Prahara Suap di Pengadilan
Achmad Fauzi ; Hakim
Pengadilan Agama Tarakan Kalimantan Utara
|
MEDIA INDONESIA,
23 April 2016
HATI ini menangis setiap
menyaksikan sepak terjang aparat peradilan yang masih berkubang dalam jeratan
suap. Mereka tak sadar anak dan istri mereka selama ini diberi makan dari
barang haram. Darah dan daging mereka tumbuh dan berkembang dari hasil praktik
kotor dan terkutuk. Sebagai manusia beragama, mestinya mempermainkan
timbangan keadilan menjadi pantangan yang harus dihindari. Ganjaran penyuap
dan penerima suap ialah neraka jahanam.
Namun, sekadar menangis dan
mengutuk kegelapan tak bakal menyelesaikan masalah. Mafia peradilan
membutuhkan pelembagaan moral secara sistemik sehingga kesalehan individu
aparat peradilan bermetamorfosis sebagai kesalehan lembaga. Karena itu,
gerakan 'save MA' yang muncul dari dalam lembaga peradilan sendiri patut
didukung. Kampanye menuju peradilan bersih hendaknya mencakup perubahan
paradigma, sikap, perilaku, dan kultur aparat peradilan untuk lebih mengacu
ke nilai-nilai etik profesi.
Terus terang praktik mafia
peradilan ini telah mencoreng wajah lembaga peradilan. Ketika satu orang
melakukan praktik culas, yang lain turut kena getahnya. Editorial Harian Media Indonesia bertajuk Goyahnya Benteng Terakhir Keadilan
(22/4) menarasikan betapa praktik suap di lembaga peradilan susul-menyusul
tak berkesudahan. Jemari tangan rasanya tak cukup menghitung jumlah aparat
peradilan menjatuhkan muruah hukum ke titik rendah. Keadaban hukum yang
idealnya dijunjung tinggi dirobohkan begitu saja hingga menjadi puing.
Pada Juni 2013, misalnya, KPK
menangkap staf Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman, karena
menerima suap sebesar Rp150 juta dari seorang advokat dalam kaitan perkara
kasasi yang ditangani MA. Djodi akhirnya divonis dua tahun penjara dan denda
Rp100 juta subsider empat bulan kurungan. Sementara itu, pemain utama yang
berdiri di balik layar dari kasus suap ini hingga kini belum terungkap.
Pada 2015, lembaga peradilan
kembali dikejutkan dengan penangkapan tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Medan oleh KPK karena menerima suap dari pengacara kondang. Ketiganya merupakan
majelis yang menangani perkara permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan
Tinggi Sumatra Utara dalam penyelidikan dugaan korupsi dana bantuan sosial
Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Kini tiap-tiap hakim itu telah divonis dua
tahun penjara.
Tak ubahnya bunyi petasan di
Lebaran, operasi tangkap tangan aparat peradilan dari tahun ke tahun
susul-menyusul. Pada Februari 2016, KPK kembali melakukan operasi tangkap
tangan Kepala Subdirektorat Kasasi dan PK pada Direktorat Tatalaksana MA.
Ia kini telah ditetapkan sebagai
tersangka kasus dugaan menerima suap atas perkara korupsi yang ditangani di
tingkat kasasi. Uang pelicin diberikan pihak beperkara agar MA menunda
mengirim putusan kasasi ke pengadilan negeri.
Di bulan ini, salah seorang
panitera pengadilan kembali menjadi sasaran operasi tangkap tangan KPK. Ia
diduga menerima suap terkait pengurusan perkara hingga level PK. Terungkapnya
sederet praktik jual beli perkara di lingkungan peradilan menunjukkan
supremasi hukum kita masih goyah oleh godaan duniawi.
Hukum yang seharusnya tidak
memihak siapa pun, kecuali kepentingan keadilan, justru dibajak para mafioso.
Jika demikian kondisinya, hukum akan tumpul ke bawah dan berpihak kepada
pemilik modal (Karl Marx) serta mudah diintervensi kuasa politik (Ralf
Dahrendorf). Cita-cita hukum sebagai sarana keadilan (Plato) dan tatanan
kebajikan (Socrates) hanyalah pepesan kosong yang sulit ditegakkan dengan
baik.
Persoalan suap di lingkungan
peradilan bukan sekadar persoalan klasik yang penyelesaiannya hanya dengan
cara menjatuhkan putusan etik maupun pidana. Aparat peradilan memiliki sisi
kemanusiaan yang juga membutuhkan pembinaan simultan dan siraman rohani untuk
menghidupkan nurani yang kadangkala kering. Karena itu, perlu desain
pembinaan yang berorientasi pada pembangunan karakter.
Baru-baru ini penulis mengikuti
pemantapan kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diselenggarakan KY. Bekerja
sama dengan tim psikolog dari Universitas Indonesia, metode pembinaan yang
didesain KY cukup bagus dalam membentuk karakter hakim ideal. Hakim tidak
hanya didorong untuk meningkatkan keilmuan, tapi juga menyeimbangkan kekuatan
nilai dan etika profesi hukum (transfer
of value).
Hal itu sejalan dengan pendapat
Koento Wibisono Siswomihardjo (2000) bahwa pendidikan hendaknya mengarah ke
dua aspek. Pertama, pendidikan untuk membekali pengetahuan akademis,
keterampilan profesional, dan kepatuhan pada kaidah ilmu. Kedua, pendidikan
membentuk watak menjadi sarjana yang komitmen terhadap kepentingan publik.
Saat ini sudah banyak orang pintar
dan menguasai disiplin ilmu, tapi sedikit yang memiliki komitmen menjaga
integritas. Pola pembinaan yang berorientasi pada peningkatan skill, kekuatan
moral, dan spiritual itu ialah jalan baru yang harus selalu dihidupkan agar
ke depan lembaga peradilan semakin memiliki legitimasi yang kuat di tengah
masyarakat.
Ketajaman
nurani
Ketajaman nurani yang bersumber
dari kesadaran moral dan dedikasi tinggi terhadap penegakan keadilan juga
penting diperhatikan. Syarat bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa harus
didefinisikan lebih rinci untuk menjamin hakim dan aparat peradilan yang
diangkat benar-benar memiliki kualitas kepribadian dan mental yang baik.
Nabi Muhammad ialah contoh pribadi
penegak hukum yang patut ditiru. Ketika seorang wanita bangsawan dari suku
Makhzum mencuri, hakim bersikap lunak dan berharap Rasulullah memberikan
pengampunan.
Peristiwa ini kemudian direspons
Rasulullah melalui khotbahnya: "Wahai
manusia, sesungguhnya yang menghancurkan tatanan masyarakat sebelum kamu
adalah apabila seorang bangsawan mencuri mereka dibebaskan. Akan tetapi,
apabila seorang yang lemah mencuri hakim jalankan hukuman tegas kepadanya.
Demi Tuhan, seandainya anakku Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku
akan menghukumnya".
Sikap Nabi Muhammad tersebut
menunjukkan hukum tak boleh pandang bulu. Elite kekuasaan maupun jelata punya
kedudukan sama.
Akhirulkalam, semua persoalan
dapat teratasi jika pola rekrutmen diperbaiki. Rekam jejak ditelusuri secara
mendalam dengan melibatkan perguruan tinggi. Cerdas itu syarat penting, tapi
integritas harus jadi pakaiannya. Aspek integritas dalam perekrutan jangan
pernah dianggap sepele, sebab memiliki keterhubungan linear dengan
pembangunan kolektif struktur mentalitas. Jika diabaikan, defisit integritas
bisa menjadi bom waktu yang siap menghancurkan muruah lembaga peradilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar