Solidaritas Sosial vs Pengetahuan Yang Apolitis
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar
Departemen Politik Universitas Airlangg;, PhD Candidate Asia Research Centre
Murdoch University
|
INDOPROGRESS, 18
April 2016
HINGAR
bingar politik Jakarta saat ini mulai memasuki momen krusial. Setelah
beberapa waktu lalu pemberitaan di media massa sarat dengan perbincangan
sebatas figur dan isu-isu bertendensi rasis (pri dan non-pri, muslim dan
non-muslim), kini agendanya mulai menyentuh aspek ekonomi-politik pembangunan
kota. Misalnya, terkait kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemda DKI itu
untuk tujuan apa dan melayani kepentingan siapa? Pelan-pelan mulai terkuak ke
permukaan hal yang semestinya sejak awal menjadi pertimbangan politik dari
segenap Warga Kota Jakarta dalam memilih pemimpinnya.
Bercermin
dari hampir delapan belas tahun perjalanan demokrasi di Indonesia, memang
sudah saatnya pertanyaan tentang kebijakan publik beserta watak kekuasaan dan
kepentingan yang menjadi daya pendorongnya menjadi agenda utama, baik dari
rakyat DKI Jakarta maupun daerah-daerah lainnya. Kita sudah harus
meninggalkan perbincangan untuk memilih pejabat publik berdasarkan isu-isu
SARA dan bias jender. Bukan hanya karena isu-isu seperti itu bersifat
sektarian dan diskriminatif, tetapi akan memalingkan kita dari problem pokok
masalah-masalah sosial-ekonomi, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial,
korupsi dan kekerasan-kekerasan komunal yang semakin marak akhir-akhir ini.
Sayangnya,
ketika kesadaran kritis rakyat miskin dan praktik solidaritas terhadap mereka
mulai mengemuka, kita dapati segelintir intelektual liberal yang
mengolok-olok atau mencibir sikap solidaritas dan belarasa tersebut. Sikap
yang tidak seharusnya keluar dari kalangan intelektual yang mengaku sebagai pejuang
demokrasi.
Di
bawah ini saya paparkan status beberapa gelintir intelektual itu. Pertama
cuitan Luthfi Assyaukanie dalam akun twitternya (12 April 2016:10.21 AM)
menyebutkan “Sesungguhnya para pembela
orang-orang miskin itu ingin melestarikan mereka tetap dan terus miskin”.
Kedua, cuitan dari Goenawan Mohamad yang bergaya kritis ala pasca-kolonial
mengatakan, “Siapa sebenarnya yang sah
mewakili orang miskin? Tidak mungkinkah mereka sendiri yang bicara? Can’t the subaltern speak?”. Kedua
kicauan ini kemudian diikuti oleh status facebook Saidiman Ahmad, “Memang ada orang yang memakai dalih
membela orang miskin tapi pada kenyataannya melestarikan kemiskinan. Orang
semacam itu tidak sedikit. Kritik mas Luthfi Assyaukanie banyak benarnya.
Tapi jika para ‘pembela kaum miskin’ tidak tahan kritik, itu lain perkara.“
Dalam
hal status yang diunggah oleh ketiga intelektual liberal di atas, yang
ditulis pada saat bersamaan ketika mulai bangkitnya kesadaran kritis warga
Jakarta untuk mempertanyakan beberapa kebijakan Pemda DKI, seperti
penggusuran kampung di Luar Batang dan kebijakan yang bermasalah secara
prosedur maupun substansi terkait Reklamasi Pantai Jakarta, bukan semata-mata
kritik namun sudah menjadi ledekan atau olok-olok. Saya katakan sebagai
olok-olok karena situasi kemiskinan yang sudah seharusnya dibela dalam
perspektif pengetahuan yang jujur, dipandang sebagai sebuah tindakan bodoh.
Lebih dari itu, ketiganya dengan sewenang-wenang menghakimi keabsahan
tindakan belarasa tersebut sebagai tidak lebih untuk memanipulasi rakyat
miskin dan melanggengkan kemiskinan itu sendiri..
Tulisan
ini berusaha membongkar kedangkalan cara berpikir mereka melihat perjuangan
sosial rakyat miskin dan hidup kolektif itu sendiri. Status yang kelihatan
canggih dan filosofis tentang olok-olok orang miskin tadi sebenarnya
menunjukkan bahwa mereka tidak paham betul tentang makna perjuangan kaum
miskin dan politik kolektivitas. Sebagai contoh, ketika Goenawan Mohamad
mendaur ulang ucapan Gayatri Chakravorty Spivak, jagoan pasca-kolonial yang
pertama kali memunculkan istilah Can
the Subaltern Speak?, ia secara jelas melepaskan konteks sejarah sosial
dari teori tersebut. Pandangan Spivak itu dicatutnya untuk melegitimasi
pemihakannya terhadap kebijakan gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
yang menggusur dengan paksa dan penuh kekerasan terhadap rakyat miskin
Jakarta.
Padahal
kita telaah lebih dalam, pertanyaan Spivak di atas berangkat dari problem
studi kajian pasca-kolonial di India, dimana ia menjadi salah satu
partisipannya. Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan kontroversi dalam ruang
publik intelektual India terhadap ritual bakar diri Sati yang memunculkan
kontroversi intelektual. Menurut Spivak, bahwa Dapatkah Kaum Subaltern Berbicara? muncul dari problem hierarkhis
pengetahuan dalam rezim diskursif akademik global. Kondisi-kondisi yang
membatasi orang-orang marjinal dan pinggiran di belahan Dunia Ketiga untuk
berbicara terjadi karena operasi hegemonik dari warisan proyeksi pengetahuan
kolonialistik dengan segenap kepentingan dari pusat-pusat kekuasaan
ekonomi-politik dan pengetahuan dari negeri metropolis. Sehingga hampir
seluruh upaya untuk mewakili kepentingan dari kaum marjinal akan terjebak
pada narasi logosentrisme oposisi biner, esensialistik dan beroperasinya
narasi eurosentrisme dan patriarkhi yang saling tumpang-tindih didalamnya.
Dengan kata lain, problem yang dimunculkan Spivak berangkat dari pertanyaan:
bagaimana membela orang marjinal yang berusaha diklaim oleh kalangan terdidik
yang dengan keistimewaannya di sisi lain, juga memperlihatkan kelemahannya
ketika bermaksud untuk menyuarakan kaum marjinal di hadapan bias-bias
pengetahuan eurosentris maupun patriakrhi.
Sementara
apa yang ditulis oleh ketiga intelektual di atas adalah meledek kelompok yang
membela orang miskin, ketika politik orang miskin dalam kerangka solidaritas
sudah mulai muncul. Kesadaran politik rakyat miskin ini ditandai oleh gugatan
mereka atas pengelolaan Kota Jakarta yang tidak berpihak pada kepentingan
mereka. Dalam kasus Goenawan Mohamad, misalnya, ia membelokkan argumen
Spivak, yang pada awalnya memiliki tujuan untuk membongkar narasi dominan
yang membatasi kondisi-kondisi kaum subaltern untuk bersuara menjadi
membatasi dan memangkas kebangkitan politik rakyat miskin dan marjinal lainya
yang menggugat kekuatan sosial dominan. Dengan demikian, ia memelintir teori
kritis itu menjadi konservatif.
Ini Soal Solidaritas Bukan
Klaim Representasi!
Yang
dilupakan oleh para intelektual pencibir orang miskin tersebut bahwa politik
orang miskin yang tengah tumbuh ini bukan dalam konteks munculnya orang dari
luar yang berusaha mewakili orang-orang miskin bagi kepentingan politik
mereka sendiri. Yang tengah muncul dalam narasi reclaim our city back adalah
tumbuhnya politik solidaritas yang terkait dengan persoalan sosial seperti
penggusuran, ketimpangan sosial, dan problem sosial ekologis sebagai problem
bersama; bahwa hal itu bukan saja terkait dengan perspektif sempit korban
pembangunan di lokasi wilayah penggusuran maupun reklamasi, namun terhubung
juga dengan kepentingan, hajat dan hak hidup dari Warga Kota Jakarta.
Persoalan penggusuran dan terpinggirkannya hajat hidup warga nelayan dan
korban gusuran, juga terhubung dengan kerisauan kolektif seluruh warga akan
ancaman banjir yang akan semakin besar seiring dengan penyempitan aliran
sungai paska reklamasi, rusaknya ekosistem wilayah sekitar ketika proyek
reklamasi dilakukan, terbatasnya akses orang-orang miskin dan kelas menengah
untuk memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut. Gerakan politik kaum miskin
ini adalah sebuah politik yang berusaha mempertautkan kepentingan dan
aspirasi dari politik kewargaan lintas kelas, lintas sektoral dan lintas
golongan, bukan persoalan representasi apalagi pemanfaatan perjuangan bagi
kepentingan orang-orang di luar korban.
Karenanya
para intelektual liberal di atas juga menunjukkan keterbatasan intelektual
mereka dalam memahami problem sosial, dimana kemiskinan adalah salah satu
pintu pembukanya. Mereka mengabaikan dua seruan strategis yang pernah
diungkapkan oleh Pope Fransiskus dalam ensikliknya tentang ketimpangan sosial
(social inequality) dan perubahan iklim (climate change): pertama, sudah
saatnya umat manusia sadar bahwa sebagai makhluk hidup keperluan dan aspirasi
hidup mereka saling terhubung dan saling terkoneksi satu sama lain. Hanya
solidaritas sosial yang bisa melestarikan kehidupan kita di planet ini.
Kedua, persoalan-persoalan sosial yang kita hadapi sebagai ummat manusia saat
ini adalah cermin dari ketidaksadaran tentang interkoneksi sosial hidup kita
dalam hubungan antara manusia dan lingkungan di mana mereka tinggal. Ini
terjadi karena pengetahuan yang didikte oleh perburuan akumulasi kapital bagi
kepentingan kaum-kaum terkaya telah membangun ilusi tentang kebebasan,
kebahagiaan dan kesejahteraan.
Dengan
demikian, celotehan mereka terhadap bangkitnya politik orang miskin adalah
celotehan pikiran paling konservatif dalam makna yang paling purba. Sebuah
penolakan terhadap tumbuhnya inisiatif bagi sebuah perubahan sosial yang
lebih maju; sebuah upaya untuk memangkas tumbuhnya solidaritas yang setara,
bukan hubungan hierarkhis yang saling memanipulasi; sebuah pengetahuan yang
mengabdi pada keadaan hidup yang saling terisolasi satu kelompok sosial
dengan kelompok lainnya, yang menghadirkan karakter kehidupan kota yang
saling menegasikan, ketika satu lapisan sosial berteriak hore pada “Pemimpin
Tegas” yang tidak segan-segan menggusur dan mencabut kelompok yang lain dari
habitus sosialnya; sebuah keadaan ketika kelas pekerja berjuang memperbaiki
kualitas hidupnya yang dicibir sebagai orang-orang malas yang tidak bisa
berhemat dan membuat jalanan macet.
Memang
dalam realitas sejarah sosial, reproduksi wacana kalangan intelektual yang
bekerja sebagai tukang bagi kelompok termapan, bukan hal yang baru. Dengan otoritas
pengetahuan yang mereka miliki melalui metode representasinya, mereka bekerja
untuk menaturalisasi kenyataan sosial yang kontradiktif, sehingga seakan-akan
kehidupan kita tidak memiliki persoalan terkait kekuasaan yang asimetris dan
kepentingan yang bekerja di balik proses politik. Dengan kuasa simbolik yang
mereka miliki melalui media massa, panggung-panggung utama kebudayaan dan
komunitas intelektual dominan, kelompok intelektual seperti ini membangun
pengetahuan yang apolitis dan tidak sensitif terhadap implikasi kekuasaan,
terutama bagi rakyat miskin. Bukan saja persetujuan kolektif melalui produksi
wacana yang coba dibangun agar masyarakat menerima berkuasanya modal atas
kehidupan bersama, namun dengan menjelaskan bahwa segenap praktik penggusuran
dan marjinalisasi warga kota sebagai hal yang bertujuan untuk memanusiakan
rakyat miskin, dan yang berusaha menggugatnya dituduh bukan hanya menungangi
rakyat miskin, tapi lebih dari itu, untuk tetap membuat rakyat miskin itu
tetap miskin. Kaum intelektual dominan seperti ini berusaha membangun
perspektif bahwa hal-hal yang merugikan bagi warga kota tersebut adalah hal
yang alamiah, sehingga meskipun kita tidak menyukainya, kita tetap harus
menerima dan beradaptasi dengannya.
Dengan
kedangkalan perspektif mereka dalam melihat masalah sosial, kemiskinan dan
problem perkotaan keseluruhan, sudah saatnya kedangkalan pengetahuan tersebut
dipertontonkan di hadapan publik, sehingga olokan dan cibiran itu seharusnya
di alamatkan kepada mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar