Hari Bumi dan Krisis Lingkungan
Posman Sibuea ;
Guru Besar Tetap di Unika Santo Thomas, Medan, Sumatra Utara; Anggota Tim Perumus Pertanyaan Debat Capres
2014
bidang Pangan, Energi, dan
Lingkungan
|
MEDIA INDONESIA,
22 April 2016
SETIAP
22 April masyarakat dunia merayakan Hari Bumi. Perayaan kali ini setidaknya
mengingatkan kita pada tiga hal. Pertama, Indonesia saat ini berada dalam
bayang-bayang ancaman bencana ekologis. Kedua, pembangunan ekonomi kerap
mengabaikan kelestarian lingkungan.
Ketiga,
perubahan iklim telah menimbulkan dampak nyata pada kehidupan dan yang
merasakan akibat paling berat ialah kelompok masyarakat miskin.
Pembangunan
ekonomi Indonesia yang selalu bertumpu pada SDA memberi konsekuensi krisis
lingkungan hidup dan kemiskinan struktural.
Industri
ekstraktif yang dikembangkan demi pertumbahan ekonomi telah menuai banjir,
kekeringan, tanah longsor, asap, rembesan air laut, pencemaran air dan udara,
serta kehilangan keanekaragaman hayati.
Bencana-bencana
ekologis itu sudah masuk tahap mengkhawatirkan kelangsungan hidup rakyat dan
bahkan telah memakan korban ribuan orang setiap tahun.
Belum tersentuh
Pemerintahan
Jokowi-JK telah meletakkan masalah lingkungan hidup menjadi sebuah isu yang
tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi berkelanjutan yang sedang
berjalan. Sayangnya, krisis lingkungan dan strategi mengatasinya belum
tersentuh secara baik dalam perjalanan dua tahun belakangan.
Indonesia
masih tercatat menjadi negara dengan indikator kerusakan lingkungan hidup
tertinggi di dunia. Sungai Citarum merupakan sungai paling tercemar di dunia.
Laju kerusakan hutan kita selama 10 tahun terakhir sekitar 2 juta hektare per
tahun, tertinggi di dunia. Jakarta kota tercemar ketiga di dunia, Kota Medan
mengalami pemanasan yang kian signifikan beberapa bulan terakhir, dan emisi
gas rumah kaca kita nomor tiga tertinggi di dunia karena kebakaran hutan dan
deforestasi yang kian masif.
Lantas
pertanyaan bagaimana konsep dan rencana kebijakan yang konprehensif di bidang
lingkungan untuk ditawarkan kepada masyarakat?
Rumusan
konkret penyelamatan lingkungan seharusnya dapat menjadi way of life
pemerintahan Jokowi-JK mengingat dampak pemanasan global akan bermuara pada
krisis air yang kian masif di masa datang.
Bagi
rakyat, pemerintahan yang prolingkungan di era Jokowi menjadi sebuah
keniscayaan. Persoalan lingkungan hidup menjadi isu penting pembangunan
ekonomi tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Dalam
lingkungan yang terdegradasi akibat industri ekstraktif yang dikembangkan,
setiap negara akan sulit mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Sebab itu, pemerintah perlu memastikan bahwa lingkungan yang
unik di Indonesia patut dikelola dengan lebih baik.
Pada
tataran global, berbagai pelanggaran etika lingkungan hidup menjadi persoalan
yang sering mengemuka di tengah diskusi publik, dari yang sederhana hingga
yang kompleks. Kita tidak pernah merasa bersalah membuang sampah di sembarang
tempat. Tidak merasa berdosa menebang dan membakar hutan yang menyebabkan bencana
kabut asap setiap tahun yang acap melumpuhkan perekonomian nasional.
Ketidakpedulian
kita terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan telah menetaskan masalah lain
yang tak kalah penting, yakni krisis air bersih.
Di
satu sisi, terdapat daerah yang kelebihan air tetapi distribusinya tidak
dikelola secara baik. Sebaliknya, di daerah lain debit air bersih sangat
sedikit sehingga akses masyarakat rendah. Krisis air ialah buah dari
praktik-praktik bisnis besar yang menghancurkan lingkungan hidup.
Hutan
belantara porak-poranda digilas roda pembangunan hedonis di tengah kompetisi
pasar global. Tanah, air, udara, dan laut telah beralih fungsi dari sistem
yang mendukung kehidupan menjadi gudang limbah.
Degradasi
lingkungan bak kalender tahunan yang sulit diatasi.
Pelanggaran
etika lingkungan ini membutuhkan ketegasan komitmen politik dari pemerintah
untuk mencegah konflik di tengah warga. Sekadar menyebut contoh, tingkat
kerusakan lingkungan hidup yang kian parah dapat menjadi mesin pendorong
terjadinya konflik baru untuk memperebutkan pasokan air yang makin langka. Konflik
yang terjadi di wilayah Darfur, Sudan, misalnya, konon dipicu masalah akses
ke sumber air bersih.
Pemanasan
global telah memicu perubahan iklim dan berdampak pada penguapan air dari
permukaan bumi lebih cepat. Pertambahan populasi dunia yang signifikan dari
7,3 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada 2050 akan mendorong meningkatnya
penggunaan air. Diperkirakan, jumlah penduduk yang kekurangan air akan
meningkat menjadi 3,9 miliar jiwa pada 2030. Angka itu melebihi separuh dari
jumlah populasi dunia.
Indonesia
tidak luput dari bencana itu. Kita bakal mengalami krisis pangan yang lebih
buruk jika air selalu dianggap sebagai sumber daya alam yang tak terbatas. Dari
perspektif pertanian, air adalah pilar kedaulatan pangan.
Kedaulatan
pangan negeri yang dipuja subur dan makmur ini masih keropos karena kerap
mengalami krisis air untuk pertanian.
Kemiskinan baru
Jika
dicoba ditengok kembali ke belakang, keberhasilan pemerintahan rezim Orde
Baru memutar roda pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi telah
menetaskan bentuk kemiskinan baru.
Lingkungan
hidup dieksploitasi secara berlebihan. Perambahan hutan dikendalikan pemodal
besar guna mengisap madu sumber daya alam.
Banjir
dan kekeringan sebagai buah perubahan iklim tak bisa dilepaskan dari
disorientasi ekologi akibat kerakusan sekolompok orang terhadap nilai ekonomi
hutan.
Disorientasi
ekologi merupakan cermin dari persoalan kita secara keleluruhan. Kita
kehilangan etika dalam segala aspek kehidupan karena selalu berjubahkan
habitus lama dan berikatpinggangkan keangkuhan.
Lingkungan
hidup diposisikan sebagai pelengkap penderita dan ditempatkan sebagai objek
yang harus dieksploitasi. Perilaku dan sikap kita yang kian rakus menggunakan
SDA telah sampai pada tingkat melebihi batas kemampuan lingkungan untuk
menanggungnya. Patut disadari, dampak penggundulan hutan yang sistematis bisa
melahirkan monster ekologi bernama banjir bandang dan tanah longsor yang
memiliki daya dekstruktif mengerikan.
Buah
dari ketidakramahan terhadap lingkungan menempatkan Indonesia menjadi perusak
hutan tercepat di dunia. Data FAO menunjukkan Indonesia merusak hutan sekitar
2 juta hektare setiap tahun atau seluas 300 lapangan bola setiap jam. Prestasi
buruk ini akan melahirkan berbagai bencana ekologi yang siap memangsa
kehidupan manusia.
Krisis
lingkungan yang kini tengah mengancam kehidupan menuntut kesadaran setiap
warga untuk kian peduli pada pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi
yang tidak ramah lingkungan merupakan pembangunan hegemoni yang mendatangkan
penderitaan bagi umat manusia
Di
tengah perampasan madu sumber daya hutan yang kian masif, kita berharap
kepada pemerintah untuk mengenakan jubah habitus baru.
Memperlakukan
bumi sebagai rumah bersama dan menghentikan perilaku buruk yang menguras
sumber daya alam untuk kepentingan sesaat menjadi landasan habitus baru.
Pada
peringatan Hari Bumi tahun ini, Indonesia sebagai pemilik hutan tropis
terbesar ketiga di dunia diingatkan untuk memelihara lingkungan demi
kesejahteraan rakyat Indonesia dan kepentingan dunia juga. Memelihara sumber
daya hutan memiliki arti penting dalam menyelamatkan kehidupan sebagai bagian
dari revolusi mental. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar