Pemimpin Bermartabat
Herry Tjahjono ; Terapis
Budaya Perusahaan
|
KOMPAS, 26 April
2016
Sejak ungkapan Amin Rais akan jalan kaki
Yogyakarta-Jakarta jika ada yang bisa membuktikan pernyataannya tentang
Prabowo harus dimahmilkan, yang akhirnya bisa dibuktikan, tetapi janji jalan
kaki itu sendiri tak pernah dibuktikan-bermunculanlah nazar-nazar
politik sejenis yang juga mengalami nasib serupa.
Ada yang mau gantung diri di Monas, potong salah satu
organ tubuh, terjun dari Monas, dan seterusnya sampai mau potong kuping.
Semua dengan bunyi nazarnya masing-masing. Namun, tak satu pun yang dipenuhi.
Belum lagi penggunaan berbagai macam cara, termasuk yang memalukan
sekalipun, hanya untuk mengalahkan lawan politik. Tanpa perlu merinci lagi, semua
fenomena itu bermuara pada yang namanya "patologi (kepemimpinan)
politik".
Patologi kepemimpinan politik itu bersinggungan langsung
dengan kemiskinan martabat pada para pelakunya, yang saat ini jadi fenomena
politik di Indonesia. Saya ingin mengutip tulisan F Budi Hardiman
("Politik yang Bermartabat") berikut: Izinkanlah saya
mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat
sekaligus diikuti dalam politik, Niccolo Machiavelli. "Membunuh sesama
warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama," tulisnya,
"tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan
kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan."
Miskin integritas
Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang
bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan.
Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari pemimpin
berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Sisi
gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para pembaca yang telanjur menilai
Machiavelli sebagai guru kelicikan politis.
Patut disesalkan, dalam masyarakat kita tersedia banyak
contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di
pemerintahan, DPR, atau peradilan. Dari politik uang para kandidat
selama pemilu dan pilkada sampai praktik jual-beli keputusan pemimpin,
seperti dalam jaringan para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa
politik itu sendiri tak lagi tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot
menjadi barang dagang dalam pasar kuasa.
Begitulah, dunia (kepemimpinan) politik kita kehilangan
martabatnya. Secara psikologi kepemimpinan, martabat kepemimpinan (politik)
itu disebabkan tidak ada atau tak berfungsinya nilai integritas dalam diri
seorang pemimpin. Integritas adalah landasan dari martabat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
integritas diartikan sebagai "mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan; kejujuran". Ada banyak definisi lain, tetapi yang jelas ada
tiga elemen utama integritas, yaitu: pikiran; perasaan; serta tindakan
yang utuh dan selaras, bahkan pada titik ekstrem-sempurna. Sering dikatakan
hidup yang berintegritas adalah hidup yang tanpa cacat atau cela. Tak ada
kompromi dalam integritas. Dan, dari sana, martabat seorang manusia
terbentuk.
Spencer Johnson mengartikan integritas dalam kaitannya
dengan kebenaran. Integrity is telling myself the truth. And honesty
in telling the truth to other people. Sementara menurut Stephen
Covey, integritas diartikan sebagai melakukan sesuatu karena benar atau
kebenaran, bukan karena tuntutan lingkungan atau karena kebiasaan. Dan,
sesuai pengertian integritas dalam KBBI serta kontekstualitas kondisi
patologi kepemimpinan politik Tanah Air, integritas memang berhubungan erat
dengan kebenaran, yang bukan hanya berlaku bagi diri sendiri, tetapi juga
orang lain.
Jadi, dalam integritas terkandung juga kejujuran. Adapun
keselarasan muncul pada satunya kata dan perbuatan. Sekarang menjadi
jelas kenapa sebagian besar para pemimpin politik (termasuk calon) kita
miskin martabat, yang ternyata disebabkan miskinnya nilai integritas dalam
dirinya. Kebenaran-bagi mereka-bukanlah sesuatu yang penting atau utama, baik
bagi diri sendiri maupun orang lain. Pagi bilang "tempe", sore
bilang "tahu", juga bukan masalah bagi mereka. Tanpa kepemimpinan
bermartabat, jangan harapkan organisasi menjadi bermartabat.
Semua ikhtiar kepemimpinan Presiden Joko Widodo-termasuk
konsep revolusi mentalnya, secara implisit maupun eksplisit-sesungguhnya
mengarah kepada pengembalian dan pembangunan martabat bangsa, baik ke dalam
maupun ke luar. Salah satu isyarat adalah ungkapannya dalam sebuah
kesempatan: "Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi macan, melainkan
menaklukkan macan. Karena bangsa Indonesia tidak ingin ditakuti melainkan
disegani." Ungkapan itu bicara tentang martabat bangsa, yang tentu harus
dimulai dari martabat para pemimpinnya di semua lini dan dimensi.
Kendalanya, sekali lagi, masih dominannya para pemimpin
tanpa martabat yang disebabkan miskinnya integritas kepemimpinan mereka.
Karena itu, upaya Jokowi akan menjadi sangat berat, sebab kepemimpinan miskin
integritas itu bukan hanya dalam jajaran kabinet dan aparatusnya, tetapi juga
bertebaran di berbagai dimensi lain, baik legislatif maupun yudikatif. Tanpa
pemimpin bermartabat, mustahil organisasi (Indonesia) bisa bermartabat. Dan,
tidak mungkin gerbong besar organisasi menuju bangsa bermartabat itu hanya
ditarik oleh presiden seorang diri.
Bermartabat adalah pilihan
Maka, seleksi dan rekrutmen kepemimpinan menjadi hal
paling krusial saat ini, mulai dari anggota kabinet (termasuk reshuffle),
pemilu, dan pilkada. Syarat integritas kepemimpinan menjadi utama dan wajib.
Kalau perlu berbagai mekanisme asesmen kepribadian pemimpin sampai sistem
pelaksanaan seleksi kepemimpinan berbagai level dan dimensi ditata
ulang agar faktor integritas bisa dideteksi secara dini.
Ungkapan Dwight Eisenhower berikut kiranya bisa menegaskan
kebutuhan itu: "Untuk menjadi pemimpin, seseorang harus memiliki
pengikut. Dan, untuk memiliki pengikut, seseorang harus memiliki rasa
percaya. Namun, syarat terutama bagi seorang pemimpin adalah
integritas."
Bagi para pemimpin, baik yang sedang berkuasa, calon
pemimpin maupun yang mantan, perlu disadari: buah dari kepemimpinan Anda
bukan hanya diukur dari output kepemimpinan selama Anda
berkuasa, melainkan juga ketika Anda sudah lengser. Pada saat itu, ukuran
satu-satunya adalah apakah Anda dikenang dan diingat sebagai pemimpin
bermartabat atau sebaliknya.
Sebagai ilustrasi, seandainya ditanya mana yang
lebih bermartabat antara Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur , atau
bapak-bapak bangsa lainnya dengan para pemimpin masa sekarang yang
mengingkari nazar politik-atau mereka yang menggunakan berbagai cara
memalukan demi kekuasaan, seperti diuraikan pada awal tulisan ini- masyarakat
akan dengan mudah menjawabnya.
Sebagai rakyat saya mau sampaikan, ketika Anda menjadi
pemimpin perlu dipahami: "berkuasa itu pasti, bermartabat itu
pilihan." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar