Deradikalisasi dan Perdamaian
Andi Faisal Bakti ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Pancasila
|
KOMPAS, 26 April
2016
Peristiwa penyanderaan 10 warga
negara Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina, yang dalam beberapa
minggu ini jadi sorotan publik, telah memunculkan usulan dari berbagai pihak
agar pemerintah mengambil jalan negosiasi.
Salah satu opsinya pelibatan Umar
Patek dalam negosiasi dengan Abu Sayyaf. Umar Patek dianggap figur yang layak
jadi negosiator karena sebelumnya pernah melatih milisi Abu Sayyaf dan MILF
atau Front Pembebasan Islam Moro di Filipina selatan pada 2006. Ia juga salah
satu terpidana kasus terorisme yang relatif dianggap berhasil dalam program
deradikalisasi yang dibuat pemerintah.
Dalam kasus penyanderaan WNI oleh
Abu Sayyaf, pelbagai cara dapat ditempuh guna mencari jalan terbaik
pembebasan. Hal ini relevan ketika warga binaan hasil program deradikalisasi
di lembaga pemasyarakatan (lapas) dijadikan jembatan bagi perdamaian. Tentu
tak hanya kasus penyanderaan, tetapi juga dapat diterapkan dalam skala yang
lebih luas terkait penanggulangan terorisme. Melihat realitas ini, program
deradikalisasi yang saat ini tengah gencar dilakukan mesti diperkuat guna menghasilkan
"Umar Patek-Umar Patek" lain sehingga dapat meng-counter ancaman
terorisme yang masih menghantui bangsa ini.
Jika ditilik secara historis,
deradikalisasi telah dimulai sekitar satu setengah dekade lalu, ketika tim
Densus 88 dianggap tidak mampu menggali lebih dalam keterangan dari para
tersangka terorisme. Pada waktu itu, Densus 88 menggunakan cara-cara yang
kurang lebih sama dengan apa yang diterapkan aparat Orde Baru yang represif.
Karena cara itu dirasa tidak cukup ampuh dalam proses pengungkapan, kemudian
muncul deradikalisasi yang dilakukan dengan cara yang lebih personal dan
humanis. Deradikalisasi sendiri dimaknai sebagai proses sosial dan
psikologis, yang menekankan pada komitmen individu, sehingga keterlibatannya
dalam aksi kekerasan dapat dikurangi hingga batas yang tidak berisiko
(Horgan, 2009).
Namun, harus diakui, program
deradikalisasi yang ada dan sudah berjalan hingga kini tidaklah mudah
dilakukan. Deradikalisasi memerlukan kesabaran ekstra karena yang dihadapi
adalah manusia, bukan mesin. Karena itu, mesti dilakukan secara utuh,
integratif, dan berkesinambungan.
Ada pertanyaan yang menggantung
terkait masalah ini: apakah bisa teroris yang terjerat radikalisasi dapat
dicairkan dengan program deradikalisasi? Apakah individu yang jadi teroris
dapat jadi warga biasa yang damai?
Menanggapi pertanyaan itu, Bjorgo
dan Horgan dalam bukunya Leaving Terorism Behind: Individual and Collective
Disengagement (2009) menjawab dengan optimistis. Dijelaskan bahwa
deradikalisasi dapat mengubah nilai-nilai dan ide yang telah menjadikan
seseorang radikal. Ketika hal itu terwujud, jalan damai dapat muncul sebagai
alternatif penyelesaian. Selain itu, penelitian Bjorgo dan Horgan
menunjukkan, pelaku teror yang nilai-nilai dan idenya berubah akhirnya memutuskan
meninggalkan jalan kekerasan dan aksi teror untuk selamanya.
Dalam konteks Indonesia, program
deradikalisasi relatif berjalan meski belum maksimal. Beberapa nama yang
tadinya berkutat dalam pemikiran dan aksi terorisme berhasil disadarkan dan kembali
ke pangkuan republik ini. Sebutlah seperti Umar Patek, Abu Tholut, Abdul
Rahman, Ali Fauzi, Khorul Ghazali, Tony Togar. Mereka yang telah
dideradikalisasi diharapkan dapat jadi transmiter perdamaian bagi para
teroris lain yang belum berubah ideologi radikalnya.
Penanganan
holistik
Titik permasalahan kasus terorisme
yang kerap muncul di berbagai negara adalah terkait efektivitas pengukuran
program deradikalisasi. Beberapa metode deradikalisasi, meskipun dinilai
menunjukkan sejumlah keberhasilan, tetapi tidak dapat dipukul rata untuk
semua negara. Berdasarkan pengalaman negara-negara yang menerapkan program
deradikalisasi untuk narapidana kasus terorisme, belum diperoleh gambaran
akan sebuah model yang baku. Karena itu, program deradikalisasi haruslah
bersifat spesifik dan holistik sesuai kebutuhan masing-masing negara.
Pelaksanaan deradikalisasi di
Indonesia sendiri telah dirumuskan dalam rangkaian program utuh, integratif,
dan berkesinambungan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang merupakan
institusi induk penanganan teroris hingga 2016 telah mengupayakan
deradikalisasi dan pengategorisasian tingkat radikal bagi 204 narapidana
teroris yang berada di 47 lapas yang tersebar di 13 provinsi.
Berdasarkan rumusan BNPT (2013),
ada empat tahapan utama dalam deradikalisasi: identifikasi; rehabilitasi;
reedukasi; dan resosialisasi. Identifikasi dilakukan untuk memetakan
identitas individu, kelompok, dan keluarga yang terindikasi radikal dan eks
napi teroris (anti damai).
Rehabilitasi dimaknai sebagai
upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan
kekerasan kepada orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran.
Reedukasi dimaksudkan sebagai
upaya untuk memberikan pemahaman ulang terhadap napi teroris dan keluarganya
tentang ajaran agama yang damai.
Dan, terakhir adalah
resosialisasi, yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan napi
teroris dan mantan napi teroris serta keluarga agar hidup dengan masyarakat
berdasarkan nilai dan tatanan hidup yang baik, saling menghargai dan penuh
kedamaian.
Akhirnya, program deradikalisasi
yang tengah gencar dilakukan secara integratif dan holistik dengan melibatkan
beberapa lembaga negara, kementerian, dan unsur masyarakat, diharapkan dapat
menemukan format yang tepat dalam menangani terpidana kasus terorisme. Meski
demikian, deradikalisasi bukan saja dapat memberi perubahan secara
psikologis, tetapi juga dapat menghasilkan perubahan sosial dan menciptakan
perdamaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar