Mengelola Negara, Konsensus Washington dan Beijing
Gumilar Rusliwa Somantri ; Pengajar
di FISIP Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 25 April
2016
Kampung
Lemah Neundeut, Megamendung, Bogor, Jawa Barat, tidaklah makmur. Penduduk
setempat banyak yang miskin. Mereka umumnya petani penggarap atau bahkan
buruh tani yang hidup subsisten, berlindung dari sergapan pasar yang ganas
dan brutal di tengah ketidakberdayaan mereka.
Rumah-rumah
besar dan atau vila-vila di kawasan itu milik "tuan tanah perkotaan".
Mereka membeli lahan hak guna usaha, tanah negara yang terbengkalai atau
luput dari pengawasan perusahaan negara perkebunan teh, lalu pada era
reformasi tahun 2000-an dijarah warga. Area tersebut dikapling lengkap dengan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang untuk Pajak Bumi dan Bangunan. Kemudian
lahan dijual kepada warga kota, yang banyak di antaranya adalah para
pengusaha dan pejabat publik.
Jika
mereka menguasai lahan 10-15 hektar (dengan 2-3 pecahan) atau lebih, sungguh
menyedihkan karena dengan harga jual lahan setempat, mereka yang punya lahan
itu hanya cukup untuk membangun rumah gubuk pedesaan seadanya. Bayangkan data
nasional yang penting itu, tetapi jarang diungkap apabila kita masuk dalam
analisis. Konon, 65 persen aset RI berupa tanah, dan 87 persen dari tanah di
negeri kita dikuasai hanya 1 persen saja dari penduduk. Sungguh wajah
ketimpangan yang ekstrem!
Bagaimana
mengelola negara di tengah-tengah struktur yang demikian timpang? Ada dua paradigma pengelolaan negara yang
selama ini diterapkan sebagai model dan jadi rujukan bagi negara-negara di
dunia.
Pertama,
"konsensus Washington". Ia
menekankan peran dominan pasar
bagi suatu bangsa untuk meraih cita-cita bersama bernegara, yaitu
dalam rangka meraih kesejahteraan dan keadilan. Paradigma ini sangat sarat
muatan pengelolaan sosio-ekonomi market driven. Satu paket dalam paradigma
ini adalah komitmen pada ruang kebebasan berpendapat, demokrasi, peduli hak
asasi manusia (HAM), dan tanggung jawab lingkungan.
Kedua,
"konsensus Beijing", yang menekankan pengelolaan sosio-ekonomis state driven. Persinggungan bangsa
dengan kapitalisme ditandai hadirnya peran negara yang optimal, seperti
diperkuatnya korporasi-korporasi milik negara (BUMN). Namun, kebebasan
berpendapat, demokrasi, HAM, dan isu lingkungan menjadi agenda penting
sepanjang dianggap tidak kontraproduktif bagi upaya meraih cita-cita dalam
bingkai paradigmatik tersebut.
AS adalah negara adidaya yang sukses
mengelola sistem sosio-ekonomis negara dengan keberpihakan penuh pada peran
pasar. Sementara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah negara yang memelopori
pembangunan sosio-ekonomis dengan peran negara yang luas. Dan, "Negeri
Tirai Bambu" ini kini jadi kekuatan ekonomi kedua di dunia setelah AS.
Diprediksi RRT akan menyalip posisi AS kurang dari satu dekade mendatang.
Tiga bahan renungan
Paradigma
mana yang seyogianya kita ambil? Berikut beberapa catatan yang layak
dijadikan bahan renungan.
Pertama,
kita terjebak pada dilema konstitusional ketika berhadapan dengan realitas.
Konstitusi kita memang implisit menitikberatkan pada langkah imperatif negara
untuk meneguhkan keadilan sosial dan kesejahteraan warga negara, termasuk
memberdayakan warga negara kurang mampu, mengelola sumber daya demi
kemaslahatan bersama, serta mengurangi jurang kaya-miskin. Namun, konsentrasi
konstitusional tersebut acap tumpul ketika berhadapan dengan fakta intrusi
kapitalisme demikian luas dan masif.
Kedua,
kontur kedaulatan kita memang dibentuk oleh dua tekanan besar-eksternal dan
internal-yang mampu membelenggu pergerakan negeri ke arah lebih baik. Tekanan
eksternal berupa belantara rezim sosio- ekonomi dan politik global membuat
negeri ini hanya punya pilihan terbatas dalam menentukan nasib sendiri.
Namun, tekanan internal berasal dari struktur sosio-ekonomi kita yang
hiper-disparitik. Kebijakan negara dan pergerakan ritmis sosio-ekonomis
selalu dalam kaidah pelanggengan supremasi si kaya. Makin kaya seseorang,
makin sedikit upaya dilakukan, tetapi makin besar nilai tambah yang didapat.
Ketiga, visi dan kesadaran para pengelola negara
mengenai konstelasi dan kontur kontestasi yang acap tersamarkan dan terkubur
dalam labirin rutinitas serta
kepentingan pragmatis aneka kekuatan. Dalam kaitan ini, aturan main dalam
konteks negara hukum ditandai oleh sistem yang belum secara efektif mampu
mendorong dicapainya produktivitas progresif. Di sisi lain, kawah
candradimuka sosio-politik mandul dalam melahirkan pemimpin-pemimpin kuat,
visioner, dan andal dalam bingkai demokrasi yang disepakati bersama dan
diterima luas.
Dengan melihat tiga catatan di atas,
konsensus Washington dan Beijing sama mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Konsensus mana yang diambil, hasilnya tidak akan jauh berbeda sepanjang tiga
catatan di atas belum dipecahkan solusinya.
Singkat kata, solusi catatan pertama pada
dasarnya bagaimana kita berdaulat dari dalam dan luar. Hal ini ditempuh
dengan upaya sistematik dan sungguh-sungguh dalam mengurangi disparitas,
seperti pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah, reforma agraria,
pendidikan kreatif untuk membangun SDM kompetitif, dan menata berbagai posisi
negara di berbagai arena dalam rangka memperkuat kedaulatan secara
menyeluruh.
Solusi atas catatan dan masalah kedua adalah dibangun komitmen segenap komponen
bangsa untuk konsisten pada konstitusi. Namun, bangsa ini perlu pula segera
membangun kapasitas dalam mengelola berbagai persinggungan dengan dinamika
dan kekuatan pasar.
Tak kalah pentingnya, bangsa dan negara
perlu berkomitmen untuk membangun sistem politik demokratis yang jujur,
nir-prosedural, dan produktif dalam melahirkan pemimpin-pemimpin berkarakter nasional,
tetapi mumpuni pada dimensi global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar