Peran Sosial Agama
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
|
KOMPAS, 22 April
2016
Dalam
pandangan Marxian, kritik dan solusi yang ditawarkan agama untuk mengatasi
problem sosial tidak pernah tepat sasaran karena salah asumsi dan metode. Ketika merebak kemiskinan dan kesengsaraan,
misalnya, solusinya mesti melalui analisis dan aksi sosial secara empiris dan
terukur, bukan dengan lari kepada Tuhan yang akan memberikan penyembuhan
psikologis sesaat, tetapi masalah utamanya tidak terselesaikan. Formula
kebenaran agama berdasarkan kepercayaan yang bersifat subyektif sulit diukur
dan dikuantitatifkan, sementara masalah sosial ekonomi sangat empiris. Tidak
tepat diselesaikan dengan cara pandang normatif-metafisis.
Tulisan ini akan
mengulas secara singkat perbedaan metode kerja ilmu alam, ilmu sosial, dan
ilmu agama dalam kontribusinya dalam menyelesaikan masalah sosial.
Ilmu alam
Obyek
kajian ilmu alam dan kinerjanya lebih jelas dan konsisten dibandingkan dengan
ilmu sosial dan humaniora. Variabelnya relatif homogen dan statis sehingga
keberhasilannya mudah diukur dan diramal (predictable).
Dalam kajian ilmu alam, antara subyek yang meneliti dan obyek yang diteliti
terdapat jarak dan perbedaan karakter yang jelas sehingga ilmu alam sering
disebut sebagai hard science atau exact science. Kalaupun terjadi
deviasi dan kesalahan dalam membuat kesimpulan mudah dievaluasi dan
diverifikasi secara faktual-empiris sehingga dengan demikian para saintis pun
mudah untuk sepakat ketika dihadapkan pada bukti empiris.
Pada
tataran teknis-aplikatif, jasa ilmu alam yang paling nyata adalah dalam jasa
kedokteran yang tidak membedakan ras, suku, dan agama. Jasa lainnya yang juga
mencolok adalah dalam layanan teknologi transportasi dan informasi. Siapa pun
orangnya, apa pun agamamya, mereka bukannya menolak jasa sains, sebaliknya
malah rela mengeluarkan dana besar untuk memperolehnya. Dengan demikian,
penyebaran produk sains dan sikap masyarakat dalam menerimanya lebih luas dan
lebih lapang ketimbang penyebaran agama. Masyarakat modern tidak bisa hidup
tanpa jasa sains dan teknologi, sekalipun tanpa agama.
Ilmu sosial
Adapun
ilmu sosial dan humaniora antara subyek yang meneliti dan obyek yang diteliti
batasnya kabur karena sama-sama manusia yang memiliki kehendak dan emosi yang
selalu berubah-ubah. Variabelnya begitu banyak dan heterogen ketika kita
hendak mempelajari dunia manusia. Tidak mudah membuat formula idealstate of society yang diterima
dan disepakati oleh para ilmuwan sosial, bahkan juga oleh masyarakat pada
umumnya. Meskipun begitu cara kerja serta hasil yang ditawarkan ilmu sosial
masih mudah dievaluasi dan diverifikasi mengingat data dan pengalaman yang
ditampilkan bersifat empiris-historis, sekalipun asumsi dan variabelnya
begitu banyak. Setiap komunitas dan bangsa memiliki mimpi, ingatan kolektif,
mitos, keinginan, dan agenda hidup yang tidak sama, yang selalu berkembang
dinamis dari zaman ke zaman.
Dengan
memanfaatkan jasa ilmu alam dan teknologi, ilmu sosial berusaha melakukan
rekayasa sosial untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia, terutama
dalam aspek kesejahteraan sandang, papan, pangan, dan kesehatan sebagaimana
yang diperjuangkan oleh ideologi sosialisme dan kapitalisme. Akan tetapi,
kenyataannya, warga dunia yang miskin, kurang gizi, dan tunawisma masih
ditemukan di mana-mana, sementara mereka yang hidup mewah juga semakin
banyak.
Untuk
mengatasi ini, maka ilmu sosial selalu berusaha keras agar bisa menghasilkan
berbagai resep dan formula politik yang bertujuan membantu penyelenggaraan
pemerintahan sebuah negara agar warganya terpenuhi dan terlindungi hak-haknya.
Akan tetapi, lagi-lagi, peperangan dan berbagai bentuk penindasan manusia
terhadap yang lain juga terjadi di mana-mana. Demokrasi yang oleh sebagian
orang dianggap mantra suci dan sakti masih juga menyisakan problem sosial
yang tidak bisa diselesaikan.
Jika
ilmu alam berusaha menginterogasi obyek alam lewat laboratorium agar alam
mengenalkan diri akan sifat-sifatnya sehingga terhimpun laws of nature, ilmu sosial pun berbuat serupa, yaitu melakukan
penelitian mengenai apa yang menjadi sifat dasar manusia serta apa saja yang
didambakan sepanjang sejarahnya sehingga terhimpun berbagai asumsi dan hasil
penelitian empiris yang kemudian dikuantitatifkan. Namun, ternyata sistem
nilai dan perilaku manusia berbeda-beda antara masyarakat yang satu dari yang
lain dikarenakan faktor yang juga berbeda-beda. Karena itu, tidak ada satu grand theory dan paradigma ilmu sosial
yang bersifat universal. Kalaupun ada, paradigma ilmu sosial pun tidak
sesolid kaidah-kaidah ilmu alam.
Di
Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial, terutama dalam bidang ekonomi dan politik,
mesti jujur dan rendah hati untuk mengakui kesalahan-kesalahan asumsi dan
formula yang disodorkan kepada pemerintah yang ternyata tidak berhasil
menyejahterakan rakyat. Resep dan formulanya pasti ada yang keliru. Saat ini,
misalnya, kita sepertinya lagi heboh dan mabuk demokrasi, tetapi korupsi
selalu saja terjadi, kualitas kehidupan kita menurun. Berbagai perangkat
negara sudah komplet, tetapi bangsa ini seperti berjalan di tempat, padahal
pengeluaran anggaran belanja negara semakin membengkak.
Ilmu agama
Asumsi,
premis, dan cita ideal yang ditawarkan ilmu agama berbeda lagi. Ciri dan
kekuatan pokok agama adalah kepercayaan atau iman kepada Tuhan dan kepada
hal-hal metafisik. Agama hadir dengan himpunan norma-norma atau nilai
kehidupan agar seseorang selamat di dunia dan kehidupan setelah mati. Setiap
agama mengajarkan doktrin eskatologis (kehidupan setelah mati) dan
keselamatan (salvation) yang
kemudian disertasi konsep surga-neraka. Masuk surga adalah target dan tujuan
akhir misi kehidupan, sekalipun ada yang mau membayarnya dengan menjalani
hidup miskin dan meledakkan bom bunuh diri agar meraih surga.
Tak
mudah merumuskan idealstate of society
menurut ilmu agama karena yang selalu ditawarkan adalah himpunan nilai baik
dan buruk yang bersumber dari wahyu (revelation).
Menurut ajaran Islam, misalnya, tidak ada preferensi absolut apakah sebuah
pemerintahan mau menerapkan model demokrasi, kerajaan, kapitalisme,
sosialisme, ataupun yang lain. Yang penting butir-butir norma agama
dilaksanakan. Begitu pun gambaran hidup setelah mati kita tidak mempunyai
data empiris. Yang ada adalah sederet ancaman siksa neraka jika menabrak
norma agama dan insentif kenikmatan surgawi sebagai ganjaran dari ketaatan
melaksanakan tuntunan agama ketika hidup di dunia. Ketika berbicara
surga-neraka, kitab suci pun menggunakan ungkapan metaporis karena
sesungguhnya otak dan perasaan hanya akan mengetahui dan mengenal apa yang
pernah dialami sebelumnya.
Salah
satu kekuatan agama yang membuatnya selalu eksis sepanjang zaman adalah agama
memberikan makna dan harapan ketika seseorang dihadapkan derita dan misteri
hidup yang sulit diterima nalar, sementara ilmu tidak mampu menjawabnya.
Dalam ungkapan lain, agama memberikan sense
of meaning and purpose of life berdasarkan iman. Di sinilah salah satu
kekuatan agama, yang oleh pengkritiknya di sini pula kelemahan agama yang
dinilai memanipulasi derita dan misteri hidup dengan jawaban yang sangat
metafisis-spekulatif.
Dalam
relasi sosial, agama memiliki peran integratif bagi umatnya yang seiman, yang
sekaligus juga peran disintegratif terhadap yang berbeda keyakinan imannya.
Makanya, setiap agama cenderung eksklusif (to exclude), bukannya inklusif (to include) terhadap kelompok luar. Namun, sikap eksklusif ini
bukan monopoli agama mengingat spirit sukuisme dan nasionalisme-chauvinisme
juga memiliki kecenderungan serupa. Konflik antar-bangsa, suku, dan kelas
akan semakin mengeras jika memperoleh amunisi dari spirit keagamaan sehingga
semangat membela agama dan suku tidak bisa lagi dipisahkan.
Kohesivitas
dan solidaritas iman berlangsung lintas negara dan bangsa, dan bisa
mengalahkan loyalitas seseorang kepada bangsa dan negaranya. Makanya, kita
melihat sepak terjang kelompok teroris yang mengaku memperjuangkan agama
kiprahnya melintasi batas negara. Mereka telah mengalahkan rasa takut mati
karena justru dengan kematian semakin dekat kepada cita-cita ideal tertinggi
untuk masuk surga. Betulkah mereka masuk surga setelah membunuh dan
mencelakakan banyak orang tidak bersalah, keyakinan dan klaim kebenaran itu
tidak bisa diverifikasi sebagaimana yang berlaku dalam ilmu alam-ilmu sosial
yang bersifat empiris.
Meskipun
agama merupakan himpunan normatif dan sebagian lagi askriptif, banyak data
dan fakta bahwa agama juga telah melahirkan pribadi-pribadi pejuang moral
pencerah zaman. Akan tetapi, dalam konteks rekayasa sosial, di zaman modern
ini koalisi hasil kerja ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora jauh lebih
memperlihatkan hasilnya ketimbang ilmu agama. Bahkan, untuk melaksanakan
pesan dan tuntutan nilai agama, jasa ilmu sosial dan sains amat sangat
diperlukan. Misalnya, pesan agama untuk hidup sehat, tanpa dukungan kinerja
ilmu kedokteran sulit dilaksanakan. Begitu pun untuk memberantas kejahatan,
agama sangat memerlukan institusi negara yang dirancang oleh ilmu sosial yang
dipersenjatai oleh hasil kinerja ilmu alam.
Jadi,
dengan esai singkat ini saya hanya ingin mengajak pembaca melihat ulang peran
sosial agama yang kadang klaimnya begitu luas, agama dapat menyelesaikan
semua persoalan hidup. Dunia akan beres dengan agama. Religion is a solution. Sementara yang mengemuka, ekspresi dan
peran sosial agama di sejumlah wilayah justru destruktif, menjadi sumber
keresahan dan keributan. Kita sepakat bahwa agama menawarkan nilai-nilai
kebajikan hidup dan menjanjikan keselamatan akhirat. Namun, mengapa untuk
meraih surga di akhirat ada yang mesti membayarnya dengan menciptakan
kegaduhan dan ketakutan warga dunia? Lalu, peran sosial apa yang hendak
ditawarkan? Jika yakin bahwa agama yang dianutnya datang dari Tuhan Yang Maha
Mencintai dan Mengasihi penduduk Bumi, mestinya ekspresi keberagamaan
seseorang akan jadi instrumen penyebar cinta kasih Tuhan terhadap sesamanya
dalam rangka membangun kehidupan yang berkeadaban.
Pengalaman Indonesia
Dalam
hal kehidupan sosial keagamaan, Indonesia sangat kaya dan unik. Agama telah
mendorong lahirnya organisasi sosial keagamaan, bahkan juga partai politik,
yang membantu peran negara dalam mendidik dan mencerdaskan warga negara.
Negara sangat berterima kasih kepada agama sehingga dengan APBN negara
memberikan dukungan finansial dan politik kepada berbagai institusi sosial
keagamaan. Tokoh dan institusi sosial keagamaan juga memberikan dukungan dan
masukan moral kepada pemerintah dan negara. Yang
perlu dijaga adalah jangan sampai ruang publik dan institusi negara dijadikan
obyek kontestasi hegemoni agama karena sifat pemeluk agama yang cenderung
eksklusif dan sulit menerima kritik. Yang muncul adalah relasi kalah-menang,
padahal di antara mereka baru pemula dalam mempelajari agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar