Menyiasati Penyalahgunaan Transfer Pricing
Alek Karci Kurniawan ; Analis
Hukum Internasional
FH Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA INDONESIA,
27 April 2016
"THE
way we tax multinational corporations is repulsive, inequitable and inefficient." Joseph
E Stiglitz
PENGEMPLANGAN pajak ialah muara
dari persoalan ketimpangan yang kian lebar mengalir di dunia kita sekarang.
Laporan Oxfam International di awal tahun ini meneguhkan sebanyak 1% orang di
dunia ini memiliki kekayaan yang sebanding dengan kekayaan 99% penduduk
dunia. Sedang daripada itu, pajak yang seharusnya menjadi tulang punggung
pembangunan (di tempat pendapatan itu bersumber) tak mampu diraih karena
hartanya sudah dipindahkan ke negara-negara surga pajak (tax haven).
Banyak modus baru bermunculan.
Paling tidak hal itu tersalurkan lewat dua celah yang kerap kali bisa
diakali: (i) dengan menaikkan (mark-up) harga bahan baku, (ii) di pihak lain
menurunkan harga (mark-down) penjualan. Angka-angka rekayasa itulah yang
diduga disertakan dalam laporan keuangan untuk mengakali pembagian dividen
rendah untuk menghindari pembayaran pajak.
Modusnya, perusahaan beraviliasi
atau membuat perusahaan melalui pihak ketiga yang tidak ada usaha (special
purpose vehicle/SPV) di negara lain. Perusahaan SPV memasok bahan baku dari
luar negeri sekaligus menampung hasil produksi. Karena pemiliknya sama,
laporan keuangan bisa direkayasa.
Pendapatan aktif anak perusahaan
yang merupakan penduduk dalam keadaan non-tax haven bisa digeser melalui pengalihan
harga (transfer pricing) ketika anak perusahaan menjual produk atau jasa
kepada anak perusahaan lain yang merupakan penduduk tax haven di bawah harga
pasar atau pembelian produk atau jasa dari itu lebih harga pasar. Kunci utama
keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak ialah adanya transaksi karena
hubungan istimewa.
OECD Model maupun UN Model memakai
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle) dalam
menghadapi masalah transfer pricing tersebut. Alasan utama dipilihnya metode itu
ialah karena prinsip tersebut menempatkan perusahaan-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi yang sama dengan perusahaan yang
independen sehingga dapat menghilangkan faktor-faktor yang sifatnya
menguntungkan maupun merugikan. Dasar hukum mengenai prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha itu dapat dilihat dalam PER -43/PJ/2010 dan Pasal 18 ayat (3)
& (4) UU PPH.
Untuk mencegah penghindaran pajak
karena penentuan harga tidak wajar (non
arm's length price), muncul Peraturan Dirjen Pajak No PER-42/PJ/2011
tanggal 11 Nopember 2011. Aturan itu membahas penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha (arm's length
principles) terkait dengan transaksi antara wajib pajak dan pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Aturan itu mengharuskan wajib pajak untuk
menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak istimewa (related parties).
Kategori hubungan istimewa di
Indonesia, diatur Pasal 18 UU No 36/2008, yaitu penyertaan modal minimal 25%,
keterkaitan pengelolaan manajemen dan hubungan keluarga sederajat sedarah
maupun semenda. Apabila wajib pajak tidak bisa menunjukkan bukti pendukung
kewajaran harga transaksi, Ditjen Pajak akan menetapkan harga transaksi yang
wajar di antara pihak-pihak yang terafiliasi. Namun, ada pengecualian, kewajiban
pelaporan transfer pricing dibatasi
untuk nilai minimal sebesar Rp10 miliar dalam satu tahun pajak.
Lebih dari itu, menyiasati
penyalahgunaan transfer pricing bukan urusan gampang. Ketiadaan akses publik
ke dalam detail rincian transaksi perusahaan menyebabkan perusahaan leluasa
memodifikasi laporan keuangan. Dibutuhkan suatu konvensi (convention) atau perjanjian
internasional (international tax treaty)
sebagai sumber hukum internasional dalam pertukaran informasi antarnegara,
dalam konteks memerangi penghindaran (tax
avoidance), pengelakan (tax evasion),
serta pelalaian pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar