Perempuan dan Keuangan Inklusif
Mukhaer Pakkanna ; Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta;
Peneliti Ekonomi CIDES
|
KORAN SINDO, 21 April
2016
Gerakan kebangkitan perempuan di Tanah Air kerap
disimbolisasikan dengan peringatan lahirnya Raden Ajeng Kartini pada 21 April
1879.
Simbolisasi ini telah menginspirasi dan mengemansipasi gerakan
perempuan hingga saat ini dalam melawan ketidakadilan, diskriminasi,
pembodohan, dan keterbelakangan. Namun, gerakan yang dilakukan oleh pelbagai
kelompok yang concern dalam proses
pemberdayaan perempuan, hingga saat ini pun belum memetik hasil yang
maksimal.
Bahkan dari sisi jumlah kemiskinan saja, kisaran 70,21% dari
jumlah penduduk miskin (BPS, 2015) yang mencapai 28,59 juta jiwa (11,22%)
adalah kaum perempuan. Kemiskinan yang menimpa perempuan, dilatari banyak
faktor. Angka buta aksara perempuan sebesar 12,28%, sedangkan lelaki 5,84%.
Dalam bidang kesehatan, status gizi perempuan masih merupakan masalah utama.
Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, yaitu sebesar 248 per
100.000 kelahiran hidup.
Selainitu, rata-rata gaji (upah) perempuan pun selalu tertinggal
dibandingkan lelaki. Keadaan yang sama juga terlihat pada rata-rata gaji
berdasarkan tingkat pendidikan tercermin dari perbandingan upah perempuan dan
lelaki. Rasio upah kurang dari 100 pada setiap jenjang pendidikan. Perbedaan mencolok
terlihat pada tingkat pendidikan tidak tamat SD, di mana rasio upah adalah
61,97 yang berarti, besarnya upah (gaji) bersih perempuan dibanding lelaki
adalah 61,97 berbanding 100 (BPS RI - Sakernas Februari 2015).
Data ini mengonfirmasi posisi perempuan belum beringsut jauh,
masih tertinggal, terbelakang, dan termiskin. Salah satu persoalan utamanya
adalah aksesibilitas. Maka dengan adanya kebijakan keuangan inklusif yang
digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2014, setidaknya peluang perempuan
ke sumber daya ekonomi (terutama pada lembaga keuangan) semakin terbuka
lebar. Artinya, OJK dalam operasionalisasi kebijakannya jangan sampai bias
gender dalam memperlakukan nasabah, terutama di masyarakat miskin perdesaan.
Keuangan
Inklusif
Sejak dikeluarkan regulasi tentang bank nirkantor yang tertuang
dalam Peraturan OJK Nomor 19/POJK.03/2014 tentang layanan keuangan tanpa
kantor dalam rangka keuangan inklusif, OJK mulai merangsek jauh ke pelosok
desa. Bank nirkantor adalah transformasi pelayanan konvensional bank di
kantor-kantor menjadi pelayanan di agen-agen. Namun, jauh sebelumnya, hasrat
untuk mengejawantahkan keuangan inklusif mendapat momentum.
Pemicunya, pertama, secara eksternaladanya kesepakatan G-20 di
Pittsburgh Summit 2009. Dalam pertemuan itu, anggota G-20 sepakat perlunya
peningkatan akses keuangan bagi kelompok in
the bottom of the pyramid. Ada 9 Principles
for Innovative Financial Inclusion sebagai pedoman pengembangan keuangan
inklusif. Prinsip tersebut adalah leadership,
diversity, innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge,
proportionality, dan framework.
Kedua, secara internal mengonfirmasi data Bank Indonesia( 2014)
rakyat kitayangberhubungan dengan bank masih rendah, yakni sekitar 48% dengan
layanan perbankan yang masih terpusat di Jawa. Sementara hanya 20% orang
dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal, jauh
lebih rendah dibandingkan Thailand 77%, Malaysia 66%, Tiongkok 64%, India
35%, dan Filipina 25%. Demikian pula pembiayaan kegiatan ekonomi rakyat belum
signifikan dengan pangsa kredit sekitar 20% atau Rp 612 triliun.
Konsekuensinya, Deposit to GDP ratio masih di bawah 50% dan Loan
to GDP ratio masih kisaran 35%, jeblok di bawah rerata di kawasan
Asia-Pasifik. Rendahnya tingkat literasi lembaga keuangan formal pada
kelompok perempuan pada level in the
bottom of the pyramid tentu bukan tanpa alasan.Alasan klasikalnya, mereka
tidak memiliki kolateral, bank lebih familier membiayai usaha berskala besar,
dan prosedur permohonan pembiayaan yang rigid.
Konsekuensinya, solusi ditempuh rakyat kecil dan kaum perempuan
rentan, meminjam pada individu atau lembaga nonkeuangan ilegal, dengan
pelbagai risiko, yakni pengenaan bunga mencekik. Selain itu, lembagakeuangan
formal kerap gagap memahami karakteristik atau kearifan lokal yang telah lama
hidup di masyarakat.
Padahal, banyak lembaga keuangan lokal yang telah bersemayam
hidup bersama rakyat perlu diajak bekerja sama dan diberdayakan dalam
memanfaatkan financial inclusion.
Memang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1/2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) telah mengakomodasi aturan hukum adat. Sehingga lembaga perkreditan
desa (LPD) di Bali dan Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat sebagai
lembaga keuangan produk kearifan lokal misalnya, tidak harus tunduk pada UU
LKM karena eksistensinya telah diakui berdasarkan hukum adat itu. Sayangnya,
kedua LKM lokal itu kurang mendapat supporting
kerja sama dan mediasi dari pihak pemerintah.
Aksesibilitas
Topik utama pemberdayaan perempuan sejatinya adalah
aksesibilitas. Seperti yang diutarakan Amartya Sen (1981), kemiskinan terjadi
akibat capability deprivation
(kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Ketidakbebasan
masyarakat yang substantif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi.
Dengan demikian, kemiskinan diakibatkan keterbatasan akses. Jika manusia
mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, akibatnya
manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang
seharusnya bisa dilakukan.
Dalam banyak studi di uraikan, adanya relasi antara program
pemberdayaan perempuan dan upaya menekan angka kemiskinan. Jika program
penguatan perempuan ini optimal bergerak, diasumsikan lebih dari separuh
program pengentasan kemiskinan dianggap sukses. Laporan riset World Bank Group in Women, Business and
the Law 2016 yang disampaikan Sri Mulyani (2015), bahwa pada era 1990-an
hanya sedikit negara yang punya aturan hukum melindungi perempuan dari
kekerasan.
Namun, pada 2014 jumlahnya mencapai 127 negara, yang dipicu oleh
meningkatnya kesadaran terhadap biaya ekonomi dan manusiawi yang harus
ditanggung akibat salah memperlakukan perempuan. Tatkala perempuan diizinkan
bekerja di profesi yang mereka inginkan, ketika mereka memiliki akses
terhadap jasa keuangan dan tatkala mereka dilindungi oleh hukum dari
kekerasan rumah tangga, kaum perempuan bukan saja lebih berdaya dan mandiri
secara ekonomi, melainkan juga berumur panjang.
Semakin banyak perempuan punya kendali terhadap pendapatan rumah
tangga, semakin besar partisipasi mereka dalam aktivitas ekonomi. Semakin
banyak perempuan masuk sekolah menengah, semakin besar pula keuntungan untuk
anak-anak mereka, masyarakat, dan negara. Dengan demikian, pemberdayaan
perempuan terkait erat dengan dampak kemandirian.
Kemandirian perempuan miskin terkait akses dan kontrol perempuan
di rumah tangga dan di luar rumah tangga. Dalam kaitan itu, yang perlu
dipertimbangkan dalam membangun financial
inclusion yakni, berikan porsi lebih besar kepada nasabah perempuan dalam
proses pemberdayaan.
Model financial inclusion
seperti ini akan mampu memacu pembangunan ekonomi lokal melalui peningkatan
kebiasaan menabung, menciptakan kesempatan kerja, dan meningkatkan tingkat
monetisasi di masyarakat lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar