Politik Sertifikasi Sawit
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
|
KOMPAS, 30 April
2016
Indonesia Palm Oil Pledge atau
IPOP -kesepakatan lima raksasa perusahaan sawit di Indonesia-memicu polemik.
Pemerintah tengah mencari landasan hukum untuk membubarkan IPOP. Alasannya,
kriteria pengelolaan sawit IPOP menimbulkan kerugian pada petani kelapa
sawit.
Tandan buah segar (TBS) kelapa
sawit produksi petani mandiri tidak ada yang menampung dan membeli. Padahal,
petani mandiri menguasai hampir separuh dari 10,5 juta hektar luas areal
sawit saat ini.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) pun menilai IPOP berpotensi menimbulkan kartel. Kesepakatan IPOP
bertentangan dengan UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga berpotensi mendistorsi pasar. KPPU
meminta IPOP tidak diimplementasikan. Alasannya, tidak ada dasar hukum bagi
korporasi mengimplementasikan IPOP. IPOP bukanlah regulasi.
Korporasi
atur negara?
IPOP adalah komitmen dan atau
kesepakatan lima raksasa perusahaan sawit (Wilmar Indonesia, Cargill
Indonesia, Golden Agri Resources, Musim Mas, dan Asian Agri) untuk
menjalankan praktik perkebunan sawit yang berkelanjutan di seluruh rantai
pasoknya. Komitmen diteken dalam forum United
Nation Climate Summit 2014 di New York, AS, September 2014. IPOP
mengatur: kebun sawit harus bebas deforestasi, kebun sawit tidak di lahan
gambut, kebun sawit tidak di lahan berkarbon tinggi (high carbon stock/HCS),
larangan menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut,
dan HCS. Implementasi dimulai pada 2015.
Apa yang salah dengan IPOP? Dalam
industri sawit, pemerintah membuat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)
sebagai kebijakan sertifikasi yang harus dipenuhi tiap perusahaan atau
perkebunan sawit. Ini jadi standar praktik perkebunan sawit berkelanjutan.
Ada perbedaan mendasar antara IPOP dan ISPO. Pertama, ISPO memakai standar high conservation value forest (HCVF),
IPOP menambahkan kriteria HCS, kriteria yang lebih tinggi. Ini berpotensi
jadi hambatan masuk bagi mitra anggota IPOP yang sesuai dengan kebijakan
pemerintah, tetapi tidak memenuhi standar HCS.
Kedua, ISPO diinisiasi pemerintah
(baca: negara), IPOP kesepakatan korporasi. Indonesia adalah negara berdaulat
yang memiliki hak mutlak mengatur proses pembangunan. Tak satu pun negara
ataupun lembaga internasional, apalagi LSM, boleh mengintervensi kebijakan di
Indonesia. Ketiga, lima perusahaan penanda tangan IPOP menguasai 70 persen
CPO Indonesia. IPOP yang difasilitasi dan didukung AS patut diduga merupakan
bagian dari skenario proxy war dan bentuk neoimperialisme.
Keempat, implementasi IPOP
berpotensi menimbulkan persaingan usaha tak sehat. Penolakan anggota IPOP
menerima TBS petani sawit ataupun CPO BUMN dan perkebunan skala
kecil-menengah dengan alasan tak sesuai syarat IPOP berpotensi menyulut
ketegangan sosial di 190 kabupaten sentra sawit nasional. IPOP akan
menimbulkan kemiskinan di 190 kabupaten itu.
Selain ISPO dan IPOP, industri
sawit Indonesia sudah mengadopsi sertifikasi keberlanjutan (certified sustainable palm oil/ CSPO)
dari Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO). Menurut laporan RSPO (2014), minyak sawit adalah satu-satunya minyak
nabati global pertama di dunia yang mempunyai sistem tata kelola dan
sertifikasi minyak nabati berkelanjutan. Sementara minyak nabati produksi Uni
Eropa, seperti minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari belum
memilikinya. Sistem tata kelola dan sertifikasi ini diadopsi Indonesia dan
Malaysia, dua jawara produsen sawit dunia.
RSPO mengklaim sebagai lembaga
sertifikasi sawit berkelanjutan paling kredibel di dunia. Klaim itu tak lebih
dari pepesan kosong. Buktinya, meskipun mengantongi sertifikasi CSPO dari RSPO
dan ISPO dari Pemerintah Indonesia, aneka produk sawit masih selalu dituding
tidak ramah lingkungan. Ini bisa dibaca dari aneka regulasi di negara-negara
maju yang intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan, seperti renewable
fuel standards oleh AS, renewable energy directive oleh Uni Eropa, food
standards amendment truth in labeling-palm oil bill 2010 oleh Australia, dan
amandemen UU No 367 tentang Keanekaragaman Hayati oleh Perancis.
Bahkan, ketika the big five sawit
asal Indonesia mengadopsi IPOP, kampanye anti sawit tidak berhenti. Ini
ditandai penemuan sejumlah produk makanan impor yang dijual di beberapa mal
di Jakarta dengan label POF (palm oil free), Februari 2016. Kepatuhan the big
five pada CSPO dan IPOP berbuah labelisasi POF. Masihkah kita yakin alasan di
balik gerakan ini adalah alasan pelestarian lingkungan? Ataukah gerakan anti
sawit sedang mengalami metamorfosis jadi gerakan aneksasi industri sawit?
Hanya
taktik dagang
Sejatinya, amandemen UU No 367 dan
aneka regulasi di negara-negara maju tersebut tak lebih dari taktik dagang.
Sebab, dasar dan metode perhitungan ditentukan sepihak. Alasan emisi dan
kesehatan tidak lebih non-tariff barrie. Sebab, syarat-syarat serupa tak
berlaku bagi minyak pangan kompetitor sawit. Taktik dagang juga diberlakukan
lewat sertifikasi. Sertifikasi tidak mengindahkan produsen. Tak heran muncul
gugatan serius: produk apa yang harus disertifikasi dan siapa yang menyusun
sertifikasi.
Kini, sertifikasi jadi ladang
bisnis menggiurkan. Pelakunya lembaga-lembaga asing dari negara maju. Di
Inggris saja setidaknya ada 600 jenis sertifikasi, sebagian besar diinisiasi
oleh korporasi, bukan oleh negara. Bagi Pehnet dan Vietze (2009), renewable energy directive cs di atas
adalah kebijakan industri, bukan kebijakan lingkungan. Ini kamuflase
proteksionisme berkedok lingkungan. Aturan-aturan seperti itu menabrak
prinsip Pasal I, III, dan XI WTO karena telah mendiskriminasi sebuah produk.
Indonesia harus mengadukan diskriminasi dan praktik dagang tidak adil itu ke
WTO. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar