Mencermati Dinamika Harga Minyak Dunia
Ronny P Sasmita ; Analis
Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
|
HALUAN, 01 Maret
2016
Beberapa waktu
lalu, departemen commodity strategy RBC
Capital and Global Markets pernah mengungkapkan tentang tiga skenario
kemungkinan harga minyak untuk tahun ini, terutama untuk varian WTI.
Pertama adalah skenario bullish di mana
terjadi pengurangan cadangan minyak yang mencapai 1 juta barel. Kondisi ini
diperkirakan bisa memacu harga minyak bergerak ke kisaran US$ 60 per barel.
Skenario kedua adalah skenario terburuk
yang melibatkan produksi minyak besar-besaran dari OPEC, Arab Saudi, Iran
dan Libya di pasar minyak dunia, disamping ledakan shale oil dari kawasan
Amerika Utara. Tak pelak lagi, hal ini akan menyebabkan harga minyak
tergerus kian dalam. Sehingga tak heran jika Golman Sach dan Morgan Stanley
membuka kemungkinan prediksi bahwa harga berpeluang merapat ke level US$20
per barel. Dan ketiga adalah skenario lain yakni terciptanya keseimbangan
pasar minyak pada paruh kedua 2016.
OPEC pun pada penghujung tahun lalu memperkirakan
harga minyak 2016 akan naik US$ 5 per barel, diasumsikan ada di level US$ 60
dan di 2020 mencapai US$ 80. Jika diteliti lebih detail, ketika itu OPEC
tidak menggunakan kata prediksi, tapi lebih cendrung menyebut angka-angka
proyektif tersebut sebagai asumsi yang mereka buat dalam publikasi world
oil outlook yang dirilis 23 Desember 2015 lalu.
Selain itu, IMF juga membuat pernyataan
bahwa harga minyak bisa tercukur US$ 5 – 15 per barel dengan tambahan produksi
Iran akibat dicabutnya sangsi embargo terhadap minyak Iran oleh Amerika
Serikat dan Eropa. Sejatinya, sebelum mengutip secara serampangan
proyeksi-proyeksi yang muncul ini, ada baiknya harus dibedakan terlebih
dahulu antara pernyataan “harga minyak berkemungkinan bisa menyentuh level
tertentu” dan pernyataan “harga minyak rata-rata sepanjang tahun akan
berada pada kisaran tertentu”.
Kedua pernyataan ini sekilas terkesan sama,
tapi secara substansial sangatlah berbeda. Harga bisa saja menyentuh $15-20
per barel dalam tahun ini, tapi belum tentu harga rata-rata sepanjang tahun
ini adalah $15-20 per barel. Jika bicara harga akan turun sampai level
tertentu, maka faktanya setiap hari harga minyak bisa berubah, bahkan bisa
saja jatuh dibawah level yang diperkirakan. Nah pertanyaannya, berapa
lama harga akan berada pada level tersebut?
Dialektika proyeksi harga minyak yang
berkembang belakangan memang sangat menarik untuk disimak dan diperdebatkan.
Semua pihak punya komentar dan analisa sendiri-sendiri tentang batas
bawah (support/ floor
price) pergerakan harga minyak untuk tahun ini, lengkap dengan
berbagai data fundamental dan kalkulasi-kalkulasi grafis-teknikal. Bahkan
pertengahan tahun lalu, hampir semua pihak sepakat bahwa harga tidak akan
sanggup menjebol angka $40 per barel. Ada indikasi yang mendukung proyeksi
ini ketika itu karena harga minyak sempat mengalami recovery sederhana,
tetapi justru setelah itu harga malah kembali turun hingga ke bawah US$ 40
per barel
Sehingga dunia prediksi dan proyeksi
menjadi semakin hangat dan menarik, karena akan memunculkan tebakan baru
soal floor-price selanjutnya setelah batas psikologis US$ 30 per barel
tembus. Mengapa? Karena faktor kebiasaan pasar saja. Tendensi tebakan akan
sama ketika harga minyak cenderung naik. Secara psikhologis para pihak akan
cenderung menerka ke angka tertinggi mana lagi harga akan bergelayut.
Jadi tidak heran ketika pertengahan tahun
2008 lalu, ketika harga minyak mencapai US$ 140 per barel, banyak pihak yang
terbawa lebay, lalu ikut-ikutan memasang angka target prediksi di level US$
200 per barel, bahkan ada yang lebih ekstrim, yakni US$300- 400. Sebagaimana
yang sama-sama telah disaksikan, harga tersebut tak pernah tercapai, sekalipun
untuk level US$ 200. Nah, situasi yang sama ketika harga minyak terjun
bebas, secara psikologis para analis akan berlomba-lomba untuk memasang
tebakan batas bawah yang akan dituju oleh harga (floor-price).
Minyak, sebagaimana komoditas lainnya,
juga memiliki beberapa faktor sebagai penentu harga. Setidaknya, berdasarkan
referensi yang ada, terdapat empat faktor yang mempengaruhi harga minyak,
yaitu: pasokan (supply),
permintaan (demand),
pasar (market),
dan persediaan (inventory).
Pasokan akan dipengaruhi oleh harga minyak, produksi OPEC dan non OPEC,
situasi geopolitik, biaya aktifitas hulu, kinerja dan perkembangan teknologi
dan lain-lain. Sementara itu, faktor permintaan akan dipengaruhi oleh harga
minyak, pertumbuhan ekonomi, transportasi, cuaca, efisiensi, energi alternatif,
subsidi, dan lain-lain.
Faktor pasar akan terbentang diantara
pasar minyak yang sesungguhnya (physical
market) dan pasar finansial (paper
market). Physical
market bisa dalam
bentuk barter, spot, dan kontrak dengan harga yang telah ditetapkan untuk
penyerahan kemudian (forward) serta term contract (kontrak
berjangka) yang merupakan mekanisme transaksi perdagangan paling banyak
digunakan, yakni kisaran 90 – 95 persen dari perdagangan minyak global.
Sedangkan paper market adalah dinamika pasar
minyak yang terkait dengan penggunaaan komoditas minyak sebagai instrumen
derivatif di pasar finansial. Pada awal tahun 1990-an, kegiatan di pasar minyak
derivatif lebih banyak didorong untuk keperluan aktivitas lindung nilai
(hedging) oleh institusi yang terlibat langsung dengan perdagangan
minyak.Dengan semakin banyaknya jenis produk di pasar keuangan ini, ditambah
prospek untuk memperoleh imbal-hasil yang lebih besar, maka terjadi
peningkatan transaksi “minyak
kertas” di pasar komoditas global, bahkan belakangan muncul
pula para investor yang sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan
aktivitas perminyakan maupun aktifitashedging.
Yang tidak terkait langsung ini biasanya
kerab disebut dengan spekulan seperti yayasan pensiun, yayasan atau
perusahaan lain yang mengelola dana (endowment
funds), dan lain-lain. Transaksinya dikenal dengan sebutan transaksi
non-commercial oleh commodity futures trading commission.
Imbasnya, harga minyak kemudian tidak hanya dipengaruhi oleh demand dan
supply di pasar fisik, tapi juga oleh dinamika sektor keuangan, seperti
perubahan suku bunga Federal Reserve, perubahan nilai tukar dan lain-lain.
Faktor keempat yang mempengaruhi harga
minyak adalah persediaan (inventory). Negara-negara maju yang bergabung dalam
IEA mewajibkan anggotanya untuk menumpuk persediaan. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi terputusnya pasokan minyak. Kemudian masing-masing
anggota diwajibkan menyimpan persediaan minyak dan produk turunannya,
seperti bensin dan diesel setara dengan volume yang diperlukan minimal 90
hari dari net-impor minyak. Nah, kelebihan pasokan belakangan ini memiliki
arti bahwa level persediaan yang ada di masing-masing negara anggota IEA
sudah jauh di atas persyaratan minimum 90 hari. Mau tak mau, kondisi ini
akan mengirim sinyal kepada pasar yang kemudian akan ikut menggerakan harga
untuk waktu mendatang.
Pendek kata, dari ketiga skenario diatas
dan dinamika faktor-faktor yang mempengaruhi harga tersebut, probalbilitas
untuk skenario kedua sangat tinggi. Balapan memompa minyak dari perut bumi
antara OPEC dan Amerika sampai hari ini tak terbendung. Rencana negosiasi
pengurangan output sekira 5% antara Rusia dan OPEC pun tak jua menuai
kepastian. Harga mungkin saja bisa terjun lebih jauh, tapi saya kira,
rata-rata pergerakan tahunan masih akan berada pada median US$ 30-40 per
barel. Karena jika harga harus diproyeksikan diatas angka median ini,
nampaknya dunia belum mempunyai faktor-faktor pendorong yang cukup. Bahkan
ancaman terganggunya pasokan akibat ketegangan di Timur Tengah pun tak mampu
mendorong harga ke atas. Lihat saja imbas serangan Irak ke Yaman atau pemutusan
hubungan diplomatik Saudi dan Iran, implikasi harga yang muncul tercatat sangat
kecil, kemudian harga kembali meluncur bebas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar