Brexit dan Ekonomi Asia
Ronny P Sasmita ; Analis
Senior Financeroll Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
26 April 2016
UNI Eropa merupakan persatuan 28
negara yang terhimpun dalam zona perdagangan bebas. Dengan produk domestik
bruto (PDB) lebih dari US$18 ribu miliar dan populasi mencapai lebih dari 500
juta, UE merupakan blok ekonomi terbesar dunia. Selama lebih dari setengah
abad, perubahan perjanjian dan pembentukan badan-badan penting, seperti
Komisi Eropa, Parlemen Eropa, Pengadilan Eropa, dan Dewan Eropa, sudah
dilakukan. Negara anggota masih tetap menjadi aktor utama dalam UE, yaitu
Kanselir Jerman Angela Merkel merupakan pimpinan utama di blok itu.
Inggris bergabung dengan
Masyarakat Ekonomi Eropa atau European
Economic Community (EEC)--pendahulu Uni Eropa--pada 1 Januari 1973. Itu
merupakan ambisi Perdana Menteri Edward Heath yang bernegosiasi agar Inggris
bergabung dengan Eropa.
Memang mengherankan jika kita
menyandingkan ambisi Heath dan kondisi kontemporer karena kata Brexit
terkesan muncul begitu saja alias tiba-tiba. Saat negara-negara lain gencar
membentuk atau bergabung dengan blok ekonomi regional, Inggris malah ingin
hengkang dari blok ekonomi terbesar di dunia itu. Kata Brexit merupakan
singkatan yang mengacu ke kondisi ketika Inggris mengancam akan hengkang dari
blok 28 negara Eropa (British exit). Kata itu menyontek dari istilah Grexit,
yang sudah digunakan beberapa tahun terakhir untuk menunjukkan kemungkinan
Yunani meninggalkan UE.
Negosiasi kedua belah pihak
(Inggris dan UE) diperkirakan akan berlangsung selama dua tahun. Jika
hasilnya ialah hard exit alias benar-benar terlepas dari UE, Inggris akan
kehilangan pengaruh atas UU Uni Eropa dan mengucapkan selamat tinggal pada
kebijakan paspor kawasan. Namun, jika hasilnya ialah skenario jalan tengah,
Inggris masih akan terikat dengan kebijakan paspor bersama di satu sisi dan
tetap mendapatkan hak otonomi atas isu-isu utama di luar keuangan di sisi
yang lain, seperti imigrasi.
Peta politik kontemporer memang
kurang berpihak pada UE. Partai Konservatif Inggris cenderung skeptis
mengenai masa depan Inggris di Uni Eropa. Bahkan, pada pelafalan janji
politik pemilihan umum pada Mei 2015 lalu, partai itu berjanji akan menggelar
referendum pada 2017 dengan pilihan Inggris tetap di Uni Eropa atau memilih
keluar.
Namun, sebelum referendum dihelat,
Perdana Menteri Inggris David Cameron tetap ingin melakukan negosiasi,
terutama terkait dengan persyaratan keanggotaan Inggris dalam UE. Jika UE
mengakomodasi keinginan Inggris, Cameron berjanji akan berkampanye agar
Inggris tetap di UE. Pada Pertemuan Dewan Eropa 17-18 Desember 2015 silam,
Cameron mengajukan proposal empat area utama negosiasi antara Inggris dan UE.
Pertama, economic governance. Karena UE memiliki lebih dari satu mata
uang, Inggris ingin memastikan negara di luar zona euro tidak dirugikan.
Karena itu, negara nonanggota zona Eropa tidak akan berkontribusi untuk
menyokong euro. Jika zona Eropa memutuskan untuk mendirikan persatuan
perbankan, keterlibatan negara nonanggota harus bersifat sukarela.
Kedua, persaingan, yaitu fokus
pada pertumbuhan ekonomi untuk mendongkrak tingkat lapangan kerja, mendirikan
Persatuan Pasar Modal, menetapkan target untuk me-review kembali peraturan yang dirasa tidak perlu yang memberatkan
bisnis, mempromosikan pasar tunggal yang akan berkontribusi 3% pada PDB UE,
dan meningkatkan daya saing serta produktivitas.
Ketiga, kedaulatan atau sovereignty. Ini merupakan isu utama
dari perdebatan ketika UU UE tidak dibuat Parlemen Eropa, tapi Komisi Eropa.
Hal itu memberikan kekuasaan lebih bagi parlemen nasional untuk memblokir
legislasi UE. Harapannya, UE harus menghormati protokol Departemen Kehakiman
dan Keamanan Inggris. Selain itu, pasukan keamanan nasional diharapkan masih
memiliki tanggung jawab penuh bagi warga negara mereka, tapi juga bersedia
bekerja sama jika ada ancaman keamanan kawasan.
Keempat, imigrasi. Tingkat
imigrasi per tahun mencapai 300 ribu orang, khususnya di UE, yang menyebabkan
kepadatan tinggi pada sekolah, RS, dan fasilitas umum lain. Untuk
menghentikan hal itu, imigran dari UE yang tinggal di Inggris harus
memberikan kontribusi bagi ekonomi selama empat tahun sebelum mereka berhak
mendapatkan tunjangan dari pemerintah.
Statistik perdagangan pemerintah
menunjukkan Uni Eropa merupakan destinasi separuh dari ekspor barang Inggris.
Amat mungkin kesepakatan perdagangan akan terus berlanjut setelah Brexit
direalisasikan karena adanya keuntungan bagi pihak masing-masing. Namun,
skenario terburuk ialah eksportir Inggris akan menghadapi sejumlah pajak
tambahan jika mereka keluar dari pasar tunggal. Peluang yang tersisa ada di
bawah Kesepakatan Lisbon, yaitu negara yang keluar dari Uni Eropa masih
memiliki waktu dua tahun untuk menegosiasikan kembali perjanjian perdagangan.
Bagi Inggris, keuntungan utama
bergabung dengan UE ialah perdagangan bebas barang dan jasa. Akan ada dampak
negatif bagi Inggris jika memutuskan keluar dari UE. Selain itu, Brexit akan
mengakibatkan ketidakpastian lain di saat perekonomian Eropa sedang
menghadapi banyak persoalan besar. Berdasarkan data OECD, UE merupakan pasar
penting bagi Inggris. Negara-negara UE berkontribusi 53% bagi impor Inggris
dan 48% ekspor mereka. Partner dagang utama Inggris di 2014 lalu ialah
Jerman, yang menyumbang 12,3% dari total perdagangan di Inggris. Posisi kedua
ialah AS (9,5%), diikuti Belanda (7,5%), Tiongkok (7,3%), dan Prancis (5,9%).
Dengan demikian, jika Brexit menjadi pilihan akhir, perekonomian Jerman juga
akan terkena dampak negatif. Sejumlah perusahaan multinasional yang berbasis di
Inggris harus memindahkan kantor pusat mereka ke negara UE lainnya.
Lalu bagaimana dengan Asia? Mau
tak mau negara-negara Asia saat ini harus mulai bersiap mengalami penurunan
ekonomi jika hasil voting menunjukkan Inggris keluar dari keanggotaan UE. Sejumlah
negara Asia sudah 'berteriak' agar Inggris tetap menjadi anggota UE, termasuk
Tiongkok dan India. Demikian pula halnya dengan sejumlah perusahaan besar
Asia. Nissan, misalnya, mengatakan, dengan tetap menjadi anggota EU, Inggris
akan mendapatkan banyak keuntungan, mulai terbukanya lapangan kerja,
perdagangan, hingga rendahnya biaya perdagangan.
Namun para pendukung Brexit
berpendapat, dengan melepas keanggotaan UE, Inggris akan terbebas dari
peraturan UE. Dengan demikian, Inggris akan lebih bebas melakukan transaksi
dagang dengan negara-negara Asia. Meski demikian, pertemuan menteri keuangan
G-20 pada 26-27 Februari lalu menyimpulkan, Brexit akan menyebabkan guncangan
pada perekonomian dunia. Selain itu, nilai tukar pound sterling akan jatuh
lebih dalam.
Sebenarnya Inggris sendiri
menyadari, jika meninggalkan UE, mereka harus bersaing dengan blok
perdagangan lain dan tentunya tidak mudah untuk dilakukan. Data menunjukkan,
ekspor dari ASEAN ke UE mencatatkan peningkatan dari 70 miliar euro (US$76
miliar) di 2004 menjadi 100 miliar euro (US$109 miliar) di 2014. Selain itu,
negara-negara ASEAN juga berkomitmen untuk melakukan negosiasi perdagangan
dengan UE. Artinya, Inggris harus memulai proses itu dari nol jika mereka
memilih opsi Brexit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar