Kampus dan Tanggung Jawab Intelektualitas
Listiyono Santoso ; Pengajar
mata kuliah Etika dan Filsafat
di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 02 April
2016
KONON, ketika mendirikan
Academia, perguruan tinggi (kampus) modern pertama di abad ke-6 SM lalu,
Plato menuliskan kalimat "Propopuli Discimus" di pintu gerbangnya.
Konon juga, pengertian sederhananya adalah kita belajar untuk rakyat.
Arti secara filosofisnya adalah
kita belajar untuk menemukan kebenaran (keilmuan) dan diabdikan pada
kepentingan masyarakat luas. Aktivitas dalam perguruan tinggi tidak lain
merupakan perburuan kebenaran keilmuan dan pengabdian pada kehidupan umat
manusia. Tidak heran jika kampus selalu dipercaya menjadi pusat persemaian
intelektualitas yang berkontribusi pada dunia kehidupan kemanusiaan.
Itulah sebabnya, dari dalam
kampus terlahir berbagai produk pemikiran yang bermanfaat bagi pembentukan
peradaban kemanusiaan. Keberpihakan pemikiran dari dalam kampus adalah
keberpihakan pada nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis), dan keindahan
(estetis).
Konsep tridarma perguruan
tinggi adalah representasi dari korelasi praktik pendidikan dengan praksis
kehidupan. Karena itu, agak aneh jika kampus-kampus kita tiba-tiba ditengarai
justru melahirkan generasi radikal di dalamnya. Tengara munculnya
radikalisasi di kampus itu terungkap dalam hasil penelitian Anas Saidi dkk
dari LIPI yang berjudul Mahasiswa Islam
dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia.
Radikalisasi kaum terdidik
tersebut bisa dilihat dari penolakan mereka terhadap demokrasi, nilai-nilai
pluralitas, dan universalitas kemanusiaan. Cara berpikir yang demikian tentu
saja bersifat kontraproduktif dari cita-cita filosofis sebuah kampus. Alih-alih
menjadi persemaian intelektualitas, dunia kampus justru terjebak pada
disorientasi keberpihakan dan reduksi pemaknaan intelektualitas.
Intelektual(itas) merupakan
status sosial yang layak diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang
yang mempunyai komitmen untuk selalu berpihak pada kepentingan populer (baca:
rakyat). Meminjam terminologi Sindhunata (Basis, 2003), cara berpikir
intelektual itu tidak cupet, sempit, kerdil. Tapi harus bervisi panjang,
berani memikul tanggung jawab sosial yang menyeluruh sebagai panggilan
profesionalitas kaum intelektual.
Seorang intelektual tidak
mungkin mengidentifikasi dirinya dengan suatu "ideologi", apalagi
hanya kepentingan politik. Untuk menjalankan panggilannya, seorang
intelektual akan "sukses" bila ia berpihak pada humanisme,
solidaritas antar-anggota masyarakat, dan perjuangan hak-hak asasi yang penuh
toleransi dan anti kekerasan.
Persoalannya, di mana
intelektual kita ketika masyarakat kebingungan oleh ketidakjelasan konstelasi
politik nasional? Di mana mereka ketika masyarakat kian terjebak pada
materialisasi kehidupan? Konkretnya, peran apa yang sekarang dimainkan
intelektual kita ketika ketidakadilan sosial, ketidakpastian penegakan hukum,
dan perasaan tidak aman menimpa rakyat kecil?
Mansour Fakih (2002) secara
satire mengatakan bahwa kita tidak habis pikir bagaimana mungkin para
intelektual kita, yang dulu sekolah mereka disubsidi keringat rakyat, justru
memihak privatisasi. Serta sibuk mencari argumen untuk pembenaran terhadap
proses peminggiran rakyat kecil dalam setiap proses pembangunan.
Sudah selayaknya kampus-kampus
kita melakukan refleksi kritis terhadap proses pembelajaran dalam ruang-ruang
kelas. Jangan-jangan ada banyak teori yang diajarkan ternyata mendukung dan
melegitimasi terjadinya pelanggaran "moralitas publik".
Jika ada teori yang
berkesesuaian dengan fakta (berapa pun), benarlah teori tersebut. Dalam
konteks ini, benar apa yang dikatakan sosiolog Jerman Niklas Luhmann ketika
menamakan situasi tersebut dengan Legitimation durch Verfahren. Artinya,
sesuatu menjadi absah hanya karena prosedur formalnya terpenuhi. Karena itu,
menjadi wajar jika atas dasar alasan ini, banyak intelektual kita yang lebih
berpihak kepada kekuasaan ketimbang rakyat kecil. Bukankah mendukung
kekuasaan jelas memberikan konsesi pragmatis-ekonomis ketimbang harus
berpihak kepada rakyat kecil?
Berpihak pada Nilai
Klasik memang. Itulah realitas
intelektual(itas) kita. Intelektual tampaknya selalu dihadapkan pada
tarik-menarik antara mengambil jarak dan kekuasaan (mazhab Bendaian) atau
berpihak kepada kelas atau kelompok tertentu (Gramscian). Betapa susahnya
memosisikan peran intelektual dalam perubahan sosial.
Tapi, kita sepakat bahwa
intelektual merupakan komitmen publik untuk selalu berpihak pada nilai
kebenaran dan kejujuran. Intelektual, menurut Julien Benda (1997), harus
steril dari gairah-gairah kepentingan politik.
Intelektual yang turun
gelanggang, ia mengkhianati fungsinya karena demi memenangkan suatu gariah
realistis mengenai kelas, ras, atau bangsa. Keberpihakan intelektual adalah
keberpihakan pada nilai (value),
bukan pada kekuasaan duniawi.
Intelektual itu bukan hanya
kaum yang menggunakan pikirannya secara luas. Tapi juga berpihak pada
nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Intelektual yang demikian
adalah intelektual yang tidak hanya bekerja di belakang meja atau di
laboratorium, tapi juga -meminjam istilah Bourdieu- seseorang yang terlibat
aktif pada perjuangan kelompok-kelompok pinggiran atau yang dipinggirkan.
Intelektual yang sesungguhnya adalah bergumul bersama masyarakat untuk
mengubah sejarah umat manusia di kampung mereka masing-masing. Wallahu a'lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar