Menggagas Kabinet Kohesif
Yunarto Wijaya ; Direktur Eksekutif Charta Politika
Indonesia
|
KOMPAS, 29 April
2016
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla saat ini memiliki modal kerja yang memadai. Menurut survei berkala Saiful Mujani Research and Consulting
pada Maret lalu, tingkat keyakinan publik terhadap kemampuan memimpin
Presiden Jokowi mencapai 72 persen, kepuasan terhadap kinerja 59 persen, dan
penilaian bahwa arah perjalanan bangsa sudah berada pada jalur yang benar 81
persen (Kompas, 18/4/2016).
Modal kerja ini bukan sesuatu yang
ajek. Berbagai peristiwa, pengamatan, dan pengalaman publik secara langsung
ataupun melalui media massa dan media sosial dapat mendevaluasinya meski juga
mempunyai peluang untuk terus ditingkatkan, terutama terkait kepuasan
terhadap kinerja pemerintahan. Karena itu, selain meneruskan prioritas
pembangunan di sektor infrastruktur, kemaritiman, dan pangan yang notabene
memiliki kandungan kegiatan fisik yang dominan, pemerintahan Jokowi-JK juga
perlu meningkatkan tindak komunikasi politiknya.
Salah satu tindak komunikasi yang
menjadi sorotan publik adalah silang pendapat yang tajam di antara para
pembantu presiden. Silang pendapat ini dinilai tak hanya menimbulkan
kegaduhan yang tak perlu, tetapi sekaligus mengindikasikan adanya pemerintah
yang terbelah. Pemerintah yang tidak kohesif mengganggu nalar publik dan juga
menimbulkan kecemasan di kalangan pelaku bisnis. Jika terus berlanjut, ini
berpotensi akan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Dialog
internal
Secara lebih positif, kegaduhan
yang terjadi menunjukkan tingginya intensi ragam pandangan alternatif tentang
bagaimana tujuan pembangunan yang telah ditetapkan seharusnya
diimplementasikan. Karena merasa diabaikan atau tak didengar, penggagas
pandangan alternatif ini bergerilya dengan berbagai cara. Hasil yang terbaca
oleh publik adalah kegaduhan.
Kegaduhan dipersoalkan karena
dinilai sebagai (aksi) politik. Politik atau politikus diandaikan hanya
diperlukan pada saat penetapan tujuan (input) dan hadir kembali pada saat
menilai hasilnya (output). Sebagaimana dikatakan Stoker (2006), "A good Weberian bureaucracy would
not brook political interference over its appointments or rules, and it would
be protective of the sensibilities of its experts. Equally, a good new public
management system gives managers the freedom to manage." Menurut
cara pandang seperti ini, kehadiran aksi politik dan atau politikus pada
tahapan proses dinilai sebuah kegagalan dari sistem.
Pengebirian politik punya
implikasi serius: tersingkirnya beragam pandangan para pemangku kepentingan (shareholders) bangsa tentang apa yang
seharusnya menjadi kepentingan bersama. Pokok sepenting ini ditetapkan
sepihak menurut preferensi individu, bukannya berbasis preferensi kolektif
dari yang dicapai melalui proses deliberatif yang melibatkan para pihak.
Dalam konteks kegaduhan pada kabinet kerja, para menteri bertindak menurut
preferensi dirinya dan mengabaikan koleganya yang lain. Sangat boleh jadi,
preferensi tersebut adalah hasil agregasi dari aspirasi pemangku kepentingan
sektoralnya atau hasil telaah para ahli. Ia jadi masalah karena kemudian
melupakan para koleganya yang juga memiliki cara pandang berbeda tentang
kebijakan publik yang mereka pertengkarkan.
Belajar dari pengalaman kegaduhan
ini, sudah saatnya keragaman pandangan difasilitasi, dan itu dimulai dari
internal pemerintah. Dengan menggunakan kalimat dari pemerintah sendiri,
diperlukan adanya "Revolusi Mental" dalam pengelolaan pemerintahan.
Langkah awalnya adalah menyingkirkan asumsi bahwa menteri yang benar adalah
menteri yang steril dari bias kepentingan parpol (jika ia dari unsur parpol)
atau world of view yang mendasari
keahliannya (jika ia dari unsur profesional).
Asumsi seperti ini justru
menyuburkan kecurigaan satu sama lain alih-alih menumbuhkan
kesalingpengertian. Karena itu, menteri seyogianya harus dipandang sebagai
figur yang punya muatan nilai-nilai. Kesadaran akan keragaman pandangan ini
merupakan motor penggerak berlangsungnya dialog yang deliberatif.
Meminjam strategic triangle-nya Moore (Moore
dan Sanjeev, 2004), ada tiga pencakupan utama proses dialog. Pertama,
mengkreasikan apa yang menjadi public
value bagi Kabinet Kerja. Keragaman parpol pengusung dan preferensi
menteri dari kalangan profesional perlu dipertemukan dan sekaligus
didialogkan dengan tujuan pembangunan yang sudah ditetapkan dalam RPJMN atau
dokumen lainnya. Kedua, membangun legitimasi dan dukungan politik sebagai
bagian dari terus memperbarui mandat dan kepercayaan dari publik. Ketiga,
menetapkan kapasitas operasional untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Dalam hal ini, proses dialog akan
memediasi dan memberi bobot yang sama terhadap pertimbangan filosofis,
politis, dan teknis. Selama ini, tujuan politik yang besar biasanya mengalami
pereduksian dan pergeseran ketika bertemu dengan pertimbangan teknis dan atau
kalkulasi politik. Tidak jarang juga, pertimbangan filosofis dari sebuah
kebijakan diabaikan karena dinilai tak efisien atau sebaliknya tetap
dipaksakan meski tidak relevan dengan konteks situasi yang tengah dihadapi.
Dialog yang deliberatif memberi ruang yang sama bagi ketiga pertimbangan ini.
Kata kunci pentingnya adalah nilai
tambah yang dapat diberikan melalui kebijakan publik yang dipilih. Karena
itu, pilihan terhadap cara mengonversi tujuan pembangunan menjadi hasil yang
dikehendaki juga harus dibebaskan dari egoisme sektoral ataupun ideologi.
Dalam konteks permasalahan yang
kian kompleks dan saling tertaut di era globalisasi, para pemimpin dituntut
lebih berpikiran terbuka. Pilihan strategis eksekutornya dapat saja
kementerian, sektor privat, perusahaan kerja sama, ataupun komunitas.
Pemilihannya didasarkan pertimbangan taktis, yakni yang memberikan alternatif
pilihan terbaik bagi pengguna (Kelly, Mulgan dan Muers, 2002).
Lebih daripada itu, dalam konteks
sebagai penyedia layanan, para pembantu presiden juga perlu memiliki
kapasitas kepemimpinan yang sesuai. Broussine (2003), umpamanya, menyebut
kapasitas kepemimpinan yang dibutuhkan itu adalah: toleransi terhadap
ambiguitas dan ketidakpastian, menyadari ketidaklengkapan pengetahuan;
mengembangkan pemimpin dan kepemimpinan melalui organisasi, dan kemampuan
melakukan refleksi kritis.
Tiga
langkah konkret
Proses dialog di internal kabinet
ini perlu disokong dengan sekurangnya tiga tindakan praktis. Pertama,
Presiden menyiapkan semacam panduan baru tentang visi dan arahan prioritas
pembangunan yang dikehendakinya selaku kepala pemerintahan. Panduan tambahan
ini harus cukup singkat dan mendeskripsikan pilihan titik berdiri pemerintah
pada isu-isu strategis. Contoh sederhana, kemandirian pangan, umpamanya,
tidak mungkin dicapai seketika dengan biaya berapa pun (biaya ekonomi,
sosial, maupun politik). Karena itu, perlu ada batasan toleransi, sekaligus
ruang manuver pun inovasi untuk melakukan tindakan-tindakan konkret yang
secara jangka pendek dapat saja dimaknai sebagai "pelanggaran"
terhadap prinsip kemandirian tersebut.
Panduan baru ini berfungsi untuk
menjembatani panduan normatif yang sudah ada, seperti janji kampanye
Jokowi-JK yang dikenal dengan sebutan Nawacita dan Trisakti. Ini merupakan
gambaran mengenai posisi politik Jokowi-JK dalam memandang beragam persoalan
kemasyarakatan dan kebangsaan. Janji kampanye ini telah diramu ulang dan
didetailkan dalam RPJMN 2015-2019. Kedua dokumen ini sepertinya belum mampu
menjadi juru pandu para pembantu presiden sebagaimana tecermin dari kerasnya
polemik yang berkembang pada isu-isu kebijakan, seperti Blok Masela,
pemberantasan pencurian ikan (illegal fishing), atau pembangunan kereta api
cepat, untuk menyebut beberapa contoh.
Terkait itu, kedua, Presiden
Jokowi perlu melembagakan proses kajian internal, yaitu tanggapan dan
rekomendasi dari kementerian terkait terhadap rencana kebijakan kementerian
lain yang terutama mempunyai dampak lintas sektoral. Kajian internal
dilakukan baik dalam bentuk pertemuan tatap muka maupun melalui pertukaran
dokumen.
Berbeda dengan koordinasi, kajian
internal ini merupakan bentuk kerja bersama dalam konteks jaringan di antara
elemen pemerintahan. Kerja bersama mengandaikan adanya kewajiban formal untuk
melakukannya, adanya komitmen terhadap hasil-hasil pembahasan serta dibarengi
semangat kesukarelaan karena kesadaran sebagai sesama pembantu presiden yang
mempunyai kewajiban mengonversi tujuan menjadi hasil-hasil yang diharapkan
melalui cara-cara yang disepakati bersama. Karena itu, kajian internal ini
perlu memiliki prosedur yang jelas dan terbuka sehingga publik juga dapat
melakukan penilaian dan pengawasan.
Melalui kajian internal seperti
ini, seluruh aspek dapat ditelaah dan secara politik "semua kartu"
harus diletakkan di atas meja agar pengambilan keputusan menghasilkan pilihan
kebijakan kedua terbaik (second best
policy). Asumsinya, pilihan kebijakan pertama bersifat ideal dan karena
itu tidak mungkin diaplikasikan sebab kebijakan pembangunan merupakan tindak
politik yang tidak berada di ruang kosong. Dalam hal ini, rapat kerja
terbatas kabinet dapat difungsikan sebagai medium pengambilan keputusan
manakala proses kajian internal ini tidak bisa menghasilkan titik temu yang
dapat disepakati di antara para pihak.
Untuk melengkapi ini, ketiga, tim
kepresidenan harus lebih proaktif melengkapi dua proses di atas dengan
menyiapkan skenario kemungkinan terhadap pilihan kebijakan yang disepakati
bersama. Skenario kemungkinan ini terutama dibutuhkan agar proses
pengomunikasian kebijakan menunjukkan adanya kesatuan pendapat yang mencerminkan
sikap pemerintah, juga menunjukkan adanya niat baik sekaligus membangun
kesalingpengertian dengan di antara pihak.
Kesalingpengertian ini menjadi
penting terutama sekali ketika isu-isu pembangunan yang kompleks telah
direduksi secara kebablasan menjadi narasi yang simplistis, seperti pro
rakyat vs anti rakyat; anti asing vs pro asing; dan pro lingkungan vs anti
lingkungan. Padahal, proses dan kebijakan pembangunan jarang pernah menjadi
hal yang sederhana. Publik saatnya diedukasi dan sekaligus dilibatkan dalam
pembahasan sebelum kebijakan tersebut diputuskan menjadi kebijakan publik.
Dengan cara ini, selain membangun pembelajaran bagi semua pihak, termasuk
menumbuhkan empati terhadap sudut pandang pihak lain, betapapun tidak
setujunya dengan pandangan tersebut.
Dialog yang deliberatif di
internal elemen pemerintah tidak sekadar dibutuhkan untuk memberi keyakinan
bahwa pemerintah tetap fokus bekerja dan kohesif, tetapi juga dibutuhkan
ketika proses dialog deliberatif ini diterapkan dalam konteks kenegaraan.
Dalam hal ini, pihak yang terlibat mencakup seluruh pemangku kepentingan
kunci (key shareholders) : parpol,
sektor publik, pakar, komunitas pun asosiasi warga. Pemerintah yang terbelah
jelas akan menjadi beban bagi proses dialog karena menambah kerumitan ketika
negosiasi dan kompromi harus dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar