Global Security 2016 dan Nihilisme Tentara
Connie Rahakundini Bakrie ; President
Indonesia Institute for Maritime Studies
|
KORAN SINDO, 26 April
2016
GLOBAL Security (Globsec) Forum
2016 di Bratislava pekan lalu membawa sejarah baru untuk Indonesia. Dalam
forum keamanan dan pertahanan dunia yang menjadi salah satu security icon
terbesar di Eropa Tengah ini membuat saya bangga sekaligus terhenyak akan apa
yang sedang dipersiapkan dunia. Yaitu, persiapan menghadapi tantangan
pertahanan keamanan serta risiko yang akan dihadapi Indonesia dan kawasan
dalam waktu dekat. Globsec kali ini dihadiri sekitar 22 pemimpin negara, baik
presiden maupun perdana menteri. Kegiatan ini juga dihadiri 800 peserta
terpilih, melalui undangan yang sangat ketat dan khusus.
Sejumlah pembicara ternama mengisi
kegiatan itu seperti mantan US Secretary of State Madeline Albright, Menteri
Pertahanan Jerman Ursula Von der Leyen, Jenderal Peter Pavel Chairman dari
NATO Military Committee, dan James Townsend selaku deputi sekjen untuk Eropa
dan NATO dari Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. Isu utama yang dibahas
adalah tantangan dan ancaman dunia terkini terkait ekonomi, energi, terorisme,
radikalisme, cyber-space, dan Islamic
State of Iraq and Syiria (ISIS).
Dibahas pula mengenai gelombang
migrasi Suriah dan Timur Tengah yang diakibatkan oleh perang (state and nonstate) yang membawa
tekanan politik, penderitaan, kemiskinan, dan isu bagaimana sikap bangsa
Eropa berdiri bersama aliansinya dalam menghadapi ancaman yang diistilahkan
sebagai "Millenial Paradox". Sangat tersirat pada Globsec kali ini
bahwa Millenial Paradox hanya dapat diselesaikan dengan jalan collective defence dari negara yang tergabung pada NATO,
Amerika, serta aliansinya.
Mereka yang tergabung dalam
collective defense ini sepakat menyebut kelompoknya sebagai "Coalition
of the Willing" (COTW). Seharusnya ini membuat kita tersadar bahwa siapa
pun di luar kelompok itu akan dianggap sebagai "Coalition of the Non
Willing" (COTNW), di mana Indonesia dengan posisi teguh politik luar
negerinya sebagai nonalignment nation otomatis termasuk ke dalam kelompok
COTNW.
Untuk mencapai tujuannya, kelompok
COTW berusaha untuk terus mengolah dan menemukan: Pertama, sistem nilai yang
mempersatukan mereka sebagai bangsa "Barat" untuk menghadapi
kelompok dan ideologi di luar ”Barat”. Atau, bahkan yang dianggap
"membelot" seperti Rusia dengan kebijakan politik serta
penyerangannya atas Crimea dan Suriah yang dianggap menjadi ancaman baru
dunia. Kedua, bagaimana kelompok COTW terus memperkuat kekuatan ekonomi
dengan pertumbuhan yang terkejar. Antara lain dari hasil penggunaan dan
penjualan senjata ke belahan dunia yang dianggap tidak aman.
Negara-negara produsen senjata di
kelompok COTW ternyata dapat mencapai peningkatan ekonomi negaranya sekitar
40% hingga 50% setiap tahun. Itu artinya, kita dapat memastikan bahwa perang
atau konflik akan terus terjadi pada masa mendatang. Tidak mungkin negara
produsen senjata dari COTW akan rela berhenti berproduksi sehingga berakibat
pada setengah pendapatan ekonominya dan membawa risiko pada APBN mereka.
Di lain sisi, kelompok COTNW
termasuk Indonesia memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk menemukan kembali
sistem nilai bangsa, memperkuat tentara dan persenjataan, serta teknologi
terkini untuk dapat bertahan dari tuduhan, anggapan, penguasaan ataupun
serangan kelompok COTW.
Mengapa demikian? Karena, kelompok
COTW sangat meyakini bahwa semua ancaman di atas utamanya ISIS, cyber-space,
terorisme, dan radikalisme adalah ”frontline of war” mereka. Sehingga, semua
tantangan dan tanggung jawabnya harus terbagi
pada negara COTW dalam sebuah cetak biru ”collective programme”.
Pertanyaannya, badan apa di dunia
ini yang dapat menjalankan program kolektif secara fair dan atas perintah
siapa? Lalu, bagaimana dengan kondisi ketidak-seimbangan negara-negara dunia
dalam kapabilitas dan kapasitas militernya? Karena dampak akan ada keyakinan
atas frontline of war bagi
negara-negara COTW, itu berarti setiap kejadian atau bencana yang dianggap
membahayakan kelompok tersebut akan membuat negara-negara berdaulat lainnya
di dalam kelompok COTNW suatu ketika harus rela kehilangan kemandirian dan
kedaulatannya. Untuk kemudian di-take over (diambil alih) oleh negara yang
tergabung dalam COTW.
Grand design COTW dalam collective security programme ini
sebenarnya sudah dapat terbaca dari peraturan terkini tentang peace keeping operation (PKO). Di mana ditekankan bahwa negara-negara
demokrasi dan berdaulat sudah tidak memerlukan lagi tentara sebagai tulang
punggung stabilitas dan keamanan negara. Untuk mencapai tertib sipil cukup
diperlukan polisi yang dapat mencakup semua tindakan ”pengamanan” yang
diperlukan sebuah negara. Sehingga, jika terjadi gangguan keamanan yang sudah
tidak dapat tertanggulangi dan berubah menjadi bencana atau krisis
kemanusiaan, hanya tentara dari COTW-lah yang akan dianggap mampu dan berhak
untuk mengatasinya dengan mengedepankan United
Nation for Peace Keeping Operation (Chapter 7) sebagai jalan masuk
penyelesaiannya.
Implikasi kebijakan terhadap
negara-negara COTNW seperti Indonesia membawa akibat tentaranya (TNI)
dipaksakan secara langsung ataupun tidak langsung untuk menelan teori tentang
nihilisme terkait tugas, peran, dan fungsi lembaga tentara dalam bernegara.
Sehingga, jika terjadi krisis atau bencana, penyelesaiannya dapat diserahkan
atau direbut oleh negara-negara COTW yang telah memiliki kebijakan, sistem,
doktrin, kesepakatan sekaligus kekuatan sebagai ”polisi” dunia.
Indikasi ini jelas terlihat dari
ada penambahan doktrin pengajaran dalam PKO Core Predeployment Training Materials (CPTM). Di mana sebelumnya
hanya tertera Traditional &
Multidimensional Authority, kemudian ditambahkan tipe baru Transitional Authority. Sehingga,
dalam pelaksanaan operasi perdamaian negara, COTW bersama PKO akan dianggap
sebagai pemerintahan yang sah di dalam negara bertikai sehingga mereka akan
berfungsi sebagai pengendali legislatif dan administratif negara yang
mengalami bencana atau krisis kemanusiaan tersebut.
Hal ini akan berlaku sampai
tercipta kondisi baru dari negara yang mengalami krisis, baik kondisi
perubahan atau pengurangan dalam aspek wilayah kedaulatannya, dan aspek
legislasi. Serta, hal lain terkait kemandirian ”baru”-nya yaitu terbentuk
struktur administratif pemerintahan yang sesuai keinginan COTW dengan
dukungan PKO. Di kawasan Asia-Pasifik, kesepakatan yang dibentuk dalam COTW
tersebut juga secara legal dapat beroperasi tanpa ada kesepakatan dan
persetujuan dari negara bermasalah. Misalnya, kesepakatan The Regional Assistance Mission to Solomon
Islands (RAMSI) yang beranggotakan enam negara Pacific Island Forum (PIF). PIF di bawah kepemimpinan Australia
dapat melegitimasi aksinya sebagai unsur polisional regional termasuk ke Asia
Tenggara jika terjadi sesuatu yang dianggap mengancam keamanan PIF dan
kawasan.
Hilangnya istilah peacekeepers
dalam peran aktif mengatasi masalah perdamaian dunia dengan perubahan menjadi
peacemakers secara nyata bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 tentang hak
kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia serta bangsa-bangsa di dunia sebagai hak
yang melekat untuk dihormati dan nonintervensi dari bangsa lain. Kiranya,
Globsec 2016 membawa pesan sangat jelas bahwa pilihan yang tersisa bagi
Indonesia sebagai negara NCOTW hanyalah segera memperkuat TNI untuk mampu
secara mandiri menjaga kedaulatan Indonesia serta kembalinya seluruh komponen
pada sistem nilai bangsa yang menekankan pada Bhineka Tunggal Ika. Indonesia,
bergegaslah menghadapi ancaman dan tantangan Millenial Paradox! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar