Anomali Nilai Tukar Petani
Toto Subandriyo ; Pengamat
Ekonomi;
Lulusan IPB dan Pascasarjana
Universitas Soedirman
|
KOMPAS, 23 April
2016
Perkembangan
nilai tukar petani selama beberapa bulan terakhir menurun. Itulah gambaran
dari data NTP yang dirilis Badan Pusat Statistik dalam lima bulan terakhir.
Angka
nilai tukar petani (NTP) selama lima bulan terakhir adalah 102,95 (November
2015), 102,83 (Desember 2015), 102,55 (Januari 2016), 102,23 (Februari 2016),
dan 101,32 (Maret 2016).
Ini
merupakan sebuah anomali sehingga perlu diwaspadai pemerintah. Periode
November-Maret merupakan bulan-bulan paceklik. Seharusnya NTP pada periode
tersebut angkanya naik. Penurunan biasanya baru terjadi saat puncak panen
raya.
Lalu
mengapa hal itu bisa terjadi? Untuk kasus Maret 2016 penurunan NTP terjadi
karena indeks harga yang diterima
petani (It) turun 0,22 persen sedangkan indeks harga yang dibayar petani (Ib)
naik 0,68 persen. Harga rata-rata gabah kering panen di tingkat petani turun
9,76 persen dibandingkan Februari. Penerimaan petani menurun, sedangkan harga
kebutuhan hidup terus meningkat.
Panjangnya
rantai pemasaran beras membuat harga di tingkat konsumen stabil tinggi,
tetapi harga di tingkat petani rendah. Penurunan NTP ini terasa sangat ironis
karena awal Maret 2016 lalu BPS merilis data angka sementara produksi padi
nasional 2015 mencapai 75,36 juta ton
gabah kering giling, atau naik 6,37 persen dibandingkan produksi tahun 2014.
Kondisi
yang tidak kalah memprihatinkan terjadi pada usaha peternakan rakyat,
utamanya ayam pedaging. Masalah sistemik pada peternakan ayam pedaging
berpangkal dari melimpahnya produksi. Harga di tingkat peternak jatuh di
bawah biaya produksi, tetapi konsumen harus membayar jauh di atas harga
produksi. Meski harga daging ayam di pasaran mencapai Rp 30.000-Rp 40.000 per
kilogram, harga ayam hidup di tingkat peternak hanya Rp 13.000-Rp 14.000 per
ekor. Harga tersebut di bawah harga pokok produksi sekitar Rp 18.500 per
ekor.
Kondisi
memprihatinkan ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang
kurang berpihak kepada peternak. Diawali dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sejak dikeluarkan UU itu
proporsi perunggasan nasional berubah 180 derajat. Sebelum 2009, proporsi peternak
ayam rakyat/mandiri mencapai 80 persen, 20 persen sisanya untuk
perusahaan/integrator.
Hanya
dalam waktu lima tahun proporsinya menjadi terbalik. Proporsi peternak rakyat
20 persen, 80 persen dikuasai integrator. Kondisi seperti bisa terjadi karena konstitusi itu memperbolehkan integrator
masuk bisnis budidaya ayam yang sebelumnya dijalankan peternak mandiri.
Selain itu, integrator juga diperbolehkan menjual ayam ke pasar tradisional
yang sebelumnya diisi ayam dari peternak mandiri, pasar daging ayam pun
dikuasai para integrator.
Paradoks
Itulah
gambaran secara umum kondisi agribisnis di negeri ini. Para petani selalu dihadapkan pada dua kekuatan
eksploitasi ekonomi. Pada pasar faktor produksi, selalu dihadapkan pada
kekuatan monopolistis. Sebaliknya, saat akan menjual hasil produksi, selalu
dihadapkan pada kokohnya tembok monopsonistis. Di sisi lain kebijakan pemerintah banyak yang kurang
berpihak kepada petani.
Akibatnya,
nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil
oleh struktur non-usaha tani yang bersifat dispersal, asimetris, dan
terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen ditransmisikan secara cepat
dan sempurna kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga di tingkat konsumen
ditransmisikan secara lambat dan tak sempurna.
Pada kondisi seperti itu, tingginya
produktivitas petani hanyalah sebuah paradoks. Di mana nilai tambah
peningkatan produktivitas usaha tani lebih dinikmati pelaku di luar usaha
tani. Antara lain, para pedagang, para tengkulak, rentenir, bahkan badan usaha milik pemerintah, seperti Perum
Bulog.
Pada kondisi paradoks tersebut, segala upaya
yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi, seperti pembangunan/ perbaikan
infrastruktur, inovasi teknologi, kebijakan perkreditan, serta kebijakan
harga, manfaatnya lebih dinikmati mereka yang berada di sektor non-usaha
tani. Tingkat pendapatan riil petani makin tertinggal dari pendapatan mereka
yang di sektor non-usaha tani.
Meski para penyuluh pertanian telah
mengintroduksikan berbagai teknologi budidaya, seperti benih unggul,
pemupukan berimbang, sistem budidaya jajar legowo (jarwo) atau SRI
(system of rice intensification),
tetapi manfaatnya tak cukup dirasakan petani. Mengapa? Pada musim rendeng, di
mana porsi panenan mencapai 60 persen dari panenan dalam setahun, kebanyakan
petani menjual padinya dalam bentuk tebasan.
Hal
itu ditempuh untuk beberapa alasan, antara lain karena tak ingin repot
menjemur gabah saat curah hujan masih tinggi, ingin segera mendapat dana
tunai untuk biaya tanam musim berikutnya maupun untuk keperluan sehari-hari
termasuk untuk membayar utang. Celakanya, para penebas cenderung menyamakan
harga tebasan petak yang diintroduksikan berbagai teknologi dengan petak
tanpa introduksi teknologi. Padahal, kalau dipanen sendiri oleh petani, selisihnya
sangat signifikan.
Keharusan etis
Menurut
ekonom Amerika Serikat, Profesor Joseph Eugene Stiglitz, pemihakan dan
perlindungan pemerintah kepada "wong cilik", seperti petani (termasuk peternak dan nelayan) adalah
keharusan etis. Dalam perspektif penerima penghargaan Nobel Ekonomi 2001 itu,
alasan pemihakan karena terjadinya kegagalan pasar (market failure) akibat
tak terpenuhinya asumsi-asumsi pembangunan.
Minimnya keberpihakan pemerintah kepada
petani membuat mereka "rajin" berunjuk rasa. Unjuk rasa ribuan
nelayan dari sejumlah daerah di Istana Merdeka, Jakarta, merupakan contoh
paling aktual. Hal serupa juga pernah dilakukan peternak ayam,
peternak/pedagang daging sapi, petani tebu, juga pengrajin tempe/tahu.
Mau tidak mau, suka tidak suka pemerintah
harus segera hadir memberikan perlindungan kepada petani. Di antaranya kemudahan memperoleh sarana produksi.
Karena kondisi pasar faktor produksi umumnya terdistorsi, pemerintah harus
hadir dalam menjaga ketersediaan sarana produksi yang dibutuhkan petani dalam
kuantitas, kualitas, dan harga memadai.
Petani
harus mendapatkan perlindungan dan jaminan terhadap kepastian usaha. Perlu
upaya menciptakan kondisi yang menghasilkan harga komoditas yang
menguntungkan bagi mereka. Selain itu perlu adanya jaminan atas risiko usaha
dari bencana alam, hama dan penyakit tanaman, dampak perubahan iklim,
pencemaran, dan jenis-jenis risiko lainnya. Terkait hal ini pemerintah
berkewajiban memperluas akses penjaminan terhadap risiko usaha dalam bentuk
asuransi pertanian.
Agar
petani terhindar dari praktik ekonomi biaya tinggi, pemerintah perlu
membebaskan biaya penerbitan perizinan terkait usaha petani kecil.
Membebaskan pungutan usaha tani meliputi pajak maupun retribusi bagi petani
kecil. Agar harga komoditas pangan produksi petani tidak terpuruk, pemerintah
harus ketat mengendalikan impor pangan.
Pada era globalisasi perdagangan seperti
sekarang, perlindungan kepada petani oleh pemerintah merupakan sebuah
keniscyaan. Anthony Giddens (1999), menulis dalam bukunya Runaway World,
bahwa globalisasi perdagangan akan membuat dunia tidak mirip sebuah
perkampungan global (global village),
tetapi lebih merupakan penjarahan global (global
pillage). Benih transgenik dan pestisida berbahaya yang di negara asal
perusahaan multinasional sudah dilarang, tetapi di Indonesia masih beredar
bebas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar