Pengelolaan Blok Masela
Marwan Batubara ; Direktur
Indonesia Resources Studies, IRESS
|
KOMPAS, 28 April
2016
Kisruh Blok Masela sejak Oktober
2015 memuncak pada 22 Februari 2016, yakni saat Menteri Koordinator Bidang
Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menyatakan pemerintah akan mengembangkan
Blok Masela dengan skema LNG darat (on shore/OLNG).
Sehari kemudian, Juru Bicara
Presiden Johan Budi mengatakan Presiden Joko Widodo belum memutuskan kilang
LNG Masela apakah di darat atau laut. "Presiden masih mengkaji seluruh
aspek proyek Masela. Mengingat besarnya skala dan kompleksitas proyek,
keputusan harus dibuat sangat berhati-hati," kata Johan.
Seminggu kemudian, tensi kisruh
menurun setelah Presiden mengatakan keputusan investasi akan diambil pada
2018. "Putusan investasi itu ada nantinya di 2018," kata Jokowi di
Jakarta (29/2/2016). Namun, pada 23 Maret 2016, Presiden Jokowi memutuskan
pengembangan Blok Masela akan dilakukan di darat.
"Blok Masela, setelah melalui
banyak pertimbangan dan input yang diberikan kepada saya, ini juga proyek
jangka panjang... menyangkut ratusan triliun rupiah. Oleh sebab itu, dari
kalkulasi pertimbangan-pertimbangan yang saya hitung, kita putuskan dibangun
di darat," kata Jokowi di Pontianak. Lantas bagaimanakah prospek
pengembangan Masela ke depan?
Libatkan
pihak terkait
Pangkal kisruh Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Koordinator Maritim (KKM)
adalah skema pembangunan kilang.
Sesuai kajian SKK Migas bersama
kontraktor Inpex (65 persen) dan Shell (35 persen), Kementerian ESDM
merekomendasikan pembangunan kilang LNG di laut/off shore (FLNG). Menurut SKK
Migas, perkiraan biaya investasi FLNG 14,8 miliar dollar AS dan OLNG 19,3
miliar dollar AS. Biaya investasi dihitung berdasarkan tingkat produksi gas
7,5 juta ton per tahun (milion ton per annum, MTPA).
KKM merekomendasikan skema OLNG
berdasarkan perhitungan investasi FLNG 22 miliar dollar AS dan OLNG hanya 16
miliar dollar AS. Biaya sudah termasuk pembangunan floating production,
strorage, dan offloading (FPSO) di tengah laut (Lapangan Abadi) dan pipa dari
lapangan ke darat (Pulau Selaru), sekitar 100 kilometer.
Berdasarkan pertimbangan aspek
tekno-ekonomi, kedua kementerian sudah menjalankan tugas pokok dan fungsinya,
yaitu memilih skema pengembangan Masela dengan biaya investasi termurah.
Namun, karena rekomendasi keduanya bertolak belakang, akurasi perhitungan dan
kredibilitas pelaku perlu diuji. Dan, seperti sudah diketahui, pada 23 Maret
lalu, Presiden Jokowi sudah memutuskan pengembangan Blok Masela akan
dilakukan di darat.
Guna menindaklanjuti keputusan
Presiden dengan opsi OLNG, kajian komprehensif melibatkan lembaga terkait
harus segera dilakukan. Kajian ulang tidak saja dari aspek tekno-ekonomi,
juga sosial-politik, pertahanan dan keamanan (hankam), serta pengembangan
ekonomi dan industri daerah.
Guna menjamin efek berganda bagi
daerah penghasil melalui pembangunan kilang petro kimia, pembangkit listrik,
dan lain sebagainya, rencana pembangunan harus disiapkan pemerintah (misal
melalui otorita) sejak dini, bersamaan rencana/proposal pembangunan (plan of
development, POD) Masela yang disiapkan kontraktor. Hal ini amat penting
dilakukan guna menghindari nestapa daerah penghasil yang hanya jadi penonton,
seperti terjadi di Arun, Bontang, atau Tangguh.
Terlepas bahwa keputusan telah
ditetapkan Presiden Jokowi, dalam kondisi persetujuan proyek yang sudah
sangat terlambat, proses pengembangan lapangan Masela tidak bisa segera
dimulai. Sebab, Inpex dan Shell membutuhkan kepastian perpanjangan kontrak
dari 2028 hingga 2048 agar investasi layak dilakukan.
Setelah kelak POD disusun kembali
kontraktor, ditinjau ulang oleh SKK Migas, diajukan untuk persetujuan Menteri
ESDM, atas persetujuan tersebut kontraktor membuat rancangan teknis lanjutan
(front end engineering design, FEED bersamaan dengan finalisasi penjualan gas
(gas sales agreement, GSA) dengan semua pembeli. Semua proses akan diakhiri
dengan final investment decision (FID) oleh kontraktor, jika ada kepastian
perpanjangan kontrak.
Padahal, perpanjangan kontrak tak
bisa diberikan sewaktu- waktu sesuai keinginan. Pasal 28 Ayat (5) PP Nomor 35
Tahun 2004 tentang Migas mengatur: "Permohonan perpanjangan Kontrak
Kerja Sama dapat disampaikan paling cepat 10 (sepuluh) tahun dan paling
lambat 2 (dua) tahun sebelum Kontrak Kerja Sama berakhir".
Mengingat kontrak dimulai pada
1998 dan berakhir pada 2028, kontraktor hanya boleh mengajukan perpanjangan
paling cepat pada 2018. Oleh sebab itu, meskipun skema OLNG telah dipilih,
tanpa ada perubahan ketentuan dalam PP No 35/2004, proses POD Masela menjadi
tidak relevan.
Jika merunut ke belakang, rencana
pengembangan Masela sebenarnya telah disetujui pada 2010 dengan skema FLNG.
Saat itu, sesuai besarnya cadangan terbukti migas Masela sebesar 6,7 triliun
cubic feet (TCF), tingkat produksi yang direncanakan adalah 2,5 MTPA. Namun,
setelah dilakukan pekerjaan rancangan teknis lanjutan dan pengeboran tiga
sumur appraisal pada 2012-2014, Inpex sebagai operator menemukan cadangan gas
yang lebih besar, yakni sekitar 29,1 TCF (!). Atas temuan cadangan inilah,
kemudian pada 3 September 2015, Inpex merevisi POD FLNG dari 2,5 MTPA menjadi
7,5 MTPA.
Berbagai kajian menunjukkan opsi
FLNG selalu menjadi pilihan secara tekno-ekonomi jika lapangan migas dalam
kondisi stranded (secara lokasi dan ekonomi), serta kapasitas cadangan dan
produksi kecil (Marmolejo, MIT, 2014). Keputusan pengembangan lapangan
Prelude di Australia (3 TCF) sebagai pionir FLNG diambil atas pertimbangan
tekno-ekonomi sesuai lokasi dan kapasitas cadangan yang ada. Ternyata,
pertimbangan yang berlaku global tersebutlah yang menjadi dasar pemerintah
menyetujui POD-1 FLNG Masela pada 2010.
Sertakan
BUMN/BUMD
Namun, dengan meningkatnya
cadangan terbukti Masela menjadi 29,1 TCF, perlunya pertimbangan aspek-aspek
selain tekno-ekonomi-seperti sosial- politik, hankam, dan pembangunan wilayah
timur, serta naiknya tingkat produksi dari 2,5 MTPA menjadi 7,5 MTPA, opsi
FLNG tidak lagi relevan.
Justru ditemukan bahwa opsi OLNG
lebih layak. Apalagi, pengembangan wilayah dan efek berganda opsi OLNG ini
sejalan dengan salah satu visi Nawacita yang diusung Jokowi, yakni membangun
dari pinggiran. Oleh sebab itu, keputusan Presiden menetapkan pengembangan
Masela di darat/OLNG, meski terlambat dan ada kisruh, jadi sangat tepat dan
patut diapresiasi.
Ke depan, pemerintah harus
menyiapkan rencana strategis dan komprehensif skema OLNG Masela agar
bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai Pasal 33 UUD 1945,
negara melalui BUMN harus menguasai dan berperan dalam pengelolaan Masela.
Oleh sebab itu, pemerintah harus mengoreksi kesalahan masa lalu yang
membiarkan pengelolaan blok-blok migas hanya pada kontraktor asing tanpa
partisipasi BUMN. Karena itu, pemerintah harus menegosiasikan dan menjamin
partisipasi Pertamina dalam pengembangan Blok Masela, dengan nilai saham
sekitar 25-30 persen.
Permintaan ini cukup relevan dan
konstitusional, terutama karena Inpex dan Shell telah meminta perpanjangan
kontrak kerja sama Blok Masela, dari 2028 menjadi 2038, meskipun belum
memulai operasi. Padahal, salah satu sebab tertundanya pengembangan Masela
adalah karena sikap kontraktor sendiri yang mengubah POD yang telah disetujui
pada 2010, sehingga pengembangan dan produksi gas tertunda.
Selain itu, kontraktor terkesan
mendahulukan pengembangan lapangan gas di Australia (Prelude dan Ichthys)
dibandingkan dengan Masela, sambil tetap mencengkeram Masela yang cadangannya
sangat besar. Jika perpanjangan kontrak disetujui, Pertamina kehilangan
kesempatan untuk menguasai Masela pada 2028!
Di sisi lain, Pertamina memang
harus segera mengajukan permintaan pemilikan saham kepada pemerintah,
sebagaimana diatur pada Ayat 9 Pasal 28 PP No 35/2004. Namun, sebagai negara
yang menjunjung konstitusi, tanpa diminta pun mestinya pemerintah justru
harus menugaskan kepada Pertamina untuk memiliki saham di Blok Masela. Oleh
sebab itu, sejalan dengan pemberian perpanjangan kontrak Masela, sesuai
amanat Pasal 33 UUD, sudah seharusnya pemerintah pun mewajibkan kontraktor
menyerahkan 25-30 persen saham kepada Pertamina.
Keputusan Presiden menetapkan opsi
OLNG tidak dapat berlanjut sesuai dengan proses KKS yang berlaku, sepanjang
kontrak Masela belum diperpanjang hingga 2048. Pengajuan perpanjangan harus
menunggu hingga 2018, kecuali ketentuan dalam PP No 35/2004 diubah, atau
menunggu ditetapkannya UU Migas baru yang saat ini sedang dibahas DPR dan
pemerintah.
Langkah mana pun yang akan
diambil, sesuai dengan target pengelolaan Masela yang konstitusional agar
bermanfaat maksimal bagi rakyat, selain 10 persen saham bagi BUMD Maluku,
pemerintah harus menjamin masuknya Pertamina sebagai pemegang 20-25 persen
saham Blok Masela. Pengelolaan saham BUMD Maluku pun harus digabung dengan
saham Pertamina dalam satu konsorsium, sehingga bermanfaat maksimal bagi
rakyat daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar