Pendidikan Anak-Anak Usia Bermain
Anton Prasetyo ; Pendidik
di Pontren Nurul Ummah Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
25 April 2016
AKHIR-Akhir ini ada kecenderungan orangtua dan tenaga
pengajar pendidikan formal merasa takut mendidik anak-anak mereka sejak
dini.Mereka merasa gamang jika upaya mendorong belajar justru mengganggu
perkembangan anak-anak karena melewatkan masa perkembangan yang penuh warna.
Akhirnya orangtua dan para guru banyak yang terkesan
membiarkan anak-anak menghabiskan waktu untuk bermain. Alhasil, mereka merasa
kesulitan mengajari anak-anak saat masuk SD (kisaran usia 7 tahun) untuk
membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Padahal, ketiga keterampilan itu
merupakan modal dasar yang harus dikuasai agar anakanak berkembang menjadi
pribadi berprestasi.
Dalam teori psikologi perkembangan, Jean Piaget
beranggapan pada usia di bawah 7 tahun, anak belum mencapai fase operasional
konkret, yakni sudah mampu berpikir terstruktur. Padahal, belajar calistung
termasuk ke kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur.
Dengan begitu, dikhawatirkan otak anak-anak di bawah usia
7 tahun akan terbebani oleh pelajaran calistung. Kesim pulannya, anak-anak di
bawah usia TK belum cocok belajar calistung.
Kesimpulan bahwa anak usia TK ke bawah belum cocok belajar
calistung sebenarnya sangat ironis dan penuh dengan tanda tanya. Piaget
mengungkapkan ketidakcocokan itu bermula dari kekhawatirannya atas
ketidaksiapan anak.
Artinya, jika anak-anak tidak terbebani, bukan tidak
mungkin Piaget akan memperbolehkan, bahkan menganjurkan anak belajar
calistung sejak dini. Di samping itu, ketika calistung baru dikenalkan di
kelas 1 SD, itu sama halnya dengan menciptakan beban berat pada anak.
Hal itu bisa terjadi karena di kelas 1 SD anak-anak sudah
dituntut menguasai pelajaran yang sangat kompleks di dalam kelas. Padahal,
untuk menguasai seluruh pelajaran itu, modal utama yang mesti dikuasai ialah
kecakapan membaca dan menulis.
Tahapan belajar membaca dan menulis pun tak dapat
dilakukan dengan sekejap mata. Lebih-lebih, kesuksesan belajar membaca juga
tak diukur dengan kebiasaan melafalkan teks ke dalam lisan, tapi juga
memahaminya.
Belum lagi para pendidik mendapati anak-anak yang sudah
terbiasa bermain (baca: nakal atau bandel). Banyak pendidik yang merasa
kewalahan menghadapi anak-anak dengan kepribadian semacam itu. Jika itu yang
terjadi, justru anak-anak kelas 1 SD bisa merasa tertekan karena dituntut
segera bisa membaca tanpa ada persiapan dasar terlebih dahulu.
Puncaknya, anak-anak takut berangkat sekolah karena
melihat para guru yang sejatinya ingin mengajari terkesan seperti monster
yang siap melumat dirinya, sebab ketidakbisaannya dalam membaca.
Dari situ, para orangtua dan guru anak-anak harus cakap
memaknai ungkapan Piaget itu. Jika perlu, para orangtua dan guru anak-anak
juga mengenal teori perkembangan yang diungkapkan Montessori.
Montessori yakin dalam tahun-tahun awal, seorang anak
mempunyai sensitive periods
(masa-masa anak menerima stimulus-stimulus tertentu dengan mudah).
Menurutnya, kepekaan belajar menulis pada anak-anak berada dalam rentang usia
3,5¬4,5 tahun dan membaca ialah 4,5¬5,5 tahun.
Secara lengkap, Montessori mengung kapkan anak-anak
memiliki masa-masa sensitif, yakni (1) sejak lahir hingga 3 tahun ialah masa
penyerapan pengalamanpengalaman sensoris; (2) usia 1,5-3 tahun ialah masa perkembangan
bahasa; (3) usia 1,5-4 tahun ialah masa koordinasi dan perkembangan otot,
minat pada benda-benda kecil; (4) usia 2-4 tahun ialah masa peneguhan gerakan
minat pada kebenaran dan realitas menyadari urutan dalam waktu dan ruang; (5)
usia 2,5-6 tahun ialah masa peneguhan sensoris; (6) usia 3-6 tahun ialah masa
rawan pengaruh orang dewasa; (7) usia 3,5-4,5 tahun ialah masa sensitif
menulis; (8) usia 4-4,5 tahun ialah masa kepekaan indera; dan (9) usia
4,5-5,5 tahun ialah masa sensitif membaca.
Para orangtua dan guru anak anak mesti paham bahwa usia di
bawah 7 tahun merupakan masa yang paling berharga, bahkan sering disebut golden age (masa emas). Pada usia 0-6
tahun, otak anak-anak sedang mudah-mudahnya menyerap informasi yang dilihat
dan dipelajari sehingga usia itu sebenarnya ialah masa yang sangat tepat
untuk belajar calistung.
Hanya, satu hal yang perlu diingat bahwa belajar mem baca
dan menulis memerlukan tahapan perkembangan ke mampuan. Di masa golden age,
anak-anak sebaiknya diberi keterampilan pendahuluan sehingga akhirnya mahir
calistung.
Tahapan belajar yang dapat diberikan kepada anak-anak
sebelum belajar calistung ialah mengikuti kelas toddler. Kelas ini bertujuan
membiasakan anak bersosialisasi bersama ke lompok serta mengembang kan aspek
psikomotorik, afektif, dan kognitif dalam belajar sejak usia dini.
Pada usia 2-3 tahun, anak-anak perlu belajar
bersosialisasi dan bermain dengan konsep, belum sepenuhnya belajar. Pada usia
3 tahun, anak anak bisa diperkenalkan warna, angka 1-5, bentuk bentuk datar,
segi tiga, dan lain-lain. Pada usia 4 tahun (masuk TK A), anak diperkenalkan
nama kendaraan transportasi, nama bagian tubuh, sekolah, kesehatan, pantai,
dan laut. Pada usia 5 tahun (masuk TK B), anak anak bisa belajar materi seba
gaimana usia 4 tahun, DUTA tapi dengan tingkat kesulitan yang lebih besar.
Setelah kecakapan-kecakapan itu dimiliki anak-anak,
tahapan belajar calistung siap diberikan.Perlu digarisbawahi bahwa
tahapan-tahapan yang dimulai sejak usia dini itu merupakan rangkaian belajar.
Hanya, cara yang digunakan bukan dengan memaksa anak-anak agar langsung
memegang buku yang berisi deretan huruf dan angka yang harus dilafalkan.
Anak-anak butuh pendidikan calistung sedini mungkin dengan
metode yang tepat. Karena usia anak-anak ialah usia bermain, mereka bisa
belajar calistung dengan bermain. Memberikan pendidikan serasa bermain-main
inilah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) utama paraorang tua dan guru
anak-anak.
Pendidikan sejak dini ini sudah banyak terbukti mampu
melahirkan generasi-generasi pilihan. Imam Syafii kemungkinan tidak akan
menjadi mujtahid besar dan aliran mazhabnya tidak dapat digunakan hingga saat
ini manakala dirinya tidak dididik ibunya semenjak belia. Semenjak masih dalam
gendongan ibunya, Imam Syafii terus diajarkan menghafal kitab suci Alquran.
Dalam usia 7 tahun, Imam Syafii pun berhasil menghafal Alquran dengan baik.
Padahal, Alquran terdiri atas 30 juz dengan tiap-tiap juz terdiri atas 20
halaman di dalam musaf standar.
Hanya, yang perlu diingat bahwa pengajaran menghafal
Alquran yang dilakukan ibundanya itu sangat menyamankan Imam Syafii kecil.
Ibunya selalu membacakan ayat-ayat Alquran dengan metode reading aloud
(membaca yang dikeraskan).
Alhasil, dengan modal usia 7 tahun hafal Alquran, pada
usia 10 tahun, Imam Syafii sudah menguasai beragam ilmu terkait Alquran dan
usia 12 tahun sudah layak memberikan fatwa.
Di Indonesia sendiri, akhir-akhir ini masyarakat Islam
dibuat terharu oleh capaian prestasi seorang bocah bernama Musa. Ia merupakan
peserta termuda (umur 8 tahun) pada MTQ Internasional di Mesir 2016 dan
ditetapkan sebagai juara 3.
Semenjak usia 5,5 tahun, Musa sudah hafal Alquran sebanyak
29 juz. Hafiz cilik kelahiran 2008 itu sebelumnya juga telah menorehkan
beberapa prestasi, di antaranya menghafalkan matan-matan hadis penting,
seperti kitab Arbain Nawawi.
Prestasi Musa itu tidak dapat dilepaskan dari proses
belajarnya semenjak dini. Semenjak usia balita, ia sudah mendapat pendidikan
yang ketat dari orangtuanya. Ia dididik orangtuanya agar menghafal Alquran
sejak pukul 02.30 hingga malam hari.
Hanya, orangtuanya selalu memberikan waktu bermain kepada
Musa setiap harinya. Orangtuanya juga selalu memberikan 1 hari penuh untuk
bermain setelah menghafal selama 4 atau 5 hari. Hasilnya, Musa dikenal
sebagai anak berprestasi yang ceria.
Sungguh, pendidikan kepada anak-anak harus diberikan
sedini mungkin. Di dalam kitab Kasyf adz-Dzunun karya Musthofa bin Abdullah,
terdapat pesan Rasulullah SAW, “Utlubul
`ilma minal mahdi ila lahdi.“ (Carilah ilmu sejak dari ayunan hingga ke
liang lahat).
Dengan demikian, sangat disayangkan ketika orangtua
ataupun guru anak-anak merasa takut mendidik anak-anak semenjak dini. Ingat,
pesan dalam teori pendidikan modern bukan berarti melarang para orangtua dan
guru memberikan pendidikan kepada anak-anak semenjak dini. Justru, anakanak
harus diberi pendidikan sedini mungkin dengan metode yang dapat diterima
anak.
Diharapkan, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi
berprestasi tanpa harus kehilangan masa-masa bahagia di usia dini. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar