Buramnya Ideologi Jokowi
Arifki ; Pengamat
Politik
|
HALUAN, 02 Maret
2016
Fenomena kepemimpinan
Jokowi pasca reformasi menjadi menarik untuk diulas dan dikaji dari sudut
kacamata politik. Sebagai tokoh yang munculnya tidak disangka-sangka pada
gelanggang politik nasional Jokowi telah menunjukan kemahirannya sebagai agen
politik poros tengah yang mengakomodasi semua kepentingan.
Langkah politik yang dilakukan Jokowi
seperti itu ditunjukan dengan mudahnya ia mengalahkan lawannya tanpa bersusah
payah menghabiskan energi untuk fokus mencari strategi. Dengan memanfaatkan
poros yang sudah ada oposisi dan koalisi Jokowi membenturkannya untuk
bertarung memperebutkan kepentingannya masing-masing. Perbenturan itu
malahan memerlihatkan kelemahan mereka yang pada akhirnya Jokowi kembali
menjadi titik fokus yang pantas dianggab “bintang” ranah politik.
Selama menjabat Jokowi berhasil menunjukan
terhadap publik dirinya tidak berada pada kendali golongan atau orang kuat
yang melemahkan posisinya sebagai presiden. Pertama, kasus Setya
Novanto (SN) beberapa waktu lalu yang menjadi perbincangan publik, Jokowi
berhasil menghadap-hadapkan orang-orang yang memiliki kepentingan besar
terhadap Freefort yang membuka aib sendiri impaknya SN berhenti menjadi ketua
DPR. Tanpa harus melawan secara langsung Jokowi berhasil menjadi penonton
bersama rakyat dan menunjukan ia tak terlibat dalam persekongkolan “penguasa
dan pengusaha”.
Kedua,
pada saat KPK mendapatkan posisi yang tak strategis sebagai lembaga anti korupsi
seperti kehadiran pimpinan baru KPK yang tidak mendapatkan kepercayaan
kuat oleh publik. Diperkuat lagi dengan gagalnya Johan Budi (JB) menjadi
Pimpinan KPK. Pada kondisi itu, posisi publik yang sedang mendesak Jokowi
dengan opini yang berkembang ditataran masyarakat. Jokowi bersikap dengan
mengambi JB sebagai juri bicara kepresidenan. Rekam jejak JB yang sangat
baik bersama KPK serta kepercayaan masyarakat sipil yang tinggi terhadapnya
Jokowi menunjukan keberpihakannya yang tak bisa melakukan banyak hal dengan
kekuatan partai yang tak bisa diajak berkompromi dengan mengangkat JB sebagai
jalur komunikasinya dengan masyarakat sipil.
Ketiga, mencuatnya tentang
revisi UU KPK yang umumnya didukung oleh partai pemerintah, Jokowi yang
disampingnya memiliki mantan pimpinan KPK (baca: Johan Budi) mengambil sikap
menolak revisi UU KPK. Dilain hal, partai pengusung Jokowi bersikeras untuk
melakukan revisi terhadap undang-undang ini. Jadi, terjadi perbenturan
sikap antara Jokowi dengan partai pengusung yang menyebabkan kebingungan.
Semaraknya gerakan penolakan revisi UU KPK, Jokowi memutuskan melakukan
penundaan terhadap revisi UU KPK sampai Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia mencapai 50 yang saat ini berada di angka 36.
Posisi kunci tentang penundaan revisi
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 adalah presiden dan DPR. Makanya, meskipun
DPR bersikeras melakukan revisi terhadap undang-undang ini maka presiden pun
memiliki peran terhadap di revisi atau ditolaknya undang-undang ini. Sesuai yang
diungkapkan Ketua KPK, Agus Raharjo undang-undang KPK memang belum mengalami
penyempurnaan. Dengan menunda 5-10 tahun ada harapan UU KPK untuk
dilakukan revisi. Pada tulisan ini membaca tentang gaya politik Jokowi yang
terus berada di poros tengah, dengan menunda melakukan revisi UU KPK Jokowi
tidak meyakiti poros parlemen dan juga masyarakat yang terus menolak revisi
UU KPK (22/2).
Secara politik Jokowi telah melakukan
langkah yang meneduhkan. Yakni politik yang tidak menyakiti kelas elit dan bawah
dengan dipilihnya menunda revisi UU KPK. Sebenarnya hal ini telah dibaca oleh
Partai Demokrat yang pada awalnya sepakat melakukan revisi UU KPK. Politik
yang cerdik pernah dilakukan Partai ini pada momentum Perpu Pilkada. Pada
konteks revisi UU KPK Jokowi berada diatas angin terpusatnya usaha melakukan
revisi UU KPK oleh parlemen setelah Jokowi menyatakan menudanya publik
mengarahkan perhatian pada sikap politik Jokowi.
Inilah yang dibaca Partai Demokrat sehingga
partai yang awalnya mendukung revisi UU KPK akhirnya memilih menolak.
Alasannya, Demokrat membaca upaya politik menjadikan Jokowi sebagai
pahlawan yang menolak atau pun menunda revisi UU KPK. Sehingga Jokowi
menjadi bintang yang menyelamatkan KPK. Sama halnya, langkah politik
Yudhoyono menjelang habis masa jabatannya dengan membelotnya Demokrat dengan
langkah Perpu Pilkada setelah itu Yudhoyono menjadi pahlawan yang menyepakati
kembali Pilkada secara langsung bukan melalui DPRD. Penerawangan politik
Partai Demokrat secara taktis bermuatan dengan strategi untuk pemilu 2019,
begitu juga dengan yang diambil oleh Partai Gerindra yang konsisten menjaga
garis oposisi.
Politik Jokowi yang menjadikan
partai-partai oposisi menyerah dan menyatakan sikap bergabung dengan partai
pemerintah merupakan politik Jokowi menganalisis peluang-peluang di lingkarannya.
Pola yang digunakan adalah dengan merangkul kepentingan-kepentingan yang
ada. Menyerahnya PAN, PPP dan Golar terhadap pemerintah menunjukan
kekuatan politik yang dimiliki Jokowi untuk memecah belah oposisi
terealisasi. Segala kebijakan yang dibuat Jokowi yang melibatkan koalisi tentunya
bukan hanya tanggungjawab Jokowi. Secara tidak langsung PDIP sebagai
partai pengusung utama (baca: kadernya) juga tidak ingin opini yang
terbentuk di masyarakat selama ini partainya telah berupaya membuat Jokowi
berjalan penuh dengan bayang-bayang orang lain. Kondisi partai pengusung
melakukan dukungan revisi UU KPK Jokowi memilih meminta menunda.
Menjelang tahun 2019 Jokowi menjaga keseimbangan
politik yang menjadikannya tidak terlalu berpihak pada gerbong oposisi atau
pun koalisi. Jokowi yang kenyataanya belum kuat di internal Partai Partai Pedukung
Pemerintah (P4), dengan melakukan politik poros tengah mendekat juga dengan
masyarakat sipil sebagai langkah Jokowi dilindungi dengan citra keberpihakan
bukan sebagai aktor yang merusak tatanan politik, hukum dan ekonomi selama
ini.
Sama halnya dengan Ahok pada saat keluar
dari Partai Gerindra, lebih memilih tetap menjadi independen tanpa bergabung
dengan partai lain. Sehingga ketergantungannya terhadap partai menjelang
Pilkada DKI, menjadikan partai-partai lain terus melakukan tarik-menarik
ingin menjadikan Ahok sebagai calon yang akan diusungnya. Ini lah modal
keseimbangan dalam menjaga kondisi politik sehingga politik poros
tengah yang sedang dilakukan Ahok dan Jokowi niscaya sama. Meskipun dari segi
komunikasi mereka berdua berbeda tim yang sedang bergerak memperjuangkan
mereka sama yakni JASMEW (Jokowi Advanced Social Media Volunteers).
Politik poros tengah yang sedangkan
dilakukan Jokowi, begitu juga dengan Ahok merupakan persiapan diri Ahok untuk
memenangkan Pilkada DKI 2017. Penantang politiknya cukup berat jika Ridwal
Kamil jadi hijrah politik dari Bandung menuju Jakarta. Bagi Ahok memenangkan
kursi Gubernur DKI Jakarta sangatlah penting baginya sebagai bahan pertimbangan
untuk diperhitungkan Jokowi sebagai wakilnya pada tahun 2019.
Gaya politik seperti ini sebenarnya tak
elok sebagai tauladan politik politisi atau pun keberadaannya ditengah-tengah
masyarakat. Alasannya, pragmatisme politik poros tengah menunjukan tidak
jelas ideologi yang sedang diperjuangkannya. Jokowi niscaya berada di
posisi yang memburamkan ideologinya sebagai Presiden dan kader partai,
pada suatu sisi menguntungkannya sebagai politisi tetapi disisi lain arah
politik yang sedang ia jalankan menimbulkan kebingungan masyarakat.
Jadi, sebagai politisi saya menyampaikan
apresiasi yang tinggi terhadap Jokowi, namun sebagai ideolog politik, Jokowi
masih mencoba-coba baju yang cocok untuk ia kenakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar