Dosen Asing dan Kualitas PT
Budi Santosa ; Guru
Besar Teknik Industri ITS; Pernah menjadi Pembantu Dekan Bagian Kerja Sama
dan menjadi Visiting Professor di luar negeri
|
KOMPAS, 23 April
2016
Mulai
tahun ini, Kemenristek Dikti secara resmi mengizinkan masuknya dosen asing
untuk mengajar dan meneliti di perguruan tinggi negeri ataupun swasta di
Indonesia. Hal ini tentu saja akan berdampak bagi potret perguruan tinggi
(PT) kita baik dari sisi kualitas dosen, komposisi dosen di PT, kualitas pendidikan
, maupun tingkat persaingan bagi mereka yang ingin jadi dosen. Secara agregat
untuk kepentingan bangsa, akankah masuknya dosen asing meningkatkan mutu
pendidikan tinggi kita?
Dosen asing sila datang
Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti,
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Ali
Ghufron Mukti mempersilakan dosen asing mengajar di Tanah Air. "Kami beri kuota 10 persen melalui
nomor induk dosen khusus (NIDK)," katanya (28/2).
Pernyataannya
itu diulang lagi ketika berkunjung ke Surabaya pada 17 Maret. Tujuan akhir
dari perekrutan dosen asing adalah masuknya PT negeri (PTN), terutama PTNBH
(berbadan hukum) dalam 500 besar
ranking universitas dunia.
Bagi
penulis, inisiatif Kemenristek Dikti
adalah angin segar. Ini bukan hal luar biasa karena Malaysia juga melakukan
hal sama. Perdana Menteri Mahathir
Mohamad, saat itu, berani mengundang beberapa universitas Inggris dan
Australia membuka cabang di Malaysia. Jadi, tidak terbatas dosennya yang
impor. Tidak heran jika ada Monash University cabang Malaysia atau Nottingham
University. Mahathir sengaja mengundang mereka untuk meningkatkan daya saing
universitas Malaysia di tingkat dunia.
Mahathir
juga mempunyai pertimbangan ekonomi: daripada uang rakyat Malaysia dibuang ke
negara asing lewat mahasiswa yang sekolah di sana, lebih baik universitasnya
diundang masuk ke Malaysia. Sungguh ide yang cemerlang. Bahkan, kini, ketua
badan akreditasi Malaysia adalah Rektor Monash University di Malaysia.
Malaysia melakukan itu jauh sebelum era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Kita walaupun terlambat akhirnya membuka
pintu juga meskipun perlu sikap hati-hati menghadapi situasi baru ini.
Menghadirkan kecerdasan
Ide
mengundang dosen asing diharapkan
mampu menghadirkan manusia-manusia cerdas ke dalam negeri. Aliran ini sering
disebut brain drain, dari sisi kita akan menjadi brain gain. Usaha ini
setidaknya akan membawa manfaat.
Pertama,
menjadi partner dosen kita untuk kolaborasi riset dan publikasi. Dengan
adanya dosen asing yang mempunyai kemampuan riset, dosen kita bisa
berkolaborasi dalam hal penelitian sekaligus publikasi. Penelitian yang bagus
diharapkan bisa meningkatkan kualitas publikasi dosen ataupun universitas
kita. Penelitian yang jelas peta jalannya juga diharapkan mampu menghasilkan
produk-produk nyata yang dibutuhkan masyarakat.
Kedua,
memacu dosen domestik untuk tidak kalah bersaing dalam hal pengajaran dan
penelitian. Dalam hal pengajaran mungkin etos kerja mereka bisa jadi cermin
dosen kita. Etos yang dimaksud bisa dalam hal disiplin waktu mengajar,
menjaga kesesuaian materi ajar dengan rencana pembelajaran, mengembalikan
tugas, dan memberi feedback kepada mahasiswa. Dengan etos mengajar yang
bagus, mahasiswa akan mencapai hasil pembelajaran yang lebih baik. Kedatangan
mereka diharapkan membawa atmosfer positif bagi lingkungan kerja para dosen.
Ketiga,
bagi para calon dosen dalam negeri, kedatangan dosen asing adalah pesaing
berat dalam mendapatkan pekerjaan di PTN ataupun PT swasta bagus di
Indonesia. Untuk itu, para calon dosen harus benar-benar mencapai kinerja
yang bagus selama kuliah.
Keempat,
merekrut dosen asing akan menjadi daya tarik bagi mahasiswa. Mahasiswa bisa
menuntut ilmu dan pengalaman dari dosen asing tanpa harus ke luar negeri,
sekaligus menghemat devisa.
Hal
di atas bisa diwujudkan dengan syarat:
dosen asing harus mempunyai kualitas dan rekam jejak bagus dalam hal
publikasi dan penelitian, bukan sekadar mengundang orang asing dan lalu
jumlah dosen asing dijadikan ukuran kinerja universitas. Hal ini menjauhkan
tercapainya target awal. Kualitas nomor satu.
Untuk
mendapatkan dosen asing yang berkualitas dibutuhkan dana cukup. Kemenristek
Dikti ada baiknya bekerja sama dengan lembaga lain, seperti Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan (LPDP). LPDP mempunyai jumlah
dana memadai untuk mendatangkan dosen asing. Kerja sama keduanya akan
mendorong PT kita masuk jajaran 500 besar dunia.
"Ono rego ono
rupo" akan berlaku di dalam perekrutan dosen
asing ini. Dengan anggaran yang memadai, kita bisa merekrut mereka yang
berkualitas bagus di bidangnya. Namun, mengingat infrastruktur kita baik umum
maupun di universitas belum begitu bagus, harus ada tawaran yang cukup
menarik untuk mendapatkan dosen asing berkualitas.
Penulis
pernah menyampaikan ide mengundang para akademisi asing masuk ke universitas
di Indonesia untuk meneliti, membimbing mahasiswa pascasarjana, dan mengajar. Ini setidaknya menjadi
alternatif daripada sekadar mengirim mahasiswa dan dosen kita ke luar negeri
("Dari 'Brain Drain' ke 'Brain
Gain'", Kompas, 2 Mei 2014).
Mungkin,
bagi kalangan tertentu, kedatangan
dosen ini adalah ancaman. Di sini saya kira pemerintah cukup bijaksana dengan
membatasi kuota. Dengan demikian, "ancaman" yang ditimbulkan lebih
berfungsi sebagai peluang untuk menaikkan mutu dosen kita, bukan menekan
dosen domestik sehingga justru tidak bisa berkembang. Mungkin bisa dibatasi
juga daerah dosen asing boleh mengajar.
Memanggil pulang
Dosen
asing yang akan direkrut tidak harus benar-benar orang asing. Bisa saja orang
Indonesia yang telah lama bekerja di luar negeri sebagai pengajar dan
peneliti di sana. Ada banyak akademisi kita yang bekerja di luar negeri
dengan rekam jejak penelitian dan publikasi yang bagus. Dengan tawaran yang menarik, bisa jadi
mereka mau kembali ke Tanah Air.
Namun,
perlu diingat, dosen asing ketika melakukan penelitian agar diikat dengan
perjanjian yang ketat. Jangan sampai hak-hak kita akan pemanfaatan kekayaan
alam yang menjadi modal dasar temuan strategis, seperti obat-obatan, benih
unggul, atau potensi sumber daya alam lain, jatuh ke mereka. Akibatnya, kita
hanya akan jadi tempat dan menyediakan
material penelitian tanpa mendapatkan manfaat yang semestinya. Izin-izin
penelitian harus diketahui Kemenristek Dikti dan departemen terkait dengan
topik penelitian, tidak boleh hanya melibatkan universitas lokal. Ini tidak
dimaksudkan untuk menghambat penelitian, tetapi demi kehati-hatian.
Banyak
cerita orang asing dengan visa turis bekerja dengan peneliti lokal dari
universitas di Indonesia, meneliti dengan memanfaatkan kekayaan alam kita.
Penelitian itu menyangkut obat-obatan tradisional yang dikembangkan keanekaan
hayati yang hanya ada di Indonesia.
Mahasiswa asing
Sebaiknya
perekrutan dosen bisa juga diikuti perekrutan mahasiswa asing melalui skema asisten
penelitian. Dalam skema ini, dosen yang mempunyai dana penelitian cukup besar
bisa memberi honor kepada asisten peneliti. Honor-honor itu sebaiknya dibuat
standar dan resmi diketahui universitas. Pengadaan skema ini diharapkan mampu
memperbaiki kinerja penelitian para dosen. Dengan skema ini, dosen asing bisa
membawa mahasiswa terbaiknya dari universitas asal untuk melanjutkan
pendidikan di Indonesia. Penyertaan mahasiswa asing ini mestinya bisa
memperkuat riset.
Imigrasi
sebagai institusi yang mengurusi pintu masuk bagi orang asing sebaiknya
menerapkan status khusus, seperti visa pelajar atau sejenisnya untuk para
akademisi dan mahasiswa asing. Sebab, selama ini institusi yang kedatangan
mahasiswa asing dan peneliti asing sering harus membuang banyak waktu dan
usaha untuk mengurus status dan izin tinggalnya. Masalah ini sudah
berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan dari kabinet yang silih
berganti.
Dengan
antisipasi dini, persiapan penerimaan dosen asing diharapkan target akhir
memperbaiki posisi PT kita dalam ranking universitas dunia bisa lebih
terukur. Jika ide Kemenristek Dikti ini tidak dilaksanakan dan dikelola
dengan baik, bisa jadi hanya akan menjadi kemewahan tanpa hasil yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar