Tan Malaka dan Kesombongan Bangsa
Riduan Situmorang ; Pegiat
Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan;
Pengajar Bidang Studi Bahasa
Indonesia di Prosus Inten
|
HALUAN, 11 April
2016
Meski tak
berhak disebut sebagai sastrawan atau budayawan, tetapi sebagai pegiat
kebudayaan, saya termasuk salah satu dari banyak orang yang sangat cemas dan
gerah ketika baru-baru ini pertunjukan mengenai kisah hidup Tan Malaka
dilarang. Yang dicemaskan bukan semata Tan Malaka dengan beribu semangatnya,
tetapi kesombongan kita sehingga tidak lagi mau mengenang salah satu pahlawan
bangsa.
Padahal, kitalah orang yang dulunya dengan
gegap gempita menerima dan bahkan mengimani sabda bahwa bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.
Tan Malaka memang tak henti-hentinya
dibahas. Hingga detik ini! Segala puji selalu digelorakan, tetapi seketika
itu pula beribu-ribu hujat berhamburan. Dan, Tan Malaka benar ketika suatu
kali dia berkata,
“Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih
keras daripada dari atas bumi.” Terbukti sekarang! Meski Tan Malaka sudah
bertahun-tahun diincar para pemburu sekelas intelijen Inggris, Amerika,
Belanda, dan akhirnya tewas di tangan bangsanya sendiri, suaranya masih saja
mengaum keras.
Dia bahkan seperti kembali berteriak untuk
mengulangi pidatonya pada rapat pertama Persatuan Perjuangan, yaitu “Orang tak akan berunding dengan
maling di rumahnya.” Benar,
Tan Malaka memang tak ada duanya dan sangat antikompromi dengan para maling.
Nyawanya boleh ditebas, tetapi semangatnya bagaikan nyala-nyala lidah api
yang tak pernah padam. Dia berjuang dan murni untuk berjuang. Tanpa imbalan
dan kompromi, terutama kepada maling, entah itu di rumah orang lain,
terutama di rumahnya sendiri.
Salah Persepsi
Maka itu, tak berlebihan jika Asep
Salahuddin mengatakan bahwa kalau ada manusia pergerakan yang menghabiskan
seluruh usia untuk Indonesia yang diimpikannya, dia adalah Tan Malaka.
Seandainya ada the
founding father yang
tidak pernah mencicipi manisnya takhta kekuasaan, lagi-lagi dia adalah Ibrahim
Datuk Tan Malaka. Bahkan boleh jadi dari sekian kaum pejuang yang riwayat
hidupnya paling tragis, lagi-lagi itu pasti merujuk Tan Malaka. Dialah “Sang
Rubah Merah” yang akan terus marah ketika bangsanya selalu gelisah.
Tetapi, kita seakan salah persepsi.
Kemarahan dan kedalaman berpikir dari Tan Malaka menjadi sesuatu memuakkan
bagi kita. Kita seperti kalah berunding dengan Tan Malaka di rumahnya. Maka
itu, meski kita menganut mazhab bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghormati pahlawannya, kita nyata-nyata tidak menghormati pahlawan.
Jangankan menghormati, kita justru seakan
tak cukup puas dengan membunuh, tetapi harus ditambahkan lagi dengan
melupakan dan bahkan menghilangkannya dari ingatan bangsa. Benarlah apa yang
kemudian dikatakan oleh Harry Poeze dengan judul bukunya: Verguisd
en Vergeten yang
artinya Difitnah dan Dilupakan.
Fitnah itu adalah ketika dia disebut sebagai pemberontak, disebut sebagai
pembangkang, disebut sebagai antiagama.
Padahal, Tan Malaka adalah orang yang
sangat religius. Hamka, misalnya, sang pujangga besar dalam salah pengantar satu buku legendarisnya menyebutkan
bahwa Islam sejalan dan secorak dengan pergerakan sosial modern yang
digelorakan Al Ustadz Tan Malaka. Hanya memang, Tan Malaka adalah orang yang
tak mau mencampuradukkan agama dengan perjuangan. Perjuangan, ya, perjuangan
dan agama, ya, agama.
Dan, Tan Malaka sudah barang tentu bukan
pembangkang, apalagi pemberontak, seperti yang dituduhkan di atas.
Kecintaannya pada Indonesia melebihi pengetahuan kita tentang Indonesia.
Boleh dibilang, bentuk negara kita yang sekarang berasal dari
imajinasi dan pemikirannya. Maka itu, Mohammad Yamin menyebutnya sebagai
“Bapak Republik Indonesia”. Imaji keindonesiaan itu pertama kali
muncul dalam risalah Naar de Republiek Indonesia (1924).
Dilihat dari segi pergerakan, tulisan
ini mendahului berdirinya Perhimpoenan Indonesia (1925). Ini bahkan
ditulis sebelum Hatta menuliskan Indonesia Vrij (1928), sebelum Soekarno menyampaikan Menuju
Indonesia Merdeka (1933),
dan sebelum kaum muda bersatu melalui Sumpah Pemuda (1928). Ide spketakuler
ini ditulis juga ketika dia masih di pengasingan. Kita tahu, hidup Tan Malaka
berada banyak dalam pengasingan dan pemburuan sebelum akhirnya kembali ke
negeri impiannya dan akhirnya dibunuh oleh saudara sebangsanya sendiri.
Sekali lagi, Tan Malaka bukan pembangkang,
apalagi pemberontak. Moh Yamin mengakui bahwa beliau adalah serupa Jefferson
Washington yang merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya
tercapai, atau serupa Rizal Bonifacio meramalkan Filipina sebelum revolusi
di negara itu pecah. Tan Malaka adalah pohon yang melahirkan tunas-tunas
pergerakan. Pohon itu mengakar dan semakin mengakar di nadi kita.
Akan tetapi, kita adalah bangsa yang bebal.
Kita adalah bangsa yang selalu berkompromi ketika ada kesulitan. Kita
adalah bangsa yang berunding dengan kejahatan, bahkan di rumah kita sendiri.
Kita adalah pohon yang lupa pada akarnya. Maka, bermunculanlah koalisi
bengis dari penguasa dan pengusaha. UU dibuat menjadi alat legalisasi
bisnis, bukan sebagai alat kontrol.
Hanya Alibi
Orang miskin semakin terpinggirkan dan
orang kaya semakin kaya. Perbudakan modern, serupa yang dialami Tan Malaka
di perkebunan pun terjadi. Penjajahan juga terulang. Bahkan lebih tragis karena
kita harus ditindih oleh penguasa kita sendiri dan dijajah oleh bangsa sendiri.
Ironisnya, kita tak merasa terjajah. Kita justru merasa menang ketika berkompromi.
Padahal, kompromi adalah bentuk kekalahan dan ketakutan.
Bahkan, manakala kompromi itu diberlakukan
akan inisiatif kedekilan, kita tidak hanya takut dan kalah, tetapi sudah
hampir mati. Tetapi, dengan sombong, kita tidak mengakuinya. Kita justru
memamerkan daging kita, padahal, di baliknya hanya ada onggokan tulang yang
rapuh. Saya curiga, sikap kita yang selalu mengalibikan dan bahkan
menghilangkan Tan Malaka adalah bentuk ketakutan kita. Kita takut pada
bangsa penjajah sehingga harus berlindung dengan koalisi bengis. Kita takut
tulang keropos kita kelihatan sehingga harus bersembunyi di balik daging
kesombongan.
Atau, yang lebih mungkin, kita takut jika
suatu saat nanti kita tidak lagi dapat menjajah. Sebab kalau tak menjajah,
kita tak dapat hidup. Kita hanya hidup dari penjajahan, dan ironisnya,
penjajahan itu adalah terhadap bangsa kita. Kita hidup dari hasil keringat
budak-budak bangsa kita. Maka itu, ketika dentuman suara Tan Malaka mulai
deras mengalir, kita marah. Marah sebagaimana bangsa kolonialis menghantam
pada bapak pendiri bangsa. Marah karena takut akan segera kehilangan sumber
kehidupan. Marah lebih-lebih jika bangsa kita sadar sedang dijajah hanya
karena mendengar suara emas Tan Malaka.
Ya, kita adalah bangsa penjajah. Tak ada
bedanya dengan kolonialis. Jika kolonialis membawa senjata, kita juga
membawa pentungan. Dan bahkan lebih hebat lagi karena itu dilakukan dengan
menggunakan polisi kita sendiri sebagai alatnya. Polisi tak lagi menjadi
pengayom pergerakan. Polisi dan segala bentuk lainnya sudah menjadi semacam
alat agar rakyat nyaman untuk dijajah.
Para pengagum Tan Malaka tak berdaya.
Jumlah mereka tak seberapa. Maka itu, ketika mereka melafazkan
teriakan-teriakan Tan Malaka, mereka langsung diusir, disisir. Mereka tak
mustahil kini menjadi incaran negara. Sedikit saja bergerak lagi, maka akan
kembali ditembak oleh saudaranya sendiri seperti yang dilakukan pada Tan
Malaka. Memang, pada akhirnya, predikat pahlawan sudah disematkan pada Tan Malaka.
Tetapi, apalah gunanya itu kalau tidak
untuk dikenang dan pemikirannya diaplikasikan. Saya justru curiga, predikat
pahlawan yang diberikan kepada Tan Malaka serupa gelar yang diberikan
pada budak-budak bangsa yang acap kita sebut pahlawan devisa. Kita menyebut
mereka pahlawan, tetapi kita menjadikannya
menjadi tumbal. Kita memberi gelar itu hanya alibi agar kita bisa
bersombong-sombong dan semakin leluasa menjajah. Sungguh miris! ●
|
Saya berpendapat bahwa ide-ide Tan Malaka tentang penyatuan Islam dengan Marxisme-Leninisme adalah yang penting dan yang utama sekarang. Marxisme-Leninisme (yang betul, yang asli, bukan yang palsu, bukan imperialisme Rusia dan Cina yang berkedok “Marxis-Leninis” semisal Stalinisme, Trotskyisme, Maoisme, PKI Musso-Aidit dan lain-lain) harus dijadikan sebagai alat untuk mendirikan Negara Islam Khilafah.
BalasHapushttps://gachikus.blogspot.com/