Kamis, 28 April 2016

Rekonsiliasi

Rekonsiliasi

Maria Hartiningsih  ;   Wartawan;  Penulis
                                                        KOMPAS, 27 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Untuk yang hidup dan yang mati, kita harus bersaksi.”   Elie Wiesel

Abad ke-20 bisa dikenang sebagai abad penuh kekejian. Selain "solusi akhir" dan holocaust, ada ladang pembantaian di Kamboja, genosida di Rwanda, "dirty war" di Argentina, dan politik apartheid di Afrika Selatan. Di Indonesia, pembunuhan massal pasca 30 September 1965 dan dehumanisasi setelah itu menambah panjang daftar kebrutalan.

Lembar paling hitam dalam sejarah Indonesia itu adalah tragedi, karena menghancurkan nalar. Saat itu, hanya ada dua pilihan dalam konflik vertikal yang secara sistematis berubah menjadi konflik horizontal: dibunuh, kalau dianggap komunis atau simpatisan, atau membunuh, supaya tidak dianggap komunis. (Roosa, 2006, Budiawan 2014). Pembunuhan massal terjadi serentak di Jawa, Bali, dan beberapa wilayah di Indonesia dengan pembiaran oleh negara.

Peristiwa pelanggaran HAM berat itu merupakan dasar paling dasar dari seluruh identitas dan definisi apa pun tentang Indonesia. Dia bukan satu-satunya penyebab, melainkan induk dari penyebab lain yang menjelaskan berbagai hal setelah itu, termasuk tata-sosial, akademi, agama, moralitas, dan penjara kita (Ariel Heryanto, Kompas, 2/8/15).

Arus utama

Statistik menjadi indikator kerusakan fisik akibat kekejian itu meski angka mereduksi banyak hal dan tak bisa mengukur dampak kebrutalan, terutama kerusakan psikologis korban dan keluarganya serta kerusakan struktural di masyarakat. Jumlah korban menjadi sangat politis, tergantung siapa yang bicara.

Itulah yang ditengarai pada pembukaan Simposium Nasional Membedah Tragedi 765 dari Pendekatan Kesejarahan, di Jakarta, 18-19 April 2016. Pendekatan kesejarahan sangat penting karena berarti ada kesadaran tidak ada kebenaran tunggal dalam sejarah. Yang berbahaya adalah pemaksaan kebenaran tunggal oleh pihak yang kuat.

Simposium itu menarik karena diselenggarakan pemerintah untuk pertama kalinya setelah 50 tahun, dan memberi secuil harapan untuk kemungkinan penyelesaian. "Rekonsiliasi" menjadi titik pijak simposium.

Ironisnya, simposium dibuka dengan penolakan negara untuk minta maaf. Ungkapan penerimaan korban, "sing uwis ya uwis", atas apa yang sudah terjadi terhadap dirinya, bergema, tetapi diucapkan oleh pihak yang berkuasa pasca tragedi.

Pemikiran arus utama tentang impunitas masih dominan, dengan munculnya wacana yang mengabaikan ingatan personal dan kolektif korban, di samping meniadakan mekanisme hukum dan pengungkapan kebenaran. Padahal, seperti diungkapkan Prof Martha Minow dari Universitas Harvard (1998), impunitas atas pembunuhan massal berarti pelembagaan pelupaan yang mengorbankan keadilan.

Berbagai referensi menunjukkan, rekonsiliasi tak mungkin terjadi tanpa permintaan maaf. Permintaan maaf tak mungkin terjadi tanpa pengakuan dan pengungkapan kebenaran. Reparasi dan berbagai upaya terkait keadilan restoratif juga melibatkan permintaan maaf.

Tak memadai

Abad lalu juga menandai munculnya serangkaian upaya terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan diciptakannya berbagai instrumen internasional HAM, seperti pengadilan HAM, reparasi, komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Meskipun demikian, "The logic of law will never make sense of the illogic of genocide", begitu ditegaskan pakar isu holocaust, Laurence L Langer (1995). Hampir tak ada tindakan memadai untuk menanggapi kekejian yang melampaui batas nalar.

Namun, situasi akan lebih buruk tanpa tindakan kolektif apa pun (Minow 2002). Kata pepatah Rusia, "Menggali masa lalu membuatmu kehilangan satu mata, melupakan masa lalu membuatmu kehilangan dua mata."

Kekejian dalam pembunuhan massal yang terus disangkali menjadi bagian dari kondisi kejiwaan manusia dan masyarakat. Jurnalis AS, Tina Rosenberg, menulis, "Pelajaran yang kudapat dari banyak negara, bukan urusan dengan masa lalu, karena masa lalu tetap bersama mereka."

Rosenberg (1996) melanjutkan, "Yang dibutuhkan, bukan ingatan tetapi mengingat, tidak mengambil gambar utuh, tetapi suatu proses dinamis yang menghubungkan sekaligus memilah potongan-potongan masa lalu dengan masa kini. Yang diperlukan adalah proses menafsirkan apa yang tidak masuk akal dan merangkai yang tidak dapat disatukan, untuk memisahkan yang tidak bisa diputus dari masa sekarang maupun masa depan."

Upaya rekonsiliasi di Afrika Selatan, meski banyak menjadi contoh, menyisakan ketegangan karena kedua pihak tak punya pilihan. Fokusnya pada kebenaran dan pendekatan moral, Ubuntu (seseorang menjadi pribadi melalui apa yang diperbuatnya pada orang lain).

Penolakan terhadap penuntutan itu dikritik keras. Perbuatan kriminal harus ditanggapi secara hukum meski hukuman tak selalu bersifat punitif. Yang terpenting dari proses itu adalah upaya mengembalikan hak-hak, martabat, dan harga diri korban.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Argentina hanya melibatkan elite dan meninggalkan korban. Proses rekonsiliasi Rwanda lumayan, tetapi masih menyisakan kategori biner "kami" dan "mereka". Kamboja adalah contoh terburuk.

Terminologi "rekonsiliasi" bermasalah ketika ditempatkan sebagai titik pijak. Dalam Konsep Satya Pilar, rekonsiliasi ditempatkan sebagai dampak dari seluruh upaya warga sipil dan komunitas korban selama 18 tahun setelah keruntuhan Orde Baru.

Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) menawarkan enam pilar: penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum, pengungkapan kebenaran dan pengakuan terhadap kebenaran tersebut, pemulihan martabat dan penghidupan korban, pendidikan dan dialog publik, pencegahan keberulangan melalui perubahan kebijakan dan pembaruan kelembagaan, serta partisipasi aktif korban dan penyintas. Pijakan itu kokoh karena bersifat komprehensif, tak bisa dipilih atau dipilah.

Akan tetapi, upaya apa pun tak mungkin menghapus pelanggaran yang sudah terjadi dan memperbaiki dampak kerusakan. Kaca yang dibanting berkeping-keping mustahil utuh kembali.

Meski demikian, kita bisa melakukan bagian kita. Ada cerita menarik terkait hal ini. Alkisah, seorang pemuda kota ingin mempermalukan si bijak dari suatu desa. Ia datang menggenggam seekor burung kecil. Di hadapan seluruh warga desa, dia berteriak, "Hai orang bijak, burung di genggamanku ini hidup atau mati?"

Kalau si bijak menjawab 'mati', dia akan melepaskan burung itu. Kalau jawabannya 'hidup', dia akan mencekik burung itu sampai mati.

Si bijak menjawab, "Nasib burung itu ada di tanganmu, anak muda."

Nasib dari nasib kita, ada di tangan kita; sebagai korban, pelaku, maupun penyaksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar