Rekonsiliasi
Maria Hartiningsih ; Wartawan; Penulis
|
KOMPAS, 27 April
2016
“Untuk
yang hidup dan yang mati, kita harus bersaksi.” Elie Wiesel
Abad ke-20 bisa dikenang sebagai
abad penuh kekejian. Selain "solusi akhir" dan holocaust, ada
ladang pembantaian di Kamboja, genosida di Rwanda, "dirty war" di
Argentina, dan politik apartheid di Afrika Selatan. Di Indonesia, pembunuhan
massal pasca 30 September 1965 dan dehumanisasi setelah itu menambah panjang
daftar kebrutalan.
Lembar paling hitam dalam sejarah
Indonesia itu adalah tragedi, karena menghancurkan nalar. Saat itu, hanya ada
dua pilihan dalam konflik vertikal yang secara sistematis berubah menjadi
konflik horizontal: dibunuh, kalau dianggap komunis atau simpatisan, atau
membunuh, supaya tidak dianggap komunis. (Roosa, 2006, Budiawan 2014).
Pembunuhan massal terjadi serentak di Jawa, Bali, dan beberapa wilayah di
Indonesia dengan pembiaran oleh negara.
Peristiwa pelanggaran HAM berat
itu merupakan dasar paling dasar dari seluruh identitas dan definisi apa pun
tentang Indonesia. Dia bukan satu-satunya penyebab, melainkan induk dari
penyebab lain yang menjelaskan berbagai hal setelah itu, termasuk
tata-sosial, akademi, agama, moralitas, dan penjara kita (Ariel Heryanto,
Kompas, 2/8/15).
Arus
utama
Statistik menjadi indikator
kerusakan fisik akibat kekejian itu meski angka mereduksi banyak hal dan tak
bisa mengukur dampak kebrutalan, terutama kerusakan psikologis korban dan
keluarganya serta kerusakan struktural di masyarakat. Jumlah korban menjadi
sangat politis, tergantung siapa yang bicara.
Itulah yang ditengarai pada
pembukaan Simposium Nasional Membedah Tragedi 765 dari Pendekatan
Kesejarahan, di Jakarta, 18-19 April 2016. Pendekatan kesejarahan sangat
penting karena berarti ada kesadaran tidak ada kebenaran tunggal dalam
sejarah. Yang berbahaya adalah pemaksaan kebenaran tunggal oleh pihak yang
kuat.
Simposium itu menarik karena
diselenggarakan pemerintah untuk pertama kalinya setelah 50 tahun, dan
memberi secuil harapan untuk kemungkinan penyelesaian.
"Rekonsiliasi" menjadi titik pijak simposium.
Ironisnya, simposium dibuka dengan
penolakan negara untuk minta maaf. Ungkapan penerimaan korban, "sing
uwis ya uwis", atas apa yang sudah terjadi terhadap dirinya, bergema,
tetapi diucapkan oleh pihak yang berkuasa pasca tragedi.
Pemikiran arus utama tentang
impunitas masih dominan, dengan munculnya wacana yang mengabaikan ingatan
personal dan kolektif korban, di samping meniadakan mekanisme hukum dan
pengungkapan kebenaran. Padahal, seperti diungkapkan Prof Martha Minow dari
Universitas Harvard (1998), impunitas atas pembunuhan massal berarti
pelembagaan pelupaan yang mengorbankan keadilan.
Berbagai referensi menunjukkan,
rekonsiliasi tak mungkin terjadi tanpa permintaan maaf. Permintaan maaf tak
mungkin terjadi tanpa pengakuan dan pengungkapan kebenaran. Reparasi dan
berbagai upaya terkait keadilan restoratif juga melibatkan permintaan maaf.
Tak
memadai
Abad lalu juga menandai munculnya
serangkaian upaya terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan
diciptakannya berbagai instrumen internasional HAM, seperti pengadilan HAM,
reparasi, komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Meskipun demikian, "The logic
of law will never make sense of the illogic of genocide", begitu
ditegaskan pakar isu holocaust, Laurence L Langer (1995). Hampir tak ada
tindakan memadai untuk menanggapi kekejian yang melampaui batas nalar.
Namun, situasi akan lebih buruk
tanpa tindakan kolektif apa pun (Minow 2002). Kata pepatah Rusia,
"Menggali masa lalu membuatmu kehilangan satu mata, melupakan masa lalu
membuatmu kehilangan dua mata."
Kekejian dalam pembunuhan massal
yang terus disangkali menjadi bagian dari kondisi kejiwaan manusia dan
masyarakat. Jurnalis AS, Tina Rosenberg, menulis, "Pelajaran yang
kudapat dari banyak negara, bukan urusan dengan masa lalu, karena masa lalu
tetap bersama mereka."
Rosenberg (1996) melanjutkan,
"Yang dibutuhkan, bukan ingatan tetapi mengingat, tidak mengambil gambar
utuh, tetapi suatu proses dinamis yang menghubungkan sekaligus memilah
potongan-potongan masa lalu dengan masa kini. Yang diperlukan adalah proses
menafsirkan apa yang tidak masuk akal dan merangkai yang tidak dapat
disatukan, untuk memisahkan yang tidak bisa diputus dari masa sekarang maupun
masa depan."
Upaya rekonsiliasi di Afrika
Selatan, meski banyak menjadi contoh, menyisakan ketegangan karena kedua
pihak tak punya pilihan. Fokusnya pada kebenaran dan pendekatan moral, Ubuntu
(seseorang menjadi pribadi melalui apa yang diperbuatnya pada orang lain).
Penolakan terhadap penuntutan itu
dikritik keras. Perbuatan kriminal harus ditanggapi secara hukum meski
hukuman tak selalu bersifat punitif. Yang terpenting dari proses itu adalah
upaya mengembalikan hak-hak, martabat, dan harga diri korban.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
di Argentina hanya melibatkan elite dan meninggalkan korban. Proses
rekonsiliasi Rwanda lumayan, tetapi masih menyisakan kategori biner
"kami" dan "mereka". Kamboja adalah contoh terburuk.
Terminologi
"rekonsiliasi" bermasalah ketika ditempatkan sebagai titik pijak.
Dalam Konsep Satya Pilar, rekonsiliasi ditempatkan sebagai dampak dari
seluruh upaya warga sipil dan komunitas korban selama 18 tahun setelah
keruntuhan Orde Baru.
Koalisi Keadilan dan Pengungkapan
Kebenaran (KKPK) menawarkan enam pilar: penegakan integritas Indonesia
sebagai negara hukum, pengungkapan kebenaran dan pengakuan terhadap kebenaran
tersebut, pemulihan martabat dan penghidupan korban, pendidikan dan dialog
publik, pencegahan keberulangan melalui perubahan kebijakan dan pembaruan
kelembagaan, serta partisipasi aktif korban dan penyintas. Pijakan itu kokoh
karena bersifat komprehensif, tak bisa dipilih atau dipilah.
Akan tetapi, upaya apa pun tak
mungkin menghapus pelanggaran yang sudah terjadi dan memperbaiki dampak
kerusakan. Kaca yang dibanting berkeping-keping mustahil utuh kembali.
Meski demikian, kita bisa
melakukan bagian kita. Ada cerita menarik terkait hal ini. Alkisah, seorang
pemuda kota ingin mempermalukan si bijak dari suatu desa. Ia datang menggenggam
seekor burung kecil. Di hadapan seluruh warga desa, dia berteriak, "Hai
orang bijak, burung di genggamanku ini hidup atau mati?"
Kalau si bijak menjawab 'mati',
dia akan melepaskan burung itu. Kalau jawabannya 'hidup', dia akan mencekik
burung itu sampai mati.
Si bijak menjawab, "Nasib
burung itu ada di tanganmu, anak muda."
Nasib dari nasib kita, ada di
tangan kita; sebagai korban, pelaku, maupun penyaksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar