TNI/Polri Dilarang Berpolitik
Al Araf ; Direktur
Imparsial; Pegiat Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan; Mengajar di Universitas Paramadina dan Al
Azhar Jakarta
|
KOMPAS, 28 April
2016
Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah
saat ini sedang membahas revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Kepala Daerah. Dalam proses pembahasan di DPR, terdapat usulan
untuk mengubah syarat calon yang berasal dari anggota TNI/Polri tanpa harus
pensiun atau mengundurkan diri dari keanggotaannya di TNI ataupun Polri
ketika maju menjadi kandidat dalam pilkada.
Sebagian fraksi politik di
parlemen setuju anggota TNI ataupun Polri cukup non-aktif atau cuti dan tidak
perlu pensiun atau mengundurkan diri ketika maju menjadi kandidat dalam
pilkada sebagaimana tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) di DPR.
Keinginan untuk mengubah UU
Pilkada dengan memperbolehkan anggota TNI dan Polri tidak harus mengundurkan
diri atau pensiun ketika menjadi kandidat pilkada tentu sangat memprihatinkan
karena akan mengembalikan ruang baru bagi militer dan polisi untuk berpolitik
kembali.
Dalam negara demokrasi,
keterlibatan militer dan polisi dalam politik praktis tentu tidak dibenarkan
dengan dalih dan alasan apa pun.
Pengingkaran
reformasi
Secara historis, keterlibatan
militer dan polisi secara langsung di dalam kehidupan politik praktis pernah
terjadi pada masa rezim pemerintahan Orde Baru. Di masa itu, rezim
otoritarian Soeharto melakukan politisasi militer dan polisi yang dulu berada
dalam satu atap bernama ABRI untuk
menjaga dan mempertahankan kekuasaannya. Alhasil, peran dan fungsi
ABRI di masa Orde Baru lebih banyak terlihat kiprahnya pada kehidupan politik
praktis.
ABRI menduduki jabatan-jabatan
strategis, seperti menteri, gubernur, bupati, serta berada di dalam parlemen.
ABRI juga melakukan kontrol terhadap proses politik pergantian kekuasaan
melalui pemilihan umum (pemilu). Dalam setiap proses pemilu, ABRI terjun
langsung mengawasi dan mengintervensi proses
pemilu.
Upaya untuk mengeluarkan ABRI
dalam kehidupan politik praktis bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh waktu
tiga puluh dua tahun bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk
mengembalikan militer dan polisi (dulu ABRI) pada peran dan fungsi yang
semestinya. Para mahasiswa di era Orde Baru menyuarakan dan mendesak militer
agar kembali ke barak dan tidak lagi berpolitik. Bahkan, upaya mencabut
doktrin Dwi Fungsi ABRI yang menjadi doktrin berpolitik ABRI mengakibatkan
terjadinya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang memakan korban jiwa.
Secara politik, pencabutan doktrin
Dwi Fungsi ABRI yang diikuti dengan larangan bagi militer untuk berpolitik
tentu menjadi hawa segar bagi kehidupan politik di masa reformasi ini.
Dinamika politik di Indonesia di masa kini tidak lagi di dominasi militer
sebagaimana pernah di alami pada masa Orde Baru.
Dalam konteks itu, ide di dalam
pembahasan revisi UU Pilkada di parlemen yang memperbolehkan anggota militer
dan polisi tidak pensiun ketika maju menjadi kandidat dalam pilkada adalah
bentuk pengingkaran atas perjuangan reformasi dan perjuangan demokrasi itu
sendiri. Kehendak untuk memasukkan ide
itu dalam revisi UU Pilkada sangat memprihatinkan dan akan menjadi ancaman
serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia
Bertentangan
dengan UU
Dalam negara demokrasi, para elite
sipil seharusnya tidak mencoba-coba menarik kembali militer dan polisi dalam
kehidupan politik praktis. Para elite sipil sudah seharusnya menempatkan
militer dan polisi tetap dalam fungsi dan peran aslinya, di mana militer
berfungsi sebagai alat pertahanan negara dan polisi adalah alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Gagasan yang memperbolehkan
anggota militer dan polisi maju menjadi kandidat pilkada tanpa harus pensiun
dan mengundurkan diri adalah gagasan yang bertentangan dengan UU TNI No
34/2004 dan juga UU Polri No 2/2002. Di dalam UU TNI No 34/2004, Pasal 39 Ayat
2 menyebutkan bahwa "Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik
praktis dan di dalam Pasal 47 Ayat 1 disebutkan bahwa "Prajurit hanya
dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari
dinas aktif keprajuritan".
Sementara UU Polri No 2/2002 di
dalam Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa "Kepolisian Negara Republik
Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri
pada kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 28 Ayat 3 UU Polri No 2/2002
menyebutkan bahwa "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun
dari dinas kepolisian".
Penting untuk diingat, anggota TNI
dan Polri memiliki jiwa esprit de corps dan struktur hierarki yang komando
sehingga sepanjang mereka masih berstatus sebagai anggota TNI ataupun Polri,
maka akan potensial mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan(abuse of power)demi memenangi pilkada yang diikuti kandidat dari
TNI dan Polri. Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya pengerahan
kekuatan militer ataupun polisi untuk memenangi pilkada.
Lebih jauh dari itu, baik anggota
TNI maupun Polri keduanya sama-sama memiliki kewenangan koersif dan
menggunakan senjata sehingga menjadi berbahaya bagi kondisi keamanan jika di
antara mereka terlibat dalam kontestasi di pilkada. Hal ini tentu akan
berpotensi memunculkan konflik di antara kedua institusi tersebut jika
kandidat dari keduanya sama-sama maju dalam pilkada, ataupun konflik dengan
masyarakat akibat dukung-mendukung antarcalon dari setiap anggota institusi
TNI/Polri dalam pilkada.
Netralitas anggota Polri dan
anggota TNI yang diperbantukan menjaga dan mengamankan politik pilkada
juga akan terganggu akibat
diperbolehkannya calon kandidat yang berasal dari anggota militer aktif dan
polisi aktif dalam pilkada. Tentu bagi anggota Polri dan anggota TNI yang diperbantukan tugas mengamankan
pilkada sulit bersikap netral ketika kandidat yang maju adalah berasal dari
TNI ataupun Polri yang masih aktif. Di sini, kestabilan politik dan keamanan
di daerah potensial menjadi rawan.
Apalagi, khusus untuk anggota
militer, hingga kini belum tunduk kepada sistem peradilan umum jika terlibat
pelanggaran dan tindak pidana sehingga ketika terjadi penyimpangan dan
pelanggaran dalam proses pilkada mereka akan berlindung di balik peradilan
militer. Memberikan ruang bagi anggota militer aktif dalam politik pilkada
tanpa adanya reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997 akan
menjadi ancaman serius bagi dinamika demokrasi lokal di daerah.
Sudah seharusnya dan sepantasnya
pemerintah dan parlemen tidak melanjutkan ide dan keinginan untuk melibatkan
militer dan polisi aktif sebagai kandidat dalam pilkada melalui revisi UU
Pilkada. Anggota militer dan polisi
jika ingin maju dalam pilkada, harus pensiun atau mengundurkan diri ketika
maju sebagai kandidat kepala daerah dalam proses pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar