergeming, ternyata K juga tidak meninggalkan S. Ia
akhirnya mendapat pemikiran baru, yaitu bahwa ia tidak ingin S menikahi
dirinya dalam kondisi tertekan. Daripada meninggalkan S, akhirnya K
memutuskan tetap mengikatkan diri dengan S walaupun tanpa komitmen
pernikahan.
K
belajar untuk bersikap menurut dan lembut terhadap S dan menghindari reaksi
berlebihan terhadap keraguan dan kelabilan S dalam mengambil keputusan untuk
melaksanakan komitmen perkawinan. K merasa keputusan akhir untuk tetap
melindungi dan mempertahankan hubungannya dengan S merupakan keputusan yang
tidak pernah disesalinya.
Jadi,
menentukan batas terendah toleransi ternyata bukanlah keputusan yang kaku,
keras, dan tegas terkait dengan ungkapan yang seolah mengancam posisi
seseorang yang berarti bagi diri kita, melainkan sebagai salah satu cara
mengekspresikan kekhawatiran perasaan kita sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar