Akademisi Islam dan Warisan Tragedi 65
Dharma Setyawan ; Dosen
dan Pegiat Cangkir Kamisan di Lampung
|
INDOPROGRESS, 22
April 2016
TULISAN
ini khusus didedikasikan untuk para akademisi dan aktivis Islam yang selama
ini diam saja melihat ketidakberpihakan akut terhadap persoalan-persoalan
sosial yang hadir di masyarakat kita. Terutama kalangan yang selama ini asyik
berimajinasi di ruang-ruang kampus—khususnya kampus Islam—tentang wacana
kesolehan ritualisme ibadah, tapi tidak merespon konflik-konflik sosial di
masyarakat dengan kesolehannya tersebut. Saya secara pribadi juga menyadari
tulisan ini sebagai bagian perbuatan ‘selemah-lemahnya iman’ melihat konflik
di masyarakat yang silih berganti. Seperti konflik agraria di Rembang Jawa
Tengah, yaitu melawan pabrik Semen; konflik Urut Sewu di Kebumen; Reklamasi
Teluk Benoa Bali dan Jakarta Utara’ Konflik register 45 di Mesuji; dan
sejumlah konflik yang banyak terjadi tetapi media tidak tertarik
mengangkatnya.
Tulisan
ini juga hendak menyoroti banyaknya para akademisi negeri ini yang bungkam
tentang persoalan Tragedi 1965 dan hubungannya dengan Islam. Sebagai muslim
saya menyadari bahwa negeri ini lahir atas perjuangan darah para syuhada,
kaum nasionalis dan juga komunis. Lewat amal perbuatan mereka, kita merasakan
betul arti kemerdekaan. Perjuangan Sarekat Islam (SI) sebagai kesadaran
muslim melawan kolonialisme Belanda tidak dapat dinafikan. Karena itu,
menurut saya, perpecahan dalam tubuh SI menjadi Islam Putih—cikal bakal
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)—dan Islam Merah—cikal bakal Partai
Komunis Indonesia (PKI) — bukan pertama-tama karena persoalan akidah.
Perpecahan itu lebih terutama disebabkan oleh perbedaan strategi dan taktik
dalam melawan kolonialisme Belanda untuk menuju Indonesia merdeka.
Bungkamnya Para Akademisi
Tak
dapat disangkal bahwa Peristiwa 65 telah menjadikan arah cita-cita revolusi
bangsa ini terbalik 180 derajat. Sidarto Danusubroto, anggota Dewan
Pertimbangan Presiden, menyebut peristiwa itu sebagai efek Perang Dingin
antara blok Timur dan blok Barat. Tapi bagaimana Perang Dingin ini dimaknai
oleh intelektual dalam negeri, sangat menyedihkan. Ruang-ruang kelas sepi
dari pembahasan tentang topik yang begitu besar peranannya dalam mengubah
arah kemudi perjalanan bangsa ini.
Celakanya,
ribuan akademisi dan aktivis muslim di negeri ini, yang notabene adalah
kelompok mayoritas, masih menganggap tragedi 65 sebagai semata persoalan
konflik agama dan politik biasa. Peristiwa 65 dianggap murni pertarungan
ideologi tanpa ada campur tangan Barat dalam menjinakkan Soekarno, tokoh
nasionalis, dan juga Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai musuh bebuyutan.
Lebih menyedihkan, mereka bungkam, bahkan mungkin mengiyakan, tindakan
militer yang – dengan dalih terbunuhnya 7 Jenderal – mengorkestrasi
pembantaian tiga juta rakyat tanpa dosa di kampung-kampung seluruh pelosok
negeri ini.
Studi-studi
dan kesaksian-kesaksian para korban yang selamat dari kekejian rezim Orde
Baru (Orba), bahkan menunjukkan bahwa sebagian dari kalangan akademisi ini
ikut menjadi interogator dan eksekutor dari mereka yang dituduh PKI. Tetapi
fakta yang paling nyata bahwa setelah Peristiwa 65 itu, para akademisi ini
kemudian secara beramai-ramai menaiki gerbong kereta Orba. Mereka menjadi
penasehat, birokrat, teknokrat, juru tulis, dan juru bicara rezim baru
tersebut. Memang terdapat segelintir akademisi yang tetap mempertahankan
sikap kritis mereka, tetapi mayoritasnya memilih untuk mengabdi dan membela
tatanan dan nilai-nilai Orba.
Akademisi
Islam dan Kiri bersatulah!
Dalam
perhelatan Simposium Tragedi 65 beberapa hari yang lalu, muncul kesaksian
terbaru dari Imam Aziz, Ketua Bidang Kebudayaan dan Hubungan antar Umat
Beragama PBNU. Menurut kesaksiannya, tidak pernah ada perintah dari Kyai NU
untuk membunuh para petani—yang dilabeli komunis. Bahkan kader-kader NU
dipaksa oleh militer Orde Baru untuk membunuh. Jika tidak menuruti perintah
maka mereka yang akan dibunuh. Membaca kesaksian ini, saya akhirnya baru
menyadari, menjadi seorang Gus Dur –saat meminta maaf kepada korban 65—adalah
perbuatan yang sungguh tidak mudah, sebuah keberanian yang tinggi. Gus Dur
yang tidak ikut melakukan pembunuhan itu menyadari dengan rendah hati dan
melakukan permintaan maaf atas tindakan kelompok manusia yang dipaksa oleh
rezim keji.
Kita
juga mengetahui bahwa beberapa warga Muhammadiyah juga melakukan kekerasan
tersebut di beberapa daerah. Walaupun kita juga melihat banyak Kyai yang
menyelamatkan anak-anak korban 65, kemudian dididik di pondok pesantren
mereka. Begitu juga dengan warga Muhammadiyah yang menyelamatkan mereka yang
menjadi korban 65, kelak mereka dijuluki‘Marhenisme Muhammadiyah’ (Marmud).
Saya
berpendapat, persoalan 65 bukan saja soal kebencian militer terhadap PKI,
tapi juga kebencian rezim Orde Baru kepada para Soekarnois serta gerakan
rakyat yang sadar politik dan terorganisir. Sidarto sebagai saksi hidup
melihat itu sebagai kebencian yang nyata. Walaupun dia memiliki background
seorang purnawirawan polisi, dia menyaksikan bahwa Orde Baru tidak hanya
menghabisi PKI tapi juga menghabisi pengikut Soekarno atau para loyalis
Soekarno.
Menyadari
kenyataan ini, kita harus berfikir jernih untuk bisa membedakan mana kawan
dan mana lawan? Mana kekuasaan yang keji dan mana korban? Perdebatan 65 bukan
hanya persoalan PKI, ada banyak nyawa yang hilang tanpa tahu apa salahnya.
‘Gebyah Uyah’ oleh rezim Orba kepada PKI dan pengikut Soekarno, hanya menjadi
titik awal dari sebuah proses panjang penjarahan kekayaan sumberdaya alam
kita. Pasca Peristiwa 65, emas, minyak, gas alam, batu bara dan lainnya,
jatuh di makan oleh kapitalisme global yang sejak lama menjadi musuh Soekarno
dan juga PKI.
Dan
untuk kepentingan keberlanjutan penjarahan itu, kekuatan rakyat yang
terorganisir harus ditumpas. Demikian juga intelektual-intelektual kritis
harus disingkirkan. Terbukti, menyusul peristiwa 65 dan sesudahnya, terjadi
pemberangusan terhadap para intelektual kiri yang terdiri dari politisi,
dosen, guru, insinyur, dan seniman. Kampus-kampus kemudian dibersihkan dari intelektual
kiri. Di kampus UGM, misalnya, terdapat setidaknya 115 dosen beraliran kiri
yang ditendang, Universitas Padjajaran 25 dosen, IKIP Bandung 17 Dosen,
Universitas Diponegoro 17 dosen, Universitas Hasanuddin 95 dosen dan ribuan
mahasiswa yang tidak terhitung. (Abdul Wahid: 2015). Setelahnya, dunia kampus
kemudian melakukan pembersihan kurikulum yang bertendensi kiri dan diganti
dengan kurikulum yang beroreintasi pada pembangunan kapitalistik. Dan ini
semua masih berlangsung hingga kini.
Apa
dampak dari pemberangusan intelektual dan pemikiran kiri ini? Harian Kompas
(20/04) baru saja memberitakan soal tingkat literasi penduduk Indonesia yang
sangat rendah, yaitu peringkat 60 dari 61 negara. Peringkat tertinggi adalah
Finlandia dengan literasi 6 jam perhari, sedangkan Indonesia hanya 2 jam
per-hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemberangusan itu telah menyebabkan
tingkat membaca negeri ini memang sangat rendah.
Dari
rangkaian persoalan ini, akademisi Islam kita perlu beranjak ke hal-hal yang
lebih substantif terkait peranya dalam merespon konflik sosial di sekitar dan
terlelebih lagi dalam upaya meluruskan proses sejarah bangsa ini. Kampus
diharapkan tidak lagi melakukan diskriminasi terhadap buku-buku bacaan
akademik dari berbagai perspektif pemikiran. Kebebasan akademik harus
menjamin semua warga kampus untuk membincangkan semua persoalan. Diskriminasi
terhadap referensi pada akhirnya akan mengakibatkan diskriminasi terhadap
kesimpulan. Jangan sampai akademisi kita mengulang kejahatan intelektual
seperti yang dilakukan Prof. Aminuddin Kasdi, Guru Besar di Universitas
Negeri Surabaya (UNESA)— yang ikut mendukung pembakaran buku Revolusi Agustus
karya Soemarsono. Kisah kelam pembakaran buku telah lama dialami oleh bangsa
ini sejak perdebatan ideologi mengiringi proses pencarian jati diri bangsa
ini pasca kemerdekaan. Pembakaran buku sejatinya adalah pengkhianatan
terhadap proses tumbuhnya intelektualisme di negeri ini.
Kampus-kampus
Islam perlu membuktikan secara nyata konsep-konsep Islam transformatif, Islam
progresif, Islam Nusantara sampai Islam Berkemajuan di lapangan sosial.
Jargon-jargon yang selama ini dimunculkan di mimbar-mimbar akademik harus
mendarat ke daratan konflik dan menuntaskan persoalan rakyat kecil, yang
sejatinya mereka adalah warga yang mayoritas beragama Islam. Membenturkan
intelektualisme Islam dengan intelektualisme kiri, hanyalah wujud kegagapan
para akademisi kita. Mereka belum menyadari bagaimana Islam dan Komunisme
telah lama digebuk oleh Kapitalisme Global dan antek-anteknya di dalam
negeri. Mereka diadu domba untuk saling menegasikan. Komunisme disamakan
dengan Atheisme dan karenanya adalah haram jadah.
Kebiasaan
untuk mudah menyesatkan pihak yang berbeda ini, tampaknya masih terus
berlangsung hingga saat ini. Para akademisi Islam hari ini masih banyak yang
ikut menghakimi kelompok Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, dan aliran yang dianggap
sesat lainnya tanpa menggunakan perspektif akademis yang dapat
dipertanggungjawabkan. Inilah warisan nyata dari Peristiwa 65 di dunia
akademik kita.
Simposium
Tragedi 1965 karenanya, menurut saya, bisa menjadi momentum bagi para
akademisi Islam negeri ini untuk mulai membuka diri dan meluaskan
pemahamannya tentang sejarah bangsa kita yang begitu kelam. Akademisi Islam
kita perlu membaca portal-portal online yang memberi pencerahan dari berbagai
perspektif, misal indoprogress.com, islambergerak.com, pindai.org, atau
literasi.co dan lain-lainnya. Akademisi Islam kita juga penting untuk
menonton film dokumenter The Act of Killing dan The Look of Silence, yang
dibuat Joshua Oppenheimer dari penelitian pascadoktoralnya di Central Saint
Martins College of Art and Design, University of The Arts London. Proses
pembuatan film itu berlangsung selama 7 tahun, dimana Joshua hidup bersama
para pelaku pembunuhan dan keluarga korban. Film ini mempertemukan pelaku dan
keluarga korban secara sadar pada pembuatan film dokumenter tersebut.
Kita
harus membuktikan bahwa Islam yang membumi, yang membangkitkan perlawanan
atas ketidakadilan adalah ajaran yang dibahwa oleh para Rosul dan Anbiya.
Islam tidak hanya asyik membangun argumen melangit dan menolak hadir di
tingkat akar rumput, berkubang lumpur untuk memecahkan persoalan. Perlawanan
terhadap perusahaan jahat yang banyak menjarah tanah rakyat kecil, dan atas
kejahatan negara yang tunduk pada keinginan perusahaan adalah salah satu
jihad penting. Perusahaan yang seringkali menuduh rakyat kecil yang menuntut
hak tanahnya adalah gerakan komunis, harus dilawan oleh akademisi Islam kita
sebagai bentuk pembelaan terhadap mereka yang lemah.
Maka,
bersatulah para intelektual Islam dan kiri negeri ini untuk melawan
kapitalisme global dan antek-antek domestiknya. Kita harus bersatu untuk
melawan politik devide et impera yang mereka lakukan tanpa kenal lelah.
Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan Joshua
Oppenheimer, “ada perbedaan nyata antara lupa, tidak tahu, dan tidak peduli.
Dan kita harus terus-menerus melawan ketiganya.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar