KPK Perlu Strategi Baru
Bambang Soesatyo ; Ketua
Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar
|
SUARA MERDEKA, 16
April 2016
MODEL
kasus M Sanusi bisa terbentuk karena siapa saja yang bersinggungan dengan
dana pembangunan negara atau daerah tidak takut untuk menyalahgunakan
wewenang dan melakukan tindak pidana korupsi (Tipikor), termasuk menerima
suap.
Setelah
hampir 14 tahun negara menyatakan perang terhadap korupsi dengan membentuk
Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), efek jera korupsi belum tumbuh.
Kalau
efek jera melakukan korupsi sudah membudaya, M Sanusi hari-hari ini tidak
akan mendekam di ruang tahanan KPK. Sayang, Sanusi tidak belajar dari
pengalaman banyak orang itu.
Kamis
(31/3) malam, dia terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK dengan
sangkaan menerima suap sebesar Rp 2 miliar yang diberikan dalam dua tahap
dari PTAgung Podomoro Land (APL).
Uang
suap yang diterima Sanusi bertujuan memengaruhi pembahasan dan muatan pada
rancangan peraturan daerah (Raperda) terkait proyek reklamasi Teluk Jakarta,
khususnya mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang
Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Modus
kasus ini tidak baru-baru amat. Sekelompok pengusaha menitipkan kepentingan
mereka dalam pasalpasal tertentu pada sebuah undangundang (UU) atau perda.
Pemprov
DKI memasukan tiga variabel dalam raperda itu, meliputi variabel kewajiban,
kontribusi 5 persen dari luas reklamasi kotor sesuai rekomendasi Bappenas
1997, dan variabel tambahan kontribusi 15 persen dari nilai NJOP total lahan
yang dapat dijual pengembang.
Variabel
terakhir itulah yang menjadi polemik antara Pemda DKI versus DPRD DKI
Jakarta. Pada 8 Maret 2016, DPRD DKI mengajukan usul menghapus kontribusi
tambahan 15 persen itu.
Sebab,
menurut DPRD DKI, kontribusi tambahan dimaksud sudah menjadi bagian dari 5
persen yang diambil di awal dan dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara
gubernur dan pengembang. Mudah ditebak bahwa argumentasi DPRD itu adalah
aspirasi para pengembang.
Pada
tahap inilah M Sanusi dkk membangun kerja sama kepentingan dengan oknum
pengembang. Karena modusnya yang demikian, KPK menyebut kasus suap yang
melibatkan anggota DPRD DKI dan PT APL itu sebagai grand corruption, karena
suap oleh korporasi itu bertujuan memengaruhi arah kebijakan publik Pemda
DKI.
Terlalu Ringan
Sudah
bertahun-tahun berbagai elemen masyarakat menuntut sanksi hukum terhadap
koruptor harus bisa menumbuhkan efek jera. Untuk itu, pilihannya adalah vonis
pengadilan tipikor haruslah ekstrakeras.
Di
Tiongkok, penegak hukum negeri itu berani menjatuhkan sanksi hukuman mati
terhadap terpidana koruptor. Jelas bahwa Indonesia tidak perlu meng-copy
paste sanksi hukum ala Tiongkok itu.
Akan
tetapi, tidak berarti bahwa pengadilan Tipikor tidak berwenang menjatuhkan
sanksi ekstrakeras itu. Selain hukuman badan yang lebih lama, terpidana
koruptor pun seharusnya diwajibkan mengembalikan semua hasil korupsi atau
kerugian negara.
Sayangnya,
hingga kini, institusi penegak hukum dan Pengadilan Tipikor belum menghayati
serta belum merespons aspirasi rakyat tentang urgensi efek jera dalam perang
melawan korupsi.
Akibatnya,
meski perang ini sudah berlangsung belasan tahun, hasilnya terbilang sangat
minim. Sebab, perang melawan korupsi terus menghadapi hambatan serius, bahkan
dimentahkan oleh sanksi hukum terhadap terpidana korupsi yang terlalu ringan
seperti sekarang.
Tidak
mungkin perilaku korup bisa diberantas jika tidak ada efek jera dalam
tuntutan dan vonis pengadilan. Pasal 18 UU No.31/1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi sudah mengatur masalah pengembalian kerugian asetaset
negara hasil tindak pidana.
Kalau
fungsi pasal ini bisa dimaksimalkan, penerapannya diyakini bisa menumbuhkan
efek jera. Jaksa dan para hakim tipikor pun seharusnya punya keberanian untuk
menilai gaya hidup mewah para koruptor sebagai hasil dari tindak pidana
korupsi.
Karena
itu, vonis pengadilan Tipikor pun seharusnya mengandung perintah untuk
merampas aset koruptor yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Tidak
adanya perintah pengadilan untuk memiskinkan koruptor menjadi salah satu
titik lemah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) menyebutkan bahwa dalam periode 2008-2011, jaksa yang menangani
perkara korupsi rata-rata hanya menuntut 44% kerugian negara akibat tindak
pidana korupsi.
Lalu,
angka itu menyusut hingga hanya 7% ketika perkara diputus di persidangan dan
berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Artinya, jangkauan UU Tindak Pidana
Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) belum sampai menyentuh
harta terpidana kasus korupsi.
Itulah
titik lemah lainnya dalam perang melawan korupsi. Maka, tak usah heran jika
perang belasan tahun memberantas korupsi belum juga membuahkan hasil
signifikan. Setelah kasus M Sanusi, bisa dipastikan bahwa KPK dan Polri masih
akan terus mengungkap kasus-kasus korupsi berikutnya. Mungkin, diperlukan
pembaruan strategi perang melawan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar