Penjara dan Pengampunan
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional Co-founder & Director;
Paramadina Graduate School of
Diplomacy
|
KORAN SINDO, 27 April
2016
Apabila pemerintah berniat
memberikan pengampunan pajak (tax
amnesty) kepada para pengusaha yang menyimpan atau menyembunyikan uangnya
di luar negeri, apakah pengampunan tidak dapat diberikan kepada para tahanan
yang hidup berhimpitan di penjara-penjara Indonesia yang sudah melebihi
kapasitas saat ini?
Hingga saat ini belum ada
konsensus di antara para ahli apakah institusi penjara atau lembaga
pemasyarakatan (lapas) mengurangi angka kejahatan atau tidak. Penjara memang
memberikan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, yaitu hilangnya pelaku
kejahatan di tempat-tempat tertentu.
Namun dalam jangka panjang akan
ada pelaku lain yang menggantikan posisi pelaku kejahatan yang ditangkap.
Beberapa teori mengatakan apabila lapas ingin menjadi tempat sementara demi
orang berubah menjadi baik, harus ada fasilitas seperti pendidikan, pelatihan
keterampilan, bimbingan psikologis, dan fasilitas lain yang dapat mendukung
proses transisi itu.
Apabila tidak ada fasilitas
tersebut, alih-alih menjadi tempat rehabilitasi, lapas justru akan menjadi
criminogenic alias tempat yang justru menjadi faktor penyebab terjadinya
tindak kejahatan. Penjara menjadi ”sekolah” dan pusat pembentukan jaringan
tindak kejahatan baru yang semakin canggih dan pintar.
Kenyataan kedua ini yang tampaknya
terjadi di banyak lapas di Indonesia akhir-akhir ini. Keresahan dan kerusuhan
di dalam lembaga pemasyarakatan dalam beberapa bulan terakhir agak meningkat.
Tidak kebetulan apabila hal itu terjadi bersamaan dengan semakin ketatnya
pengawasan yang dilakukan oleh negara terhadap beberapa penjara di Indonesia.
Satu pengamat mengatakan bahwa
kerusuhan itu adalah bentuk perlawanan dari penghuni lapas. Namun pengamat
lain mengatakan kerusuhan adalah kejadian yang tidak dapat dihindarkan
seiring dengan semakin banyak penghuni lapas dalam beberapa tahun terakhir.
Kementerian Hukum dan HAM
menyatakan per tanggal 8 September 2015, jumlah penghuni lapas rutan
se-Indonesia melebihi kapasitas. Indonesia memiliki lapas sebanyak 428 (2014)
dan kapasitas 119.532 orang, tetapi harus menampung sekitar 173.827 orang.
Terdapat kelebihan muatan 149%.
Jumlah ini sebetulnya relatif
lebih ”baik” apabila kita bandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN.
Menurut data Institute of Criminal
Policy Research , Filipina adalah negara yang mengalami over-capacity
paling besar, yaitu sebanyak 316%, dan di bawah Indonesia adalah Thailand
dengan angka over-capacity sebanyak
139,4%.
Meski demikian, data itu jangan
membuat kita merasa lebih baik karena populasi masyarakat yang dibina di
lapas semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menteri Hukum dan HAM Yasonna
Hamonangan Laoly mengatakan terjadi peningkatan jumlah tahanan 1.112 per hari
di tahun 2015.
Kecepatan pertambahan tahanan
meningkat menjadi 1.805 per hari di tahun 2016, sementara pembangunan lembaga
pemasyarakat tidak terjadi. Akhirnya overcapacity
tidak dapat dielakkan. Apa yang menarik adalah data tentang tahanan yang
terkait narkoba masih dominan dalam populasi tahanan di Indonesia dengan
angka sebanyak 29,34% per Agustus 2015.
Angka itu mungkin semakin
meningkat apabila status BNN bisa setingkat menteri dan mendapatkan
penambahan anggaran. Tahun ini, usulan anggaran BNN memang turun dari tahun
sebelumnya, tetapi alokasi penyidikan hingga pencegahan mencapai 60% lebih
dari seluruh anggaran.
Semakin meningkatnya populasi
tahanan perlu diantisipasi tidak hanya dengan kesiapan infrastruktur lembaga
pemasyarakatan, tetapi juga dampak sosial dan kemungkinan meningkatnya
tingkat kemiskinan di masyarakat. Fenomena ini sudah menjadi masalah utama
dalam sistem peradilan di negara-negara yang memiliki jumlah populasi tahanan
terbanyak seperti di Amerika Serikat (AS).
AS yang jumlah penduduknya 5% dari
total penduduk seluruh dunia memiliki tahanan di lapas mereka sebanyak 2,22
juta orang atau 25% dari total seluruh tahanan di seluruh dunia. Sementara
Indonesia di urutan ke-10 setelah Turki (prisonstudies. org, 2016) Tingginya
populasi itu disebabkan perubahan sistem peradilan di tahun 1980-an yang
memberikan hukuman lebih lama kepada kejahatan-kejahatan seperti narkoba.
Membesarnya populasi tahanan telah
menyebabkan keluarga yang ditinggalkan hidup dalam kemiskinan. Di AS, para
tahanan yang telah bebas mengalami diskriminasi dalam soal upah dan
kesejahteraan. Western dan Muller (2013) mencatat bahwa rendahnya upah dapat
disebabkan karena majikan memang berusaha untuk mempekerjakan mereka, tetapi
juga karena para mantan napi itu tidak memiliki keterampilan setelah keluar
dari lapas.
Keluarga yang ditinggalkan
terutama para istri yang kemudian menjadi orang tua tunggal mengalami
kesulitan secara ekonomi dan psikologis dalam mempertahankan keluarga mereka.
Orang tua yang sedang atau pernah dipenjara juga memberikan dampak negatif
kepada anak-anak mereka.
Anak-anak tersebut cenderung
menjadi lebih agresif, mengalami gejala depresi dan penurunan prestasi
akademik di sekolah. Situasi ini yang disinyalir juga menjadi penyebab
lahirnya ”napi-napi” baru karena anak-anak itu yang banyak putus sekolah dan
”lari ke jalan”. Penghukuman terhadap orang tua saat ini pada akhirnya
menjadi bibit akan potensi munculnya pelaku kejahatan lain.
Pengalaman di AS perlu menjadi
catatan penting juga untuk para pengambil kebijakan di Indonesia, terutama
mereka yang duduk di lembaga legislasi dan yudikatif. Saya yakin semua pihak
menyadari bahwa lapas bukan satu-satunya jalan untuk mengurangi kejahatan.
Persoalan utamanya ada pada sistem
sosial dan ekonomi yang dapat memberikan kesempatan bagi setiap orang,
khususnya masyarakat menengah bawah, untuk dapat maju. Gary Becker (Donohue,
2007), seorang profesor ekonomi dan sosial di Universitas Chicago yang
dianugerahi Nobel Memorial Prize in
Economic Sciences tahun 1992, mengembangkan sebuah model ekonomi
kejahatan yang menyatakan bahwa pelaku kriminal, termasuk kita semua, adalah rational maximizers of expected utility.
Dalam hipotesisnya, ia mengatakan
di dalam masyarakat ada seseorang yang mempertimbangkan keuntungan dari
tindak kejahatannya, sementara di sisi lain ada masyarakat yang akan
memberikan sanksi sebagai ganti ruginya. Jika seseorang melihat keuntungan
lebih besar dihasilkan dari tindak kejahatan daripada sanksinya, ia dapat
ringan tangan melakukan tindak kejahatan itu.
Masyarakat dapat memberatkan
sanksi, tetapi dengan semakin sulitnya hidup di zaman sekarang, seberat apa
pun sanksinya, ada banyak orang yang melihat sanksi itu lebih ringan daripada
keuntungan yang ia peroleh. Becker bisa dianggap sebagai pendukung yang
berusaha memberi sanksi yang lebih berat.
Namun salah satu pendekatan
alternatif yang diusulkan Becker selain sanksi adalah dengan meningkatkan
keterampilan dan pendidikan masyarakat yang berpotensi untuk melakukan tindak
kejahatan. Masyarakat itu terutama adalah masyarakat yang masuk dalam
kategori miskin.
Ia melihat secara ekonomis bahwa
biaya untuk mendidik seseorang jauh lebih murah daripada merawat seseorang di
dalam tahanan. Investasi kepada individu akan bersifat seumur hidup,
sementara investasi di tahanan hanya bersifat sementara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar