Jumat, 29 April 2016

SDG Indonesia dan Kartini

SDG Indonesia dan Kartini

Wahyu Susilo  ;   Analis Kebijakan Migrant CARE;
Anggota Koalisi CSO Indonesia untuk SDG
                                                        KOMPAS, 29 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pertengahan Maret 2016, upaya penyempurnaan komitmen global memerangi kemiskinan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG) selangkah lebih maju. Tahapan itu adalah kesepakatan tentang indikator SDG, yang akan menjadi tolok ukur tercapai tidaknya 17 target dalam SDG sebagaimana disepakati semua pemimpin dunia pada September 2015.

Pada saat yang sama, di Indonesia sedang berlangsung proses pelembagaan dan pembumian SDG untuk memastikan bahwa komitmen global ini bisa bekerja dan menjadi panduan bersama peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia tanpa meninggalkan siapa pun. Karena itu, idealnya dalam proses perumusan pelembagaan, kebijakan, hingga indikator, prinsip-prinsip inklusif dan partisipatif adalah hal yang mutlak. Demikian juga saat perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Proses tersebut harus belajar dari keterlambatan pemerintah Indonesia, yang baru merumuskan rencana aksi nasional pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) tahun 2010, 10 tahun setelah MDG dideklarasikan tahun 2000. Berbagai evaluasi mengenai MDG di Indonesia bersepakat bahwa kegagalan MDG, terutama untuk tujuan- tujuan krusial (antara lain penurunan angka kematian ibu melahirkan, deforestasi, penyediaan air minum, dan tingginya angka penderita HIV/AIDS), selain ketaktersediaan dan ketakmampuan kebijakan, juga karena tak ada rasa kepemilikan terhadap MDG. Komitmen global ini hanya dianggap produk PBB dan direduksi menjadi proyek pemerintah.

Sekarang ini juga muncul pertanyaan, apakah SDG ini produk asing? Jauhkah SDG dari realitas sosiologis di Indonesia?

Terkait pemberdayaan

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa membandingkan MDG dengan SDG, terutama terkait masalah yang dihadapi perempuan dengan cita-cita pembebasan yang diperjuangkan Kartini.

Dalam surat-surat yang dikirim ke sahabat-sahabatnya di negeri Belanda, juga kumpulan tulisannya yang dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini banyak menuliskan kegelisahan mengenai diskriminasi yang dihadapi perempuan, juga masalah-masalah yang mengungkung perempuan. Persoalan itu, antara lain, ketiadaan akses bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan, praktik pengekangan perempuan atas nama budaya, dan praktik pernikahan paksa dan di bawah umur.

Kisah akhir perjalanan sejarah Kartini hingga menjelang kematiannya (112 tahun lalu) adalah kisah yang masih berlangsung dan dialami jutaan perempuan Indonesia hingga saat ini: dipaksa kawin (muda) dengan pasangan yang sudah menikah dan meninggal setelah melahirkan.

Indonesia adalah salah satu negara yang gagal mengerem laju kematian ibu melahirkan sesuai target MDG, yaitu 108 kematian/100.000 kelahiran hidup. Bahkan, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pernah melonjak hingga 359 kematian/ 100.000 kelahiran hidup.

Kegelisahan Kartini tentang diskriminasi yang dialami perempuan, ketiadaan akses untuk mengenyam pendidikan, pengekangan atas nama budaya, pernikahan paksa, dan perbudakan adalah pertanyaan-pertanyaan perempuan (meminjam istilah para feminis) yang harus dijawab segala zaman. Kegelisahan Kartini juga menginspirasi para penggagas Kongres Perempuan Indonesia yang menambahkan perdagangan perempuan dan anak sebagai masalah perempuan Indonesia. Terakhir, organisasi-organisasi perempuan yang bekerja untuk hak kesehatan menemukan masih banyak praktik sunat terhadap anak-anak perempuan di Indonesia.

Uraian historis tersebut memperlihatkan bahwa tujuan SDG (terutama terkait perempuan) bukan hal baru untuk Indonesia. Ia bahkan memiliki relevansi kesejarahan untuk menjawab persoalan perempuan Indonesia dari zaman ke zaman yang termarjinalisasi oleh ideologi pembangunan yang patriarkis.

Jangan lupakan sejarah

Karena itu, jika pemerintah Indonesia konsisten dengan prinsip "no one left behind" yang menjadi salah satu maklumat SDG, proses pelembagaan SDG hendaknya tidak melupakan sejarah panjang perempuan Indonesia, sekaligus mengedepankan kepentingan kelompok-kelompok marjinal yang selama ini diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.

Untuk target-target spesifik SDG terkait perempuan, seperti pernikahan anak, perdagangan perempuan, dan sunat perempuan yang hingga kini belum tersedia datanya di Indonesia, tidak boleh menjadi legitimasi untuk mengesampingkan target. Kondisi tersebut justru harus menjadi landasan semua pemangku kepentingan membangun data base, merumuskan indikator, dan menyusun kebijakan untuk pencapaian target.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar