Amnesia Buku
Haidar Bagir ; Pengajar
Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina
|
KOMPAS, 28 April
2016
Hasil studi deskriptif yang
dilaksanakan Central Connecticut State University, AS, yang diumumkan belum
lama ini, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara
yang diteliti dalam hal literasi para warganya. Orang bisa saja
memperdebatkan validitas penelitian ini. Namun, sesungguhnya hal ini tak
terlalu mengagetkan kita. Sebelum ada penelitian ini pun kita sudah merasakan
banyak indikasi yang mengarah ke sana. Misalnya, dalam angka proporsi jumlah
judul buku yang terbit terhadap jumlah penduduk.
Belum lagi jika kita lihat
fenomena "kutukan 3.000 eksemplar" -yakni jumlah rata-rata buku
terjual untuk setiap judul buku yang terbit. Jangan bandingkan dengan Jepang
yang penduduknya memang gila baca, apalagi negara-negara maju dan berbudaya
baca tinggi, seperti Finlandia. Turki saja, yang jumlah penduduknya hanya
sedikit di atas sepertiga penduduk negara kita, jumlah rata-rata
cetak-pertama setiap judul buku bisa mencapai 10.000 eksemplar. Lebih
parahnya lagi, seperti dengan tepat diungkapkan oleh Tajuk Rencana Kompas
(21/4/2016), tantangan peningkatan minat baca kita lebih besar daripada yang
dialami negara-negara maju.
Meningkatkan
minat baca
Ketika kita belum lagi berhasil
dalam mengembangkan budaya baca yang merata, dan negeri kita masih didominasi
oleh budaya tutur, masyarakat kita sudah masuk ke budaya audio-visual (radio
dan TV) yang lebih mudah menyedot perhatian masyarakat. Tambahan lagi, dalam
pergulatan penuh susah payah dengan budaya audio-visual itu, kita sudah
"terpaksa" larut dalam budaya digital. Sebenarnya, teknologi
digital sampai batas tertentu juga mengembalikan budaya baca kepada masyarakat,
baik lewat akses kepada berbagai tulisan di internet melalui search engine
yang ada maupun melalui berbagai sarana media sosial, seperti situs web,blog,
Facebook, dan Twitter.
Akan tetapi, di sisi lain,
tantangannya justru menjadi makin besar. Di satu sisi, tantangan peningkatan
minat baca secara umum masih menghantui. Di sisi lain, besarnya pasokan
informasi yang menerpa serta sifat sebagian besar tulisan yang tersedia di
media digital telah menyebabkan para pengguna internet mengakses lebih banyak
tulisan-tulisan pendek yang kurang keluasan dan kedalaman.
Yang lebih mengkhawatirkan, alasan praktis pemilihan bahan bacaan ini
dalam waktu panjang bisa mempermanenkan habit keengganan membaca buku, dalam makna bahan bacaan yang memiliki
keluasan dan kedalaman yang memadai. Dengan kata lain, yang diminati para
konsumen bahan-bahan bacaan digital hanyalah yang memiliki tingkat
"ketuntasan" yang rendah, khususnya anggota generasi muda yang
termasuk dalam golongan "digital natives" (penduduk pribumi dunia
digital).
Bukan saja mereka kehilangan
ketelatenan membaca buku yang memiliki keluasan dan kedalaman yang cukup
akibat dimanjakan oleh teknologi komputer yang menawarkan kecepatan tinggi
untuk mengakses banjir informasi yang ada di internet, gaya mereka mencari
informasi yang bersifat multi-tasking juga telah memperparah gejala ini. Hal
ini kiranya juga didorong sifat sarana digital yang belum sepenuhnya senyaman
medium buku cetak sehingga lebih cepat mengakibatkan rasa capai (fatigue).
Hal yang terakhir ini lebih terasa
khususnya bagi generasi "digital migrant" (penduduk imigran dunia
digital) yang tak seterbiasa generasi yang lebih belakangan dalam menggunakan
perangkat pembaca (reader) elektronik. Apalagi di waktu- waktu belakangan
ini, ketika telepon pintar berlayar kecil telah mulai merampas fungsi
PC/laptop ataupun tablet sebagai reader. Maka, faktor fatigue dan ketaktelatenan akibat kekurangnyamanan dalam membaca
pun memberikan dampak lebih besar dalam hal penurunan daya baca masyarakat.
Lalu terciptalah suatu lingkaran
setan yang makin memperburuk keadaan: produsen informasi mulai terdorong
untuk menerbitkan bahan-bahan bacaan-
mereka sebut buku juga-dengan panjang tulisan yang jauh lebih pendek
demi memuaskan tuntutan gaya baru membaca buku (digital) ini. Sering kali
bahkan hanya terdiri dari belasan halaman. Jika sebelumnya Neil Postman, melalui bukunya yang berjudul Amusing Yourself to Death,
mengkhawatirkan generasi yang tak tahan kesusahpayahan belajar dan mencari
ilmu akibat terpaan teknologi audio-visual, kini apa yang ditakutkan Nicholas
G Carr tentang akan lahirnya generasi "orang-orang dangkal" (the shallows) makin tampak di depan
mata.
Nasib
industri penerbitan
Ada ancaman besar bahwa generasi
muda kita, meski memiliki keragaman
informasi, akan menderita kekurangan besar dalam hal kedalaman dan keluasan
ilmu (bukan sekadar informasi). Dan
hal ini membawa kita kepada diskusi tentang masa depan industri penerbitan di
masa digital.
Akan tetapi, sebelum sampai ke
sana, penting kita pahami sentralnya peran industri penerbitan dalam
peningkatan literasi masyarakat. Industri penerbitan pada dasarnya
menjalankan beberapa fungsi sekaligus. Pertama, fungsi kurasi, yakni
penyeleksian bahan-bahan bacaan yang dipandang layak untuk dilempar ke pasar
bebas gagasan. Dan di dunia digital masa depan, fungsi ini justru akan
menjadi makin krusial mengingat besarnya pasokan bahan bacaan, meskipun itu
hanya kita batasi dalam bentuk buku, yang akan membanjiri kita.
Seperti ditulis Michael Bhaskar
dalam kolomnya yang berjudul "The
Real Problem" (Publishers
Weekly, 14 April, 2016), jumlah
buku yang diterbitkan- dan ini hanya
mencakup buku cetak, jadi tak termasuk buku yang khusus diterbitkan dalam
bentuk digital, apalagi artikel-artikel yang bertebaran di internet -tak
pernah sebesar sekarang.
Di Inggris diterbitkan tak kurang
dari 200.000 judul buku per tahun. Di Tiongkok malah dua kali lipatnya, yakni
400.000 judul buku. Inilah benar-benar suatu masa yang di dalamnya terjadi
apa yang seperti dinubuatkan Marshall
Mc Luhan setengah abad lalu, disebut information
spill-over (peluberan informasi), bahkan banjir informasi. Masih terkait
dengan itu, industri penerbitan juga melakukan fungsi distribusi buku. Akan
ada lubang besar jika industri penerbitan di suatu negara mengalami kolaps.
Self
publishing,
yang menjadi jauh lebih mudah oleh teknologi aplikasi digital, tak akan bisa
melakukan tugas ini. Yang akan terjadi nantinya adalah konvergensi antara
penerbit buku yang secara alami juga melakukan fungsi distribusi, seperti
sekarang ini, dengan platform-platform digital penjualan buku yang sekaligus
melakukan fungsi kurasi dengan cara memperkenalkan fasilitas rating produk
dan display buku-buku dengan rating tertinggi di halaman muka (home) mereka. Bahkan, seperti yang
dilakukan Amazon, platform-platform penjualan online malah masuk ke fungsi
penerbitan.
Persoalannya, dengan adanya transformasi dari bentuk
cetak ke bentuk digital ini-meski saat ini dampaknya baru amat terasa pada
pengurangan kebutuhan (demand)
terhadap media massa cetak, lebih khususnya majalah-banyak orang percaya
bahwa industri buku pun tinggal menunggu waktu untuk mati. Kegairahan yang
saat ini terkesan tetap terpelihara terhadap industri buku cetak terjadi
berkat masih adanya lag antara konsumen buku cetak sekarang dan generasi
pembaca buku digital yang saat ini masih berumur muda, khususnya para digital
natives itu.
Namun, hal ini pun tak urung sudah
menghantam banyak penerbit relatif kecil yang sudah mulai berguguran pada
tahun-tahun terakhir ini. Toko-toko buku,
dengan alasan yang masuk akal, juga sudah mulai mengurangi ruang
display bagi buku dan memperbesar ruang bagi stationery dan produk-produk
lain. Dan dengan transformasi industri penerbitan ke era digital, meski-
dalam persaingannya dengan artikel-artikel yang bertebaran di internet-buku
dalam makna aslinya akan musnah.
Kolapsnya industri penerbitan buku
ini akan menjadi kenyataan jika industri penerbitan tak mau berubah,
lebih-lebih jika tak ada cukup dukungan dari pemerintah yang menyandang peran
pengembangan strategi pendidikan dan budaya yang kondusif bagi peningkatan
literasi-yakni literasi buku, dalam makna aslinya- di tengah masyarakat.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan kurikulum
baca-tulis-secara khusus, dan bukan
hanya sebagai bagian (lebih sering tidak serius) dari pelajaran bahasa
Indonesia-di sekolah-sekolah, mulai tingkat paling dasar hingga perguruan
tinggi. Juga melalui kampanye- kampanye gencar dan besar-besaran melalui
media massa ataupun pemanfaatan/pengembangan berbagai lembaga pendukung
literasi di tengah masyarakat, seperti
perpustakaan-perpustakaan, taman-taman bacaan, dan komunitas-komunitas
baca-tulis. Gerakan literasi yang baru-baru ini dilancarkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan kiranya bisa menjadi awal yang baik bagi
upaya-upaya lebih strategis dan masif ke arah ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar