Politik Uang Munaslub Golkar
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor
Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS, 27 April
2016
Keinginan panitia pengarah dan
panitia pelaksana agar pemilihan ketua umum Partai Golkar pada Musyawarah
Nasional Luar Biasa Golkar berlangsung tanpa politik uang tampaknya hanyalah
impian belaka.
Ketika mereka sedang mempersiapkan
aturan main untuk meniadakan permainan politik uang itu, paling tidak sudah
ada lima dari tujuh bakal calon ketua umum yang sudah melakukan safari
keliling ke daerah untuk mendapatkan dukungan dari DPD-DPD I dan II Partai
Golkar. Pada kegiatan safari itulah tawar- menawar dukungan politik mulai
terjadi. Pembicaraan yang biasanya terjadi, antara lain, "Si A kasih
berapa?" atau "Anda dapat berapa dari si B?" dilanjutkan
dengan kalimat, "nih saya kasih sekian ya, jangan lupa beri dukungan ke
saya."
Politik uang sudah menjadi The
name of the game dalam setiap pemilihan ketua umum Partai Golkar di era
reformasi, khususnya sejak pertarungan head-to-head antara Akbar Tandjung dan
Jusuf Kalla pada Munas Bali 2004 dan antara Aburizal Bakrie vs Surya Paloh
pada Munas Riau 2009. Bahkan, pada Munas Riau angkanya amat fantastis, secara
kumulatif mencapai lebih dari Rp 1 triliun!
Jika informasi yang penulis terima
dari teman-teman di Partai Golkar itu benar, sudah pasti uang sebesar itu
tidak seluruhnya berasal dari kocek dua kandidat yang bertarung tersebut.
Dengan kata lain, pasti ada satu atau banyak orang yang
"menyumbang" para kandidat itu, yang dalam bahasa Indonesia bisa
disebut "cukong", "pengijon", atau agak lembut disebut
"tangan-tangan yang tak tampak" (the invisible hands). Cukong yang
saya maksud tidak mengandung konotasi etnik atau ras karena bisa saja dia
keturunan Tionghoa, Melayu, atau Arab.
Tak
ada makan siang gratis
Seperti layaknya pengijon yang
membantu para petani atau peladang yang membutuhkan dana, dalam politik
bantuan para cukong kepada para bakal calon ketua umum Partai Golkar itu
tentunya tidaklah gratis alias no free lunch. Para cukong tentunya meminta
imbalan balik yang lebih besar lagi dari para politisi yang mendapatkan
bantuan itu. Bisnis politik kotor ini dalam terminologi politik dikenal
dengan sebutan bribe and kickbacks.
Posisi ketua umum Partai Golkar
amatlah strategis karena Golkar adalah kekuatan kedua terbesar di Indonesia
setelah PDI Perjuangan (PDI-P). Namun, kecanggihan bermanuver politik Partai
Golkar tetap lebih baik dibandingkan PDI-P atau partai-partai lain. Ketua
umum Partai Golkar bisa mengerahkan jajaran partainya dari yang ada di
eksekutif, legislatif, dan bahkan pengawasan keuangan negara, dari pusat
sampai ke daerah. Bahkan, politisi Golkar juga bisa memiliki pengaruh yang
besar di lembaga yudikatif.
Apa yang cukong inginkan dari
politisi atau partai yang mereka bantu keuangannya selama kampanye? Jawabnya:
banyak! Itu bisa berupa aturan pasal atau ayat di dalam RUU atau rancangan
perda yang harus masuk atau keluar demi keuntungan mereka, baik yang terkait
tanah, air, udara, tambang, reklamasi
pantai, ataupun yang lain yang sedang berada dalam proses legislasi di DPR
atau DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Cukong itu bahkan juga bisa
menekan para politisi dari lintas partai yang mendapatkan bantuan dana
darinya agar membuat pansus A atau pansus B dengan alasan politik apa pun,
padahal tujuan utamanya agar menteri A atau menteri B atau keduanya diganti
dengan tuduhan tidak kompeten. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah agar
menteri atau gabungan menteri itu keluar dari kabinet karena
kebijakan-kebijakannya telah merugikan bisnisnya yang dulu begitu nyaman
bergerak merugikan negara pada era Orde Baru sampai pemerintahan sebelumnya.
Jika kita simak pernyataan politik
seorang cukong politik, rasanya menenteramkan, seakan dia mengajak para
politisi partai di Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) pasca Pilpres 2014 mendukung Presiden Joko Widodo agar pemerintahan
berjalan dengan baik. Namun, kenyataannya, cukong politik itu bisa pula
mendesak politisi di DPR agar pembahasan RAPBN 2016 pada Oktober 2015
tersebut deadlock soal isu Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN, karena ia
tampaknya tidak terima dengan Presiden Jokowi yang dianggap telah membunuh
raksasa bisnis energinya yang dulu seakan tidak tersentuh hukum.
Cukong dan politik uang bagaikan lingkaran
setan yang merugikan partai dan negara. Cukong ingin untung dari ketua umum
partai, ketua umum partai juga ingin mendapatkan dukungan politik dari para
jajaran DPD II yang mempunyai hak suara. Setelah itu cukong akan meminta
imbalan balik dari ketua umum partai.
Ketua umum partai juga akan
meminta imbalan balik dari anggota Partai Golkar yang mempunyai jabatan di
legislatif atau lembaga negara lain dan tentunya juga akan meminta mahar
politik kepada para petinggi Golkar daerah yang ingin maju di pilkada. Di
lingkaran setan inilah partai dirugikan citranya dan biaya politik menjadi
tinggi pula yang akhirnya membebani rakyat. Ini juga bisa merusak sendi-sendi
berpemerintahan yang baik di negeri ini.
Tiga
skenario
Kita membaca dan menyimak bahwa panitia
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar akan memberikan
sanksi diskualifikasi kepada bakal calon ketua umum yang terbukti melakukan
politik uang. Ini merupakan suatu klausul yang amat baik. Persoalannya,
bagaimana jika yang akan didiskualifikasi karena tuduhan politik uang itu
adalah nama-nama beken yang selama ini dijagokan sebagai bakal calon ketua
umum Partai Golkar, seperti Setya Novanto, Ade Komarudin, atau Aziz
Syamsuddin?
Jika itu terjadi, skenario
pertama, pemilihan ketua umum tetap berlanjut dan munaslub sukses memilih
ketua umum baru yang independen dan memiliki visi jelas mengenai masa depan
Golkar dan negara dan semua pihak menerima hasilnya. Skenario kedua,
pemilihan ketua umum Golkar ricuh karena para pendukung Ade Komarudin dan
Setya Novanto tak dapat menerima tindakan sewenang- wenang panitia dan
munaslub menjadi deadlock dan rekonsiliasi gagal total.
Skenario ketiga, para wakil DPD II
secara aklamasi mengesahkan kembali Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar
karena itu tak sesuai dengan kepentingan cukong. Apalagi, Mahkamah Agung
sudah memutuskan Munas Bali 2014 sah dan demokratis.
Skenario mana yang paling mungkin
terjadi, hanya teman-teman di Partai Golkar yang tahu, karena kita tidak bisa
mengetahui isi hati orang. Apa yang diucapkan politisi belum tentu sama
dengan isi hati dan otaknya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar